Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Nganufacturing Hope: Wesi Gung Susuhing Angin

18 Juni 2012   06:35 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:50 359 0
Nganufacturing Hope: Wesi Gung Susuhing Angin

(Artikel ini ditulis untuk menyemarakkan lomba Nganufacturing Hope yang diadakan oleh milis KRL-Mania@yahoogroups.com dan FB: Solidaritas Jabodetabek untuk Pelayanan KRL yang Lebih Baik)

Suatu ketika Bima diperintah Begawan Durna untuk mencari "kayu gung susuhing angin". Sebenarnya, Ia tidak bisa membayangkan seperti apa wujud kayu besar tempat angin bersarang. Namun, kepatuhan dan rasa hormat pada Sang Guru, membulatkan tekat Bima untuk melaksanakan perintah itu.

Yudhistira, kakaknya dan seluruh kerabat Pandawa berusaha mencegah kepergiannya. Mereka curiga, perintah itu hanya tipu daya yang dibisikkan oleh Sengkuni pada Begawan Durna untuk mencelakakan putra kedua Pandawa. Sebab, jika Bima celaka, maka kekuatan Pandawa akan rapuh. Namun Bima tetap pada pendiriannya. Ibarat lagu dangdut, gunung kan kudaki, lautan kuseberangi.

Sepenggal kisah di dunia pewayangan itu sering menjadi pengantar tidur ketika saya masih kecil. Dulu, saya belum paham apa makna dibalik kisah yang tak kalah seru dari petualangan superhero. Tapi dalam sesak kereta, saya menemukan refleksi kekinian dari kisah itu.

Wajah perkeretaapian selama ini terkesan muram dan carut marut. Setidaknya itu gambaran yang berkembang di masyarakat, apalagi di kalangan pengguna kereta. Sebelumnya saya jarang bersentuhan secara intim dengan dunia kereta, saya tidak percaya begitu saja. Karena itu saya mencoba mencari informasi lebih mendalam tentang kereta api.

Sebagai menteri BUMN, sebenarnya saya bisa mengangkat telepon, menghubungi jajaran direksi PT KA. Namun saya menunda hasrat itu. Masalah itu nantilah, setelah saya mengerti betul kenyataan di lapangan. Setidaknya ketika direksi berkata ini-itu, saya bisa menjawab kok kenyataannya begitu.

Pertama, saya cari informasi di dunia maya, cara paling praktis untuk mengetahui sesuatu. Lewat pertolongan Mbah Google, si mesin pencari fakta, saya menemukan berbagai komunitas pengguna kereta baik di milis, fesbuk atau twitter. Di jaman canggih, orang sering berkeluh kesah dan berbagi informasi di jejaring sosial. Saya pikir, dengan dekat dengan pengguna kereta pasti kita tahu kondisi dan kenyataan yang ada di lapangan.

Dengan memakai akun email dan nama samaran, saya pun ikut bergabung dalam berbagai komunitas pengguna kereta, salah satunya milis KRLmania, forum komunikasi penumpang kereta listrik (KRL) sejabodetabek. Kalau dulu orang berpendapat bahwa dengan duduk manis di belakang meja kita tidak tahu kondisi di lapangan, sekarang pendapat itu terpatahkan.

Sembari duduk pun kita bisa tahu bahwa berita tentang kereta yang telat, kerusakan sinyal dan wesel, atapers kesetrum, kipas angin mati dan lain-lain. Informasi yang sangat detail lengkap dengan foto-foto. Dengan begitu, sebagai pejabat publik saya tahu berbagai masalah yang selama ini dialami pengguna kereta. Maka saya tidak akan gegabah mengatakan bahwa Ataper (penumpang di atap kereta) hanya mendominasi atap KRL Ekonomi. Nyatanya jika terjadi gangguan, ataper juga tak segan-segan nongkrong di atap KRL Commuter Line.

Tak puas hanya mendapat informasi dari dunia maya, saya mencoba melakukan sidak dengan mencoba naik kereta di jam sibuk. Tentu saja, sidak yang saya lakukan benar-benar mendadak. Tak seorangpun saya beritahu. Bahkan saya melakukan penyamaran, memakai topi, kumis dan jenggot. Sebab wajah saya terlalu familiar, kalau nongol tanpa penyamaran tentu terlalu menarik perhatian. Saya takut dibilang sekedar pencitraan, ujung-ujungnya dikaitkan dengan pemilu 2014.

Ketika memasuki peron stasiun Depok Lama, saya mulai mengamati dan mencatat beberapa hal penting. Dorongan penumpang membuat saya gagal memasuki sesaknya pintu KRL Ekonomi. Rupanya saya kalah sigap dibandingkan dengan ibu-ibu yang daya dorongnya ternyata sangat kuat. Baru pada kereta ketiga, setelah menunggu lebih dari satu jam, saya bisa merangsek masuk.

Di dalam kereta, saya berdiri menjaga pijakan. Tubuh-tubuh himpit menghimpit, semakin bertambah sempit karena harus berbagi dengan keranjang buah, lemari, kursi bambu dan lain-lain. Kipas angin yang tidak berputar menambah gerah suasana. Beberapa keluhan dan desah nafas resah merangsek ke telinga. Inikah wajah sebenarnya negeri kita tercinta?

Keributan kecil terjadi ketika arus keluar masuk penumpang tak terkendali. Dalam kondisi seperti ini senggolan tak sengaja bisa terjadi. “Kalau mau enak jangan naik kereta ekonomi. Kereta murah kok mau nyaman?” hardik seorang penumpang. Dalam kondisi seperti ini kalau tidak sabar pasti gampang tersulut amarah.

Semoga kata-kata itu tidak terlontar oleh pejabat publik apalagi operator. Kalau pendiri Google mendengarnya pasti dia akan mengurut dada. Maklum, google kan selalu memberi jawaban dari pertanyaan kita secara gratis, tanpa meminta upah. Nyatanya perusahaan raksasa itu tidak juga bangkrut, malah tambah kaya raya.

Saya jadi ingat, aku email saya yang berbayar dengan berlangganan dari perusahan penyedia layanan internet lokal kapasitasnya hanya 20 MB, hingga saya harus sering menghapus email tak penting. Sementara akun email yang gratisan seperti yahoomail dan gmail, justru tak habis-habis kapasitasnya.

Ternyata, proses turun dari kereta tak kalah hebohnya dengan naik kereta. Saya harus menyibak tubuh-tubuh. Begitu sampai di Stasiun Cawang, saya baru sadar bahwa dompet saya raib. Pasti pencopetnya akan terkejut dan tak percaya melihat KTP, SIM dan tanda pengenal lainnya. Hari ini, korbannya adalah seorang Menteri BUMN.

Untung saja, handphone aman karena saya genggam erat. Saya jadi bisa mengontak sahabat saya, Direktur Utama perusahaan kipas angin “Super Sejuk.” Saya tanya bisa nggak bantu sekian ratus kipas angin untuk dipasang di kereta. Nanti kompensasinya bisa pasang iklan di dalam kereta atau stasiun. Teman saya menyambutnya dengan gembira.

Itu salah satu langkah kecil yang bisa segera saya lakukan. Beberapa rencana besar berkelebat dalam benak saya. Ternyata sidak yang tepat bisa memunculkan banyak inspirasi dan solusi. Untuk selanjutnya saya harus bertemu dengan jajaran Direksi PT KA, membicarakan beberapa rencana. Tak perlu menunggu besok, sekarang juga saya harus kembali naik kereta dan turun di Stasiun Juanda.

Dalam sidak di dalam sesak kereta itulah kisah Bima mencari ”kayu gung susuhing angin,” itu kembali terlintas. Dalam perjalanan dan perjuangan tak kenal lelah, akhirnya Bima berhasil menguak rahasia dibalik kata itu. Perintah yang semula hanya semacam jebakan membuat Bima memperoleh pencerahan.

Kayu, dalam bahasa jawa juga disebut kajeng yang sinonim dengan karep, karsa, kemauan, cita cita, intensi dan doa. Gung, adalah agung yang artinya besar. Susuhing Angin atau sarang angin, dalam bahasa spiritual berarti pusat pernapasan. Jadi ”Jika kamu memiliki cita cita (kajeng) yang besar (Agung), carilah itu lewat pusat pernapasanmu!”

Keberadaan angkutan massal yang murah meriah seperti kereta bagi rakyat kecil adalah tumpuan nafas dan harapan. Kecepatannya melibas kemacetan ibukota sangat diharapkan. Selain itu kereta juga ramah lingkungan bisa menjadi pilihan agar Jakarta tak jadi Megapolutan.

Karena kereta terbuat dari besi, sepertinya kisah Bima dalam refleksi kekinian bisa menjadi episode “Wesi gung susuhing angin.” Kereta adalah besi besar yang menjadi tumpuan harapan banyak orang. Lalu siapa yang menjadi sosok Bima? Tentu saja semua orang yang bercita-cita besar, bertekad kuat dan tulus ingin memajukan perkeretaapian di Indonesia.

Salam
Like Dis

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun