Semarang, misalnya, memiliki banyak destinasi wisata menarik seperti Kota Lama, Lawang Sewu, dan Sam Poo Kong. Kota ini juga menawarkan pengalaman wisata kuliner yang tidak kalah menggoda, seperti lumpia khas Semarang dan tahu gimbal. Namun, setelah mempertimbangkan cuaca di sana yang biasanya panas, kami memutuskan bahwa mungkin Semarang kurang cocok untuk liburan awal tahun kali ini.
Pilihan berikutnya adalah Lampung, kota kelahiran saya dan sebagian besar keluarga besar kami. Berkunjung ke Lampung selalu menjadi pengalaman yang penuh kehangatan, karena kami bisa bertemu kakek-nenek, paman, bibi, dan sepupu. Selain itu, Lampung juga menawarkan pesona alam yang luar biasa, terutama pantai-pantainya yang terkenal. Pantai Pasir Putih, Pantai Mutun, dan Pantai Sari Ringgung selalu menjadi destinasi favorit kami saat berada di sana. Tidak hanya itu, kuliner di Lampung juga luar biasa menggoda. Ketoprak di dekat Patung Gajah, nasi uduk pinggir jalan, bakso Sony, dan mie ayam legendaris selalu berhasil memuaskan selera kami. Bahkan, setiap kali pulang dari Lampung, tubuh kami selalu terasa lebih gemuk karena tidak bisa menolak makanan-makanan lezat tersebut. Namun, meskipun Lampung memiliki banyak kenangan manis bagi kami, akhirnya kami memutuskan untuk mencoba sesuatu yang berbeda kali ini.
Pilihan kami akhirnya jatuh pada Yogyakarta, kota yang penuh dengan budaya, sejarah, dan kuliner yang tak ada duanya. Jogja selalu menawarkan pengalaman liburan yang unik, mulai dari kehangatan masyarakat lokalnya hingga tempat-tempat wisata yang sarat nilai budaya. Kami sepakat bahwa awal tahun ini akan terasa lebih spesial jika dihabiskan di kota yang dikenal sebagai "Kota Gudeg" ini.
Di Jogja, kami memutuskan untuk menjelajahi Malioboro, ikon wisata yang wajib dikunjungi. Jalan Malioboro selalu menyuguhkan suasana yang meriah dengan pedagang kaki lima, toko oleh-oleh, dan berbagai tempat makan yang menggugah selera. Tak lama setelah kami tiba, seorang bapak penarik becak menghampiri kami dengan ramah. Dengan logat Jawa yang kental, ia menawarkan jasanya, "Mau naik becak, Pak? Harganya cuma 25 ribu, sudah bisa diantar ke tempat oleh-oleh bakpia, atau ke toko baju." Mendengar penawaran itu, ayah saya langsung mengiyakan tanpa berpikir dua kali.
Bapak penarik becak tersebut lalu mempersiapkan dua becak untuk kami. Becaknya dihias dengan lampu warna-warni yang menarik perhatian. Kami pun mulai berkeliling Malioboro dengan menaiki becak, menikmati pemandangan khas Jogja di siang hari yang dipenuhi jalanan yang khas dan kesibukan para pedagang. Kami berhenti di beberapa toko oleh-oleh untuk membeli bakpia dan membeli celana batik yang dijual di toko oleh-oleh sebagai buah tangan.