Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Talk Less Do More!!!

26 Maret 2010   07:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:11 103 0

Bukan bermaksud untuk mengiklankan sebuah tagline rokok. Namun rasanya itu tepat menggambarkan keadaan yang pernah ku alami.

Awal menjadi guru, argumen miring pun kerap mewarnai. Belum segenapsetahun aku mengajar tudingan bahwa profesi ini sebagai batu loncatan semata terdengar begitu saja. belum setengah tahun aku mengajar beberapa tudingan kesalahan dilemparkan padaku.

Karena sistem sekolah yang tidak menggunakan bel, jika waktu bermain habis dan masuk ke Main Activity. Biasanya anak-anak akan berteriak, “Time IsOver…” dengan lengkingan beberapa oktaf. Aku yang berkeliling saat itu juga memanggil dengan suara yang biasa-biasa saja.

Tiba-tiba seseorang lewat seraya berkata, “Anaknya teriak-teriak begitu, gurunya yang ngajarin ya?” Aku tersentak, malas kubalas aku tersenyum biasa padanya.

Lain hal lagi, saat beberapa sendal muridku tak dirapikan di rak. Seseorang itu lewat sembari memanggilku dari bawah (aku ada di atas). “Ini sendal anak-anakmu belum rapi! Gurunya yang ngajarin ya!” Lagi-lagi aku tersentak. Padahal posisiku saat itu masih asisten, di atas masih ada guru utama di kelas. Tapi kenapa dia tidak dipanggil. Kenapa harus aku? Sebenarnya aku ingin membalasnya, namun aku malas. Lagian saat itu aku belum genap setahun mengajar. Rasanya tak elok jika mencari sensasi bukan prestasi.

Aku hanya tersenyum seraya tertawa. Kata-katanya masih terngiang di kepala. “Gurunya yang ngajarin?” Waduh, jika ditilik dengan logika mana ada guru yang mengajarkan hal-hal yang tak baik kepada muridnya. Jika dipikir lagi, sesuatu yang diajarkan guru di sekolah belum tentu semuanya masuk karena masih ada lingkungan di rumah yang berpengaruh. Di lain kesempatan seseorang itu mengajarkan sesuatu di kelas, waduh…ternyata dia tak mampu mengajar dengan lebih baik! Gubrak…..

Waktu terus berlalu, dan memang waktulah yang memecah tudingan-tudingan itu. masuk tahun kedua hingga kini tahun keempat. Terkadang tudingan buruk masih menyudutkanku. Namun aku malas membalas jika tak berhubungan dengan hal-hal pribadi mengenaiku. Aku lebih banyak bekerja daripada susumbar dengan kata-kata.

Pernah beberapa guru membaca tulisanku di blog ini. Seperti seorang sastrawan dan lulusan jurusan Bahasa Indonesia. Mereka mengkritik tulisanku semuanya, bahkan mereka bilang tulisanku buruk-buruk. Waduh, aku jadi tersanjung.

Aku mencpba menerima kritikan itu, namun saat aku lihat guru-guru tersebut. Kritikan mereka tak lantas membuatku menuruti mereka. Toh, mereka bukan sastrawan, bahkan tak satupun tulisan mereka yang pernah aku baca. Karena memang mereka tak menulis. Jika pun mereka menulis belum tentu lah tulisan mereka akan sebagus tulisan yang mereka kritik.

Aku tersenyum, aku akan lebih menerima kriktikan dari semua orang ketika orang tersebut mampu menunjukkan hal yang sama bahkan lebih. Jika para blogger mengkritisi tulisanku pastinya aku akan menerima. Karena blogger tersebut juga menulis, bahkan terkadang mereka (para blogger) lebih menghargai tulisan kita. Sejelek apapun itu!

Talk Less Do More, kadang kita terlalu banyak bicara dan lupa untuk berbuat. Saat aku baca novel Bothchan dan novel Omiyagenya Selvia Iskandar, majunya orang-orang Jepang di dunia ini karena mereka lebih banyak bekerja dibandingkan berbicara. Tak mau mengurusi urusan orang lain.

Tak hanya di novel, Talk Less Do More juga ada di Al Quran, Surat As-Saff ayat 2-3, “Wahai Orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (Itu) sangat dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan!

Talk Less Do More, lebih sedikit berbicara dan banyak melakukan sesuatu. Sesuatu yang mampu membungkam orang-orang yang banyak bicara! Banyak mengkritik namun ketika diminta mengerjakan hal yang serupa, hasilnya bahkan lebih buruk!

Semoga kita jauh dari hal-hal tersebut……

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun