Gedung dan gubukmu, mencium langit masih saja meratap tangis
Di jalan- jalan, seliweran meriuh iblis saling menggentayangi
Mana hilir mana hulu, yang ada ada hanya bibir dan mulut
Di simpang ruas terik legam maupun malam kelam,
kunang- kunang mengerlip, selip
Menata jalan yang sesak bergerombol di tikungan, tikus got
Matamu menyalak bagai bara api, memanggang punggung
Kau lupa kau ibu dari setiap bunda, yang kunjung menyusui
Jakarta, angkuhmu terlalu: bangku tuamu tak pernah renta
Tak kenal tetangga, tak kenal sesama, tetapi engkau terkenal
Engkau membangun tanah, engkau juga meruntuhkan tanah,
lalu gila, anjing gila, banteng gila, musik gila, tergila – gila:
Orang-orangpun juga gila, harta dan jabatan, akhirnya gila sendiri
Berkacalah engkau Jakarta; pada hijau bumi, pada kali yang bening,
Pada lautan yang teduh, pada malam yang sepi, pada udara yang sejuk,
pada jalanan yang lengang, pada arca yang diam, pada gubuk yang reot
Engkau menampik senandung usang, “siapa suruh datang Jakarta”
Terlalu kejam, sungguh engkau kejam, melebihi ibu tiri yang konon kejam