Pengetahuan. Anda mungkin menilai diri anda muslim, setidaknya di KTP, tapi kalau anda tidak bisa membaca Qur'an, yang umumnya sekalian tidak paham bacaan shalat, tidak paham bedanya wajibnya shalat sama wajibnya zakat, tidak paham bagaimana mengurus jenazah orang tua secara Islam ketika mereka meninggal, dan seterusnya hal-hal yang lebih kompleks dalam perilaku beragama, maka suatu saat hubungan anda dengan Islam pelan-pelan akan terputus. Logika mengatakan kita tidak bisa mempertahankan sesuatu yang seiring waktu tidak semakin dikenali dan dipahami.
Dukungan sosial. Anda mungkin merasa muslim KTP, mengetahui sedikit-sedikit tentang Islam, tapi teman-teman anda sama sekali tidak mendukung identitas dan pengetahuan anda ini. Alih-alih mendukung, lingkungan mungkin justru menghambat anda mempraktekkan keislaman anda (ga usah shalat ngabisin waktu, ga usah puasa nyakitin badan, seks di mana-mana yang penting suka sama suka, dan seterusnya). Kalau tidak dapat dukungan sosial, pelan-pelan hubungan anda dengan Islam juga akan terputus. Ini tidak aneh, seorang yang bukan peminum kopi yang setiap malam duduk di warung kopi hanya untuk menemani penyuka kopi, pelan-pelan akan mencoba kopi dan “kehilangan” identitasnya sebagai bukan peminum kopi.
Pengalaman Emosional. Ini mungkin yang paling penting di antara semuanya. Kalau anda mengaku ber- KTP Islam, mengaku nyantri (memiliki ilmu keislaman yang luas), mengaku besar di keluarga relijius (dukungan sosial penuh), tapi tidak pernah sedikitpun mengalami pengalaman emosional yang positif ketika menjalani itu semua, tidak pernah merasa bahwa apa-apa yang diajarkan dalam Islam itu membantu anda lebih kuat menghadapi dunia ini, menyelesaikan masalah-masalah anda, atau memudahkan anda membantu orang lain yg punya masalah, maka cepat atau lambat hubungan anda dengan Islam bakal putus.