Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Penumpang di Atap Kereta Serupa Buah Simalakama

12 Mei 2011   07:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:48 537 1
Serupa belia merisaukan wajah dipenuhi jerawat, sementara tubuh digerogoti penyakit kanker stadium empat. PT KA kembali merazia ratusan penumpang nakal yang naik di atap kereta rangkaian listrik (KRL). Penertiban kali ini melibatkan berbagai pihak seperti polisi, hakim, dan jaksa. Sebagian penumpang memprotes, bahkan sempat terjadi perang batu dengan petugas di stasiun Pasar Minggu (10/5). Mereka berdalih, nekat duduk di atap karena kurangnya jumlah rangkaian kereta ekonomi. Alasan tersebut tidak mengada-ada. Pada jam-jam sibuk, jumlah rangkaian KRL Ekonomi memang tidak sebanding dengan jumlah penumpang. Jadilah kereta penuh dengan jejalan penumpang hingga bergelantungan di pintu dan persambungan kereta. Penumpang yang punya nyali lebih, mempertaruhkan nyawanya dengan naik ke atap. Semua dilakukan agar bisa sampai ke tempat kerja tepat waktu. Kondisi seperti ini bisa menjadi lebih parah ketika ada pembatalan keberangkatan salah satu rangkaian KRL Ekonomi. Atau ketika kereta datang hanya dengan separuh rangkaian. Maka, terjadilah penumpukan penumpang. Mereka kemudian menyerbu kereta berikutnya yang sudah penuh sesak. Karena pembatalan perjalanan biasanya tidak disertai dengan penggantian kereta. Keterlambatan yang sering terjadi, ikut menjadi biang dari penumpukan penumpang. Satu rangkaian kereta terlambat akan berimbas pada perjalanan-perjalanan berikutnya. Hal ini diperparah dengan ketidakjelasan informasi, sehingga penumpang hanya bisa menduga-duga dan dipenuhi kebimbangan: harus naik kereta mana, sementara waktu terus berjalan. Kerusakan sinyal, wesel, saluran listrik atas, dan lain-lain, menjadi menu rutin yang seakan tidak kunjung bisa diatasi oleh PT KA. Penanganan yang lamban tentu saja membuat jadwal perjalanan terganggu. Hal itu kembali berimbas pada penumpukan penumpang di stasiun dan berjejalnya penumpang di kereta. Jika PT KA berani menyebar poster bertuliskan: Bahaya! Sayangi nyawa Anda dengan tidak naik di atap Kereta, maka konsekuensinya harus ada penambahan jumlah rangkaian KRL ekonomi terutama pada jam-jam sibuk. Dengan kurangnya rangkaian KRL ekonomi, berarti PT KA tidak menyayangi nyawa penumpang KRL. Karena berada dalam gerbong yang padat juga mengandung resiko besar seperti menjadi korban tindak kejahatan, pingsan, pelecehan seksual, dan lain-lain. Apalagi perjalanan malam hari, ketika penumpang berdesakan dalam gerbong tanpa penerangan, kipas angin sekarat, pegangan besi tidak ada, dan sebagainya. Maka lengkaplah sudah "penderitaan" penumpang KRL ekonomi. Ketika semua orang sibuk memikirkan bagaimana mengatasi kemacetan di Jakarta, seharusnya pemerintah menaruh perhatian besar terhadap angkutan umum massal seperti kereta. Jika dikelola dengan baik dan penuh tanggung jawab, moda transportasi ini terbukti efektif dalam memecahkan masalah kemacetan. Keputusan Menteri Perhubungan No. PM9/2011 tentang Standar Pelayanan Minimum untuk Angkutan Orang dengan Kereta Api harus segera dilaksanakan oleh PT KA. Penambahan jumlah armada yang sering disampaikan oleh PT KA juga harus didistribusikan dengan merata. Penambahan rangkaian kereta jangan hanya untuk KRL Ekspress dan KRL Ekonomi AC, sementara jumlah rangkaian KRL Ekonomi tak berubah, bahkan berkurang. Solusi yang menyentuh ke akar permasalahan sangat diperlukan. Jangan sampai penertiban penumpang di atap kereta kemudian dianggap sebagai pengalihan isu dari ketidakmampuan PT KA menyediakan pelayanan KRL yang manusiawi. Ketika semua itu tidak terpenuhi, maka keberadaan penumpang di atap kereta akan seperti buah simalakama. Tidak diturunkan penumpang di atap bisa mati, diturunkan gerbong jadi sesak setengah mati.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun