Gerobak lepet itu menarik perhatian saya. Seketika saya terkenang kampung halaman. Sewaktu saya kecil, ayah suka membawa penganan lepet saat pulang dari pasar atau acara selamatan. Lepet biasanya terselip di antara penganan dalam besek selamatan.
Lepet merupakan penganan atau camilan yang terbuat dari beras ketan dan parutan kelapa, biasanya ditambah kacang tolo kemudian dibungkus daun kelapa muda/janur. Lepet diikat dengan tali yang terbuat dari bambu.
Lepet biasa dimakan bersama dengan serundeng. Sementara lopis yang juga terbuat dari beras ketan namun dibungkus daun pisang ditemani parutan kelapa dan cairan gula.
Saya sempat berbincang dengan Kong Jalil, penjual lepet dan lopis tersebut. Meskipun sudah kakek-kakek, Kong Jalil masih semangat menjajakan dagangannya.
Wajahnya penuh kerutan dan rambutnya memutih semua, mungkin karena terlalu banyak memikirkan rakyat atau tempaan perjalanan hidup. Yang jelas Kong Jalil tekun turun ke jalan, mendorong gerobak berjualan lepet dan lopis.
Kong Jalil mengaku sudah puluhan tahun berjualan lepet dan lopis. Dulu ia berjualan dengan ayahnya. Tahun tepatnya ia lupa. Kong Jalil hanya ingat waktu itu harganya dua perak dapat empat lepet. Harga beras saat itu sekilo hanya 1,5 perak.
"Kamu pasti belum lahir," kata Kong Jalil yang memiliki empat anak dan sembilan cucu ini sambil terkekeh.
Saat ini Kong Jalil menjual lepet Rp 10 ribu untuk 4 lepet. Sementara 1 potongan lopis seharga Rp 2.500,-. Satu bungkus lopis bisa diiris menjadi beberapa potong.
Saya juga berkesempatan melihat Kong Jalil memotong lopis. Ternyata tidak memakai pisau melainkan dengan tali kenur. "Kalau pakai pisau lengket," tuturnya.
Seorang ibu mendekati gerobak Kong Jalil. Ia membeli beberapa lepet. "Saya kalau lihat lepet jadi sedih karena ingat almarhum ayah saya. Dia demen banget sama lepet," kata ibu itu.