Mohon tunggu...
KOMENTAR
Financial

Polemik Kenaikan Harga Mi Instan, Dapatkah Proyek Lumbung Pangan Sorgum Menjadi Solusi?

11 September 2022   18:15 Diperbarui: 11 September 2022   18:20 304 6
Polemik Kenaikan Harga Mi Instan, Dapatkah Proyek Lumbung Pangan Sorgum Menjadi Solusi?

Belakangan ini mi instan menjadi topik perbincangan hangat di masyarakat. Pedagang mi instan di Pasar Tradisional Gianyar, Bali mengatakan pembelian mi instan mulai berkurang meskipun stok masih mencukupi dan harga mi instan belum naik. Menurut para pedagang hal ini disebabkan isu yang beredar tentang kenaikan harga mi instan. Sebelumnya, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo memang menyatakan bahwa harga mi instan berpotensi naik 3 kali lipat akibat perang Rusia dan Ukraina. (Kompas tv, 16/08/2022).

Namun, pernyataan mentan dibantah oleh mendag, Zulkifli Hasan yang menyatakan harga gandum tidak akan naik, sebab Australia, Kanada, Amerika panen gandumnya bagus, dan Ukraina pun telah mendapat izin ekspor gandum. Berdasarkan data BPS, tiga negara terbesar pengimpor gandum dan meslin ke Indonesia selama periode Januari-Mei 2022, adalah Australia, Argentina, dan Kanada. (Databoks katadata, 05/08/2022).

Senada dengan mendag, Direktur Indofood Sukses Makmur, Franciscus Welirang menyatakan bahwa kenaikan harga mi instan tidak dipicu perang Rusia-Ukraina. Kenaikan gandum telah terjadi sejak 2021 akibat perubahan iklim global yang menyebabkan negara pengekspor gandum ke Indonesia mengalami gagal panen. (CNBC Indonesia, 12/08/2022).

Ia juga menambahkan bahwa harga mi instan tidak akan naik. Sejauh ini para produsen mi instan juga belum ada yang mengeluhkan kenaikan harga gandum berdampak pada produksi mereka, pasokan gandum di Indonesia masih aman, ungkapnya. Menurutnya bahan untuk pembuatan mi instan tidak hanya tepung terigu tapi banyak bahan lainnya, sehingga kenaikan harga gandum tidak akan berpengaruh pada kenaikan harga mi instan. (Kompas, 13/08/2022).

Seputar Sorgum

Sebagaimana kita ketahui, betapa tingginya ketergantungan Indonesia terhadap impor gandum. Oleh karenanya, pemerintah tengah gencar mengembangkan sorgum sebagai bahan pangan nasional. Sorgum adalah tanaman yang diklaim paling layak menggantikan gandum. Hal ini dikarenakan, hingga saat ini gandum belum dapat dibudidayakan secara massa di Indonesia.

Gandum merupakan tanaman subtropis cenderung sejuk dengan kelembaban udara yang rendah. Sementara Indonesia sendiri, merupakan negara beriklim tropis dengan kelembaban udara tinggi. Menurut penelitian, kalau pun gandum dapat ditanam di Indonesia, area tanamnya hanya di tempat tertentu yang tidak luas dan pertumbuhannya pun sangat kritis diakibatkan kelembaban udara Indonesia yang sangat tinggi.

Berbeda dengan gandum, sorgum merupakan tanaman asli Indonesia. Iklim Indonesia sangat mendukung penanaman sorgum. Sorgum mudah beradaptasi dengan lahan kering, dapat ditanam sepanjang tahun, cukup satu kali tanam dengan potensi panen 3 kali dalam setahun. Sorgum termasuk tanaman yang mudah dibudidayakan sebab biaya pemeliharaannya termasuk murah dan bisa ditanam secara tumpang sari dengan padi gogo, kedelai, kacang tanah atau tembakau, ataupun ditanam tunggal.

Dari 100 hektar lahan yang ditanami sorgum, per hektar lahan dapat dipanen 3 ton sorgum. Berarti dalam setahun dapat dihasilkan sebanyak 900 ton. Angka tersebut belum termasuk olahan ampas batang dan daun sorgum yang dapat digunakan sebagai pakan ternak atau sumber bioetanol. (CNN Indonesia, 19/08/2022). Sorgum dapat dikonsumsi baik sebagai beras sorgum atau dijadikan tepung, kemudian diolah lagi untuk menjadi berbagai panganan yang variatif seperti roti, mi basah, mi instan, berbagai olahan kue, dan berbagai olahan yang biasanya terbuat dari tepung terigu yang berasal dari gandum.

Sorgum merupakan makanan pokok di banyak negara. Di Asia Selatan dan Afrika Sub-Sahara, sorgum menjadi makanan pokok penting. Di Asia, penanam sorgum terluas ada di India dan Cina. Di benua Afrika, penanaman sorgum terluas ada di Nigeria dan Sudan. Hampir seluruh negara Afrika baik yang beriklim tropis maupun tidak menggunakan sorgum sebagai bahan pangan, diantaranya Sudan, Maroko, Somalia, Libya, dan Mesir. Di benua Amerika, negara penanam sorgum terbesar adalah Meksiko dan Argentina.

Di Indonesia pemerintah telah membuat peta jalan (road map) produksi sorgum. Pemerintah menargetkan musim taman tahun ini sebanyak 15 ribu ha dengan pengembangan 100 ribu ha, daerah prioritas di kabupaten Waingapu, NTT. (CNN Indonesia, 19/08/2022). Realisasi pengembangan sorgum hingga bulan Juni baru dilakukan di 6 provinsi. Tahun 2023, pemerintah rencananya akan membuka 115.000 hektar lahan untuk budidaya sorgum. Dan tahun 2024 akan disiapkan lahan sebesar 154.000 hektare. (Kontan, 04/08/2022).

Tingginya Konsumsi Mi Instan Indonesia

Realitas konsumsi mi instan dunia, menunjukkan bahwa gandum merupakan komoditas strategis. Indonesia sendiri termasuk negara pengkonsumsi mi instan kedua dunia setelah Cina. Berdasarkan data World Instant Noodles Association (10/08/2022), dalam lima tahun terakhir sampai 2021, konsumsi mi instan masyarakat Indonesia terus meningkatkan.

Lebih-lebih sejak pandemi (2020---2021), pada 2020 konsumsi mi instan Indonesia sebesar 12,64 miliar porsi. Angka tersebut naik dibandingkan pada 2019 yang besarnya 12,6 miliar porsi. Berikutnya sepanjang 2021, total konsumsi mi instan di tanah air meningkat lagi, yakni sebanyak 13,27 miliar porsi.

Tingginya konsumsi mi instan ini tergambar dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2020. Hasil survei itu mendapati bahwa 92% atau sekitar 248,7 juta penduduk Indonesia pernah mengonsumsi mi instan (satuan bungkus sekitar 80 gr).

Mi instan juga tidak mengenal kelas ekonomi sosial. Susenas mencatat bahwa persentase rumah tangga (RT) menengah atas dengan pengeluaran >Rp5---10 juta per bulan adalah kalangan dengan jumlah terbesar konsumsi mi instan. Sebanyak 95,79% atau 16,1 juta RT menengah atas menyantap mi instan.

Proyek Lumbung Pangan Sorgum, Sebenarnya untuk apa?

Adanya ancaman krisis pangan global, membuat negera-negera dunia berupaya mengantisipasi hal ini, termasuk Indonesia. Pemerintah  melalui Mentan, Syahrul Yasin Limpo memerintahkan agar semua importir gandum mau menyerap sorgum produksi lokal sebagai bahan baku perbuatan berbagai olahan makanan yang biasanya menggunakan tepung terigu. Pemerintah berharap setidaknya perusahaan makanan dapat beralih pada sorgum, mengingatkan masih tingginya impor gandum Indonesia per tahun 2021/2022 sebanyak 11,6 ribu ton, yang sangat memberatkan devisa negara.

Menanggapi hal ini Franciscus Welirang, Komisaris PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk, produsen mi instan merek Indomie, mengungkapkan bahwa sampai saat ini pihaknya belum memikirkan untuk beralih ke sorgum, "10 tahun lalu kami telah mencoba dan menyiapkan alat pengolahannya, hasilnya bangkrut karena tidak konsisten suplai dan harganya lebih mahal dari terigu." (CNN Indonesia, 19/08/2022).

Mencermati semua ini, peran sorgum memang akan sangat efektif menggantikan gandum dan bisa menjadi pemain penting dalam industri pangan. Namun, apalah arti substitusi sorgum terhadap gandum jika masalah utama di Indonesia perihal pangan masih terletak pada level distribusi? Yaitu kemampuan produk pangan ini terserap oleh pasar domestik. Selama ini, realitasnya komoditas sorgum di Indonesia dianggap tidak memiliki bernilai ekonomi.

Sorgum di Indonesia telah kalah saing dengan komoditas yang bernilai ekonomi lebih tinggi, seperti jagung, kacang hijau, padi gogo, atau ubi kayu. Tampaknya, ketiadaan pasar ini telah menjadi "pemusnah" tanaman sorgum dari lahan petani. Apa pula yang hendak diharapkan dari keberadaan sorgum? Pasalnya sorgum bukan salah satu sumber pangan orang Indonesia. Walaupun jumlah konsumsi mi instan Indonesia sangat tinggi. Namun, Indonesia sendiri masih menjadi negara dengan bahan pangan utama berbasis padi (beras).

Wacana untuk mencari pengganti tepung terigu yang berbasis gandum sudah berkali-kali beredar di masyarakat. Telah banyak dilakukan riset-riset dan uji coba yang dilakukan oleh para ahli. Sebelumnya ada tepung mocaf (tepung dari singkong), hingga saat ini telah banyak produsen yang memproduksinya. Meskipun demikian, pasar kurang melirik tepung ini disebabkan harganya yang lebih mahal dari tepung terigu. hal serupa juga terjadi pada bahan subtitusi tepung berbasis gandum lainnya.

Maka menjadi pertanyaan, akan diarahkan kemana proyek lumbung pangan berbasis sorgum ini? Adakah untuk menyuplai kebutuhan dalam negeri atau hanya sebagai agenda global penuntasan ancaman krisis pangan dunia? Apalagi negara-negara agraris di dunia memang sedang diarahkan untuk mengatasi kerawanan pangan global. Ditambah inflasi tinggi yang terjadi di banyak negara sehingga harga makanan melejit dan penduduk banyak yang tidak mampu membelinya.

Bukankah sangat ironis bagi sebuah negara agraris, yang mengekspor hasil pertanian untuk mengatasi kerawanan pangan global. Tapi, di sisi lain, sumber kebutuhan pangan utama penduduknya masih bergantung pada impor. Sebagaimana telah diberitakan, pemerintah Indonesia baru saja menerima penghargaan dari Institut Penelitian Padi Internasional (IRRI) karena sistem ketahanan pangan yang baik dan berhasil swasembada beras pada periode 2019---2021.

Kendati demikian, sepanjang Januari-April 2022, USDA mencatat, Indonesia mengimpor beras dari India (55%), Pakistan (19,1%), dan Thailand (13,7%). (CNBC Indonesia, 15/08/2022). Kondisi ini diperparah oleh ketakseriusan pemerintah untuk membangun pertanian, sistem pengolahan hasil pertanian, dan rantai distribusi hasil pertanian ke konsumen/masyarakat. Padahal, pertanian itu menyangkut hidup dan mati manusia.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun