Contoh yang agak liar misalnya, jika ada vagina sebesar pintu stadion, kemudian ada beberapa orang laki laki memasuki Vagina yg sebesar pintu stadion itu, maka pertayaannya, apakah mereka telah berzina, apakah wajib mandi karena junub, apakah batal puasanya, dll. Ini pengandain yang bukan hanya tidak mungkin, tetapi juga imajinasi yg diskriminatif terhadap perempuan. Tapi ya memang ada di dalam kitab Fiqih.
Nah termasuk Fiqih Iftiradhi itu, antara lain, bisakah perempuan Hamil tampa senggama? Bagaimana seandainya jika ada laki laki "ber istinja' pakai batu" lalu karena gosokannya kuat kemudian "keluar Seperma", kemudian sepermanya diambil seorang perempuan dan dimasukkannya dalam Vaginanya, kemudian hamil. Pertayaannya bagaimana hukum dan apakah anak yg dilahirkannya bernasab pada pemilik sperma?
Atau bagimana seandainya jika ada suami istri senggama, kemudain spermanya dimuntahkan diluar namun tetap menempel ditubuh istri, lalu oleh istri digesek gesekkan pada wanita lain, kemudian wanita lain itu hamil. Pertayaannya bernasab sama siapakah anak yg dilhirkan itu?
Atau bagaimana seandainya jika ada laki laki keluar sperma, kemudia menikah, kemudian sperma yang keluar sebelum menikah itu dimasukkan kepada perempuan yg sudah dinikahinya? Bagaimana hukumnya, anaknya bernasab sama siapa?
Atau bagaimana sendainya jika ada laki laki dan perempuan berzina, lalu ejakulasi dan spermanya muntah diluar, lalu di ambil oleh istrinya dan dimasukkan dalam vagina, hamil dan melahirkan. Bagaimana hukum, dan anak siapa?
Atau bagimana seandainya jika ada laki laki onani, kemudian spermanya berhamburan, lalu diambil oleh perempuan lain atau istrinya, lalu dimasukkan dalam vaginanya. Bagaimana hukumnya dan apa dampaknya?
Atau bagaimana seandainya jika ada perempuan memasukkan sperma kedalam vaginanya, yg ia duga sperma suami, padahal bukan. Bagaimana hukum dan konsekwensinya.
Atau bagaimana jika seandainya Istri yg dicerai tiga, lalu menikah dengan laki laki yang punya penis tak berhelem, atau penisnya lumpuh, lalu dimasukannya penis yg seadanya itu. Apakah cukup sebagai tahlil atau muhallil?
Pokoknya masih banyak " puluhan seandainya" dalam persoalan ini. Dalam fiqih dikenal dengan teori "idkhal dan istidkhal".
Jawaban dari pertayaan pertayaan itu semunya telah disediakan oleh sang Faqih Pengandai. Apakah itu benar benar terjadi atau tidak? Itu tidak penting. Yang penting adalah kepuasan ilmiah karena telah menjawab masalah yg dianggap antik dan rumit.
Bagi yang ingin mengetahui jawabannya, saya silahkan baca kitab (1) asna al mathalib fi syarhi raudhatit thalib, (2) raudhatu thalibin wa umdatu al muftin, (3) al majmu', dan kitab syafi'i lainnya.
Saya hanya ingin mengatakan, jika ada kawan kawan hari ini yang berpendapat bahwa perempuan harus hati hati mandi di kolam renang, di sungai, di banjir, karena bisa hamil akibat sperma yg berkeliaran, maka kemungkinan ia terinspirasi oleh pandangan Kitab kitab Fiqih itu.
Maka sebaiknya membaca Fiqih atau mendengar ceramah Fiqih, janganlah ditangkap dan dimaknai hitam putih. Sebab fiqih zaman dulu dirumuskan dalam situasi yg serba kekurangan (walaupun ulamanya hebat), antara lain kekuarangan informasi ilmu pengetahuan, dan bahkan ilmu pengetahuan sendiri saat itu belum hebat seperti sekarang.
Membaca Fiqih, penting memperhatikan konteks kelahirannya, dimana dan kapan akan diterapkan, serta membaca kembali dengan pendekatan ilmu ilmu alam dan ilmu ilmu humaniora yg telah berkembang sangat maju. Jika tidak, maka Fiqih is Dead.