Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Kuatkan Hati, Saudara-saudaraku...

5 November 2010   19:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:49 72 0
Dini hari tanggal O4 November 2010.
Truk tentara dengan bak terbuka itu muncul dari kegelapan pekatnya debu hitam vulkanik,pada dini hari itu.Menerobos hujan, lantas berhenti di depan bangunan raksasa tempat penggungsian. Lampu kamera menyorot ke atas truk, memperlihatkan puluhan penumpang truk yang berdiri berdesakan dengan wajah dan pakaian menghitam belepotan debu vulkanik bercampur air hujan. Wajah-wajah yang didominasi wanita itu menunjukkan ekpresi lelah bercampur rasa takut yang sangat.Sebagian menangis tertahan. Anggota TNI dan para relawan segera bertindak membantu rombongan pengungsi yang baru tiba itu turun dari truk, menuntun mereka ke dalam gedung yang telah penuh sesak dengan pengungsi dari desa-desa sekitar lereng merapi yang berada di zona bahaya. Sebagian yang terluka atau terlalu lelah untuk berjalan , di gotong. Suara erangan dan tangisan bersahutan dengan kata-kata hiburan dari para relawan untuk menenangkan.Hiruk pikuk kekalutan bercampur baur memecah malam dingin yang seharusnya tenang mengantar ke alam mimpi dalam tidur yang nyenyak.

Di dalam gedung stadion yang menjadi tempat penampungan pengungsi dan telah dijejali ribuan manusia, kamera menyorot beberapa korban dengan kondisi yang menyedihkan. Seorang nenek tua terbaring di tandu dengan rambut, wajah dan pakaian belepotan lumpur debu yang telah mengering. Tangannya yang keriput dan kotor oleh debu gemetaran. Di pojok yang lain terlihat seorang bayi perempuan mungil terbaring sambil menangis ketakutan, juga dengan wajah, rambut dan sekujur tubuh belepotan lumpur debu hitam... disudut yang lain seorang kakek tua dengan wajah shock juga belepotan lumpur, maskernya yang telah rusak tergantung lemah di bawah dagunya.Hampir semua pengungsi yang tiba malam itu dalam kondisi serupa, kotor bersaput hujan lumpur debu vulkanik dan shock didera horor merapi yang meletus dasyat kamis malam tanggal O4 november.

Keesokan harinya, kamera menyorot keadaan dusun-dusun di sekitar lereng merapi radius 7 sampai 10 kilometer yang luluh lantak diterjang awan panas atau wedhus gembel. Rumah-rumah hancur tak berbentuk. Pohon-pohon meranggas tanpa dedaunan lagi. Seluruh permukaan tanah ditutupi debu abu tebal. Sisa panas api mengepulkan asap dari beberapa tempat. Beberapa saat kemudian terlihat onggokan tubuh manusia yang telah terbakar hangus (ketika ditayangkan telah di-blur). Mereka korban tewas wedhus gembel yang menyergap dimalam kelam itu. Dilaporkan kemudian diketemukan puluhan jenazah yang terbakar hangus. Jasad-jasad itu kemudian diletakkan berjejer di lantai rumah sakit Sarjito Jogjakarta.
Satu cerita menyedihkan yang sempat kubaca, adalah joko yang selamat dari kematian setelah menenggelamkan tubuhnya di parit depan rumah tatkala sang awan panas melintas mancabut nyawa hidup yang ditemuinya. Joko malam itu baru saja tiba di depan rumah setelah bolak-balik mengantarkan sanak keluarganya mengungsi dengan sepeda motor. Kali ini ia akan menjemput kedua Simbahnya. Simbah putri telah menanti di depan pintu. Simbah laki masih terbaring sakit di dalam rumah. Baru saja Joko turun dari sepeda motornya suara gemuruh mengerikan turun dari arah atas disertai kabut awan awan datang bergulung-gulung dengan kecepatan tinggi. Joko segera melompat ke parit dan menenggelamkan diri selama lima menit. Ketika awan panas berlalu, keadaan yang dilihatnya membuat dunia tidak sama lagi. Simbah putrinya tewas di tempat ia menunggu jemputan Joko...

Sekian ribu kilometer jauhnya, dipisahkan laut dan pulau-pulau, gambar duka yang sama juga terpampang oleh sorot kamera. Wajah-wajah trauma, meringis menahan sakit dan putus asa dari korban gempa dan tsunami di Mentawai.
Seorang ibu muda berdiri terpaku ketika jasad anggota keluarganya dimakamkan. Tiba-tiba ia tumbang. Tak ada tenaga medis yang segera menolong. Seorang relawan lokal yang sama lusuhnya mencoba membangunkan. Ibu itu tak bergeming. Duka yang tak terperikan menghilangkan kesadarannya.

Di dusun lain, seorang relawan menerobos hujan menyisiri sungai dengan rakit bambu, membawa beberapa kantong berisi jenazah di ujung rakitnya. Ia hanya seorang diri berusaha sekuat tenaga mendorong bilah bambu yang jadi dayungnya.

Gambar-gambar dusun pesisir yang telah rata dengan tanah, pohon-pohon yang tercabut dari akar, mayat-mayat yang diangkat dari reruntuhan material yang dihanyutkan terjangan air, yang dikerjakan dengan tangan kosong atau parang seadaanya oleh penduduk yang selamat.
Seorang relawan lokal, pemuda berusia 26 tahun, bercerita pada wartawan kompas. Ketika ia tiba di hari ketiga di lokasi bencana dari Padang, bantuan belum ada. Ia beserta 16 orang relawan lokal lainya , beserta 15 orang dari Basarnas dan 10 orang dari PMI Sumbar, berangkat dengan perhau motor menempuh perjalanan 2 jam mengarungi lautan samudra Hindia yang berbahaya menuju lokasi bencana terparah. Di sana ia melihat kengerian akibat dasyatnya bencana. Mayat-mayat bergelimpangan, dengan kondisi sudah setengah membusuk dan membengkak. Korban selamat banyak yang mengalami cidera,tanpa ada yang menolong. Mereka kelaparan dan putus asa. Air mata tak henti menetes dari mata pemuda itu sambil mereka bekerja keras tanpa henti mencari, menguburkan, menghibur, mengevakuasi korban luka ke puskemas terdekat di Sikakap.

Di ujung jauh di timur, gambar horor air bah raksasa meluluhlantakan Wasior. Rumah-rumah tembok roboh seakan tak bertulang, menghanyutkan ratusan penduduk kota kecil di bumi cendrawasih Hanya kengerian tatkala jasad-jasad terkubur lumpur tebal itu diketemukan.

Itu semua adalah adegan yang terekam kamera televisi swasta. Yang saya saksikan dari layar kaca, sekian ratus kilometer dari lokasi bencana.
Tak kuasa sebenarnya menyaksikan, namun keingin tahuan membuat saya kadang mengintip walaupun sesudahnya hati tercekat dan mata berkaca-kaca.
Betapa dekat penderitaan itu oleh rasa iba mendalam, serasa menyergap tubuh dan jiwa sendiri. Ingin rasanya terbang, merangkul, menghibur, memberikan segala tenaga dan daya membantu. Tapi beginilah yang terjadi, hanya doa dan sedikit materi yang mudah2an bisa membantu meringankan sedikit saja trilyunan duka yang mereka rasakan.

Dan sedikit catatan unek-unek yang sebenarnya malas disampaikan, tapi sekali lagi dikalahkan oleh kekerashatian.
Sempat terbaca pemberitaan tentng kepergian Gubernur sumatra barat ke Jerman untuk menghadiri undangan dari kedubes RI disana. Pak Gubernur diundang untuk mempresentasikan potensi propinsi pimpinannya dihadapan pejabat dan pengusaha Jerman, yang tengah dirudung bencana dasyat.
Awalnya saya hanya menghela napas, namun tak heran, karena sudah sedemikian sering mendengar kabar pejabat yang ibarat anjing menggonggong kafilah tetap berlalu.
Namun siang tadi saya menyaksikan tayangan siaran pers beliau menjelaskan alasan kepergian ke Jerman,
Kali ini saya mengerutkan kening disertai rasa nelangsa. Pak Gubernur dengan tenang mengatakan bahwa kepergiannya ke Jerman sudah terjadwal jauh2 hari. Sudah ada dalam sistem. Kata beliau diakhir siaran, ada rasa bersalah jika tak memenuhi undangan yg sudah terjadwal itu...
Kalimat terakhir sungguh mengagetkan saya. (Mudah-mudahan saya salah mempretasikan) kalimat itu seakan merefleksikan bahwa gubernur akan merasa bersalah jika tidak datang ke Jerman, alih-alih meninggalkan rakyatnya yang sedang menderta teramat sangat akibat bencana...? Ah, speechless rasanya.

Kuatkan hati saudara-saudaraku,
Jangan menyerah,
Duka kalian adalah duka kami,
Doa kami selalu menyertai.
Amin,

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun