Mohon tunggu...
KOMENTAR
KKN Pilihan

Kita, yang Tak Menjadi

29 Juni 2024   01:04 Diperbarui: 29 Juni 2024   01:07 332 3
Orang bilang, aku selalu terlihat tenang seperti air. Sebenarnya tidak seperti itu. Aku tidak sepenuhnya sependapat dengan apa yang orang-orang bilang. Seperti sekarang. Jantungku berdegup kencang. Tubuhku panas dingin. Aku selalu begini setiap merasa cemas.

Aku melangkahkan kakiku dengan lambat ketika sedikit lagi akan sampai di danau. Aku cemas setiap akan bertemu orang baru. Aku sudah mempersiapkan diri jauh hari untuk hari ini, tapi aku masih tetap cemas. Perutku mulas saking cemasnya. Aku yakin aku tidak ingin ke toilet. Mulasnya perutku hanya efek dari aku terlalu cemas.

Aku berhenti sejenak. Tarik napas, keluarkan. Siap tidak siap, aku harus siap. Aku membuka lagi ruang chat grup di aplikasi chatting. Sudah ada yang sampai lebih dulu dan dia mengirim foto lokasinya. Aku mencari ke sekitar. Benar saja, dia duduk di atas rumput seraya bermain dengan ponselnya. Aku berjalan mendekatinya. Dia mengangkat kepalanya dan tersenyum padaku.

"Halo, aku Ivanka," ujarnya setelah memastikan aku duduk dengan nyaman.

"Aku Sasya."

Setelahnya hening menyeruak. Canggung sekali. Aku rasanya ingin pulang dan rebahan dengan nyaman di kamar kos seraya nonton drama. Aku dan dia sibuk dengan ponsel masing-masing.

Suasana sedikit membaik ketika satu per satu anggota kelompok datang. Kami memulai dengan perkenalan, berdiskusi sedikit tentang program kerja yang akan kami laksanakan selama KKN, hingga tiba pembahasan mengenai struktur. Kami setuju menunjuk Ivanka sebagai ketua. Dia tenang dan menggiring diskusi dengan baik dan terstruktur.

"Siapa yang mau jadi sekretaris?" tanya Ivanka.

Ivanka memandang kami satu per satu. Kami mengalihkan pandangan. Siapa juga yang ingin repot mengemban tanggung jawab sebagai tangan kanan ketua. Aku juga tidak ingin. Lebih baik jadi anggota saja.

"Sasya, jadi sekretaris, ya?" ujar Ivanka seraya menatapku dan tersenyum.

Bagiku, perkataannya tidak seperti pertanyaan, melainkan pernyataan. Sial, semua orang menatapku dengan mata penuh harapan sekarang.

"Kenapa aku?" tanyaku menatapnya balik. Aku harap dia bisa melihat ketidakinginanku lewat mataku.

"Intuisi seorang ketua," jawabnya, masih dengan senyum melekat di wajahnya.

Jawaban macam apa itu. Aku ingin protes, tapi energiku sudah habis. Akhirnya, aku mengangguk biar cepat selesai. Aku ingin cepat pulang dan rebahan.

Setelah menunjukku, kami membahas struktur lainnya. Hari yang melelahkan itu akhirnya selesai setelah satu jam berkumpul. Mereka masih ada yang belum beranjak. Tanpa melihat ke belakang, aku beranjak meninggalkan danau.

***

Aku meregangkan tubuhku setelah seharian rebahan dan nonton drama. Hari ini, cuma ada kelas pagi. Kebetulan tidak ada rapat organisasi. Aku memanfaatkannya untuk bersantai. Kapan lagi aku punya waktu luang.

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh. Aku memutuskan untuk menonton satu episode lagi. Tiba-tiba, pintu kamar kosku diketuk. Aku mengerutkan kening. Siapa yang bertandang malam-malam.

"Oh, kalian. Ada apa, ya?" tanyaku setelah membuka pintu. Dua orang teman sekelompok KKN berdiri di hadapanku. Setelah beberapa kali bertemu, kami mulai dekat untuk saling mengunjungi kamar kos. Kadang, teman yang perempuan menginap di kamarku, begitu juga aku yang kadang menginap di kamar kos mereka.

"Ada yang mau kita diskusikan. Ke bawah sebentar, yuk."

Aku menutup pintu kamar lalu ikut turun ke lantai satu. Sebenarnya banyak yang aku pertanyakan, namun aku akan mengikuti alur. Diskusi mendadak seperti ini membuatku heran. Aku tercengang ketika tiba di lantai satu.

Ivanka berdiri memegang sebuah kue dikelilingi oleh teman-teman yang lain. Aku bahkan lupa dengan hari ini. Aku selalu melalui hari ini dengan biasa saja. Seakan tanggal hari ini tidak ada artinya untukku. Aku berusia dua puluh tahun hari ini. Untuk pertama kalinya, hadirnya aku di dunia ini dirayakan dengan lilin.

"Selamat hari lahir, Sasya," ujar Ivanka dan teman-teman lainnya.

Aku meniup lilin pertamaku. Api lilin itu padam diiringi dengan tepuk tangan teman-temanku. Aku memotong kue itu. Aku sudah hampir memasukkan kue itu ke mulut ketika seorang teman berkata.

"Pak Ketua, suapin Ibu Sekretarisnya, dong."

Aku mendelik pada temanku itu. Aku tidak berani menatap Ivanka. Takut dia marah. Temanku yang satu itu memang usil. Mampus aku. Bagaimana caranya menenangkan ketua kelompok yang marah.

Apa yang aku bayangkan berbanding terbalik dengan yang terjadi. Dia menatapku dengan senyuman dan menyodorkan sesendok kue ke mulutku. Aku memakan kue itu dengan perasaan malu yang luar biasa. Teman-teman yang lain bersorak. Aku bisa merasakan wajahku memanas. Aku ingin menghilang rasanya sekarang. Sialan temanku itu. Ingatkan aku untuk membalasnya nanti.

Jujur, aku bahagia dengan perayaan sederhana malam ini. Aku harap kedepannya akan selalu bahagia seperti ini bersama mereka. Malam ini, sepertinya aku akan tidur nyenyak.

***

Entah sudah berapa kali aku menguap, namun tanganku terus berkutat di atas papan ketik. Aku memeriksa buku agenda untuk melihat daftar prioritas yang aku susun. Tenggat waktu makin dekat sehingga beberapa hari ini aku mengurangi waktu tidur. Aku harus menyelesaikannya agar bisa rebahan dan nonton drama dengan tenang.

Sebuah notifikasi di ponsel mengalihkan perhatianku. Mataku yang mengantuk seketika terbuka lebar. Aku bergegas turun ke bawah. Dia ada di sana dengan senyum yang tidak lepas dari wajahnya.

"Ivan, proposalnya belum selesai, lagi aku ketik. Kan bisa tanya di chat, kenapa kamu ke sini?" ujarku sedikit panik sampai aku tidak sadar mencerocos apa saja. Aku jadi panik kalau didatangi seperti ini. Rasanya seperti tidak kompeten kalau sampai ditagih untuk hal yang sedang aku kerjakan. Padahal pasti akan kuselesaikan sesuai tenggat waktu.

Dia tertawa kecil. Dia menyerahkan sebuah bungkusan padaku. Aku membuka bungkusan itu. Di dalamnya ada sebuah kotak bekal, vitamin C, dan sebuah benda yang aku tidak tahu kenapa dia memberiku itu. Aku mengernyitkan kening.

Aku menunjukkan padanya benda itu. "Masker? Untuk apa? Kamu mau aku cantik?"

Dia tertawa. "Biar kamu gak jadi panda."

Aku tidak tahu ekspresi seperti apa yang aku tunjukkan hingga dia mengacak rambutku sampai berantakan. Aku menepis tangannya dan sedikit mengomel. Dia tertawa sembari merapikan rambutku.

"Jangan panik, Sasya. Aku tau kamu pasti akan menyelesaikan proposal itu tepat waktu. Intuisi ketua gak bakal salah. Kalau ada yang perlu aku lakukan, bilang aja. Jangan dipendam sendiri. Jaga kesehatan, ya."

Aku terdiam. Dia selesai merapikan rambutku. Terakhir, dia menepuk kepalaku pelan lalu pamit pulang.

"Ivan, terima kasih. Kamu juga jaga kesehatan."

Dia mengacungkan jempol kemudian melaju meninggalkan kos-kosan. Aku buka sedikit kotak bekal itu setelah dia tidak lagi terlihat. Aku tidak tahu dia beli atau masak sendiri. Tanpa sadar, bibirku tersenyum. Sesuatu yang jarang aku tampilkan karena memang tidak alasan untuk menampilkannya. Senyum itu terus ada hingga aku masuk ke kamar dan memakan bekal pemberiannya.

***

Hampir sebulan kami mempersiapkan banyak hal untuk keperluan KKN. Hari ini, tiba kami berangkat ke pulau lokasi kami akan KKN. Hampir sebulan ini juga aku kekurangan tidur sehingga sekarang aku merasa sangat lelah. Aku membuka kotak obat dan mengeluarkan obat anti mabuk. Aku menelan obat itu dalam sekali teguk. Aku terkesiap ketika sebuah tangan menyodorkan botol minum. Aku mengangkat kepala. Dia dengan senyumnya yang entah kenapa tidak pernah lepas dari wajahnya. Aku berdeham lalu menerima botol minumnya. Aku mengucapkan terima kasih dan dia mengangguk. Setelahnya, kami sibuk menata barang-barang dan mencari kursi masing-masing. Aku bersyukur sekali penumpang kapal ini tidak terlalu padat. Aku bisa rebahan di kursi yang seharusnya diduduki dua orang. Setelahnya aku benar-benar terlelap. Entah efek obat atau rasa lelahku.

Kami tiba di pulau keesokan harinya. Matahari yang baru terbit ternyata sangat indah. Angin pagi juga ternyata menyegarkan sekali. Aku bukan morning person, namun sepertinya sesekali aku harus mencoba bangun pagi dan menikmati pagi hari.

Tidak lama kemudian, kami tiba di pelabuhan. Sebelum ke lokasi desa penempatan, kami mengisi perut terlebih dahulu dan menggunakan waktu yang sedikit itu untuk menikmati Pantai. Aku mengambil banyak foto untuk kenang-kenangan.

"Sasya, mau lihat dua hal yang indah gak?" tanya Ivanka. Entah sejak kapan dia sudah ada di dekatku.

"Mana?"

Dia menarik tanganku mendekat ke Pantai. Ada sebuah bintang laut di sana. Mataku berbinar melihat bintang laut untuk pertama kalinya.

"Satu laginya mana?" tanyaku.

Dia menunjukkan ponselnya. Ada fotoku sedang memotret dan fotoku saat melihat bintang laut. Aku mengernyitkan kening.

"Bagian mananya yang indah dari fotoku?"

"Lihat ekspresimu, Sasya," ujarnya entah gemas atau kesal. Aku juga tidak tahu.

"Oh."

"Udahlah. Kamu memang manusia minim ekspresi. Apa yang aku harapkan dari seorang manusia minim ekspresi."

Aku tertawa. Si Ivanka ini makin hari makin pandai melawak. Dia harus unjuk bakat menurutku. Teman-teman yang lain lalu memanggil kami. Mobil jemputan kami sudah tiba. Selamat datang masa-masa KKN untukku.

***

"Sya, surat izin untuk kepala sekolah udah jadi?" tanya salah satu temanku.

"Udah. Bentar, ya, aku cari failnya dulu," ujarku sembari membuka laptop.

Mataku fokus menatap fail surat yang ada banyak sekali. Aku sudah meletakkannya di folder khusus surat biar tidak susah untuk dicari. Aku terus mencari surat itu hingga akhir. Aku tercengang. Aku mencarinya sekali lagi.

"Kenapa, Sya?"

"Kok gak ada? Aku udah bikin, kok, suratnya. Kenapa gak ada?" ujarku panik.

Aku mencarinya sekali lagi dan mulai menyusuri folder lain yang aku yakin pasti tidak ada. Aku tidak mungkin melakukan kesalahan meletakkan surat itu di folder lain. Namun, nihil. Surat itu tidak ada di folder mana pun.

Tatapanku kosong. Temanku memanggilku dan menggoyang-goyangkan pundakku. Aku seketika berdiri dan meninggalkannya. Aku masuk ke kamar dan menguncinya. Aku memeluk lututku dan terus mengulangi kalimat tidak apa-apa membuat kesalahan di kepalaku. Aku terus tenggelam dalam pikiranku hingga tiba-tiba aku mendengar suara ketukan pintu yang keras dan namaku yang dipanggil dengan nada suara yang panik. Aku beranjak membuka pintu. Itu Ivanka dan teman-teman yang memandangku dengan panik.

Dia menenangkan dirinya kemudian menenangkan teman-teman yang lain. Dia menggenggam tanganku pelan dan mengajakku duduk di bawah pohon rindang di luar Sekretariat. Dia menepuk kepalaku pelan dan sesekali mengusapnya. Entah karena dia atau angin di bawah pohon rindang, aku mulai merasa tenang. Kepalaku tidak terlalu berisik seperti tadi. Tidak ada kata-kata untuk menenangkanku keluar dari mulutnya. Bagiku itu lebih baik dan sudah cukup.

"Sasya, aku bawa laptopmu. Kita ketik lagi suratnya, ya," ujarnya sambil tersenyum. Aku tidak akan bertanya-tanya lagi kenapa senyuman tidak pernah lepas dari wajahnya. Ivanka dan senyum sudah satu paket yang tidak bisa dipisahkan.

Kata-kata motivasi di internet ada benarnya juga. Di hari yang buruk pasti ada juga yang indah. Aku malas mengakui ini, tapi dia yang membuatnya indah. Aku memejamkan mata dan menyenderkan tubuh di pohon. Setelahnya aku terlelap dalam mimpi yang indah.

***

Ivanka memutuskan setiap hari minggu sebagai hari libur kami. Tanpa pembahasan program kerja dan yang berkaitan dengan KKN. Kami hanya harus menikmati waktu untuk bersantai. Kita manusia, bukan robot, katanya. Untuk kali ini, aku mengakui dia ketua yang bijak.

Setiap senggang begini Sekretariat kami selalu dikunjungi anak-anak. Kami ajak mereka bermain, membacakan mereka dongeng, kadang juga ke Pantai. Energi anak-anak yang tanpa beban itu benar-benar memulihkan energi kami.

Hari ini, anak-anak memutuskan untuk membaca buku-buku yang kami bawakan. Mereka saling berebutan buku. Kami sampai kewalahan menenangkan mereka. Tiba-tiba, ada insiden. Seorang anak menangis karena jempol kakinya yang sedang terluka diinjak oleh anak yang lain. Aku refleks memeluk anak itu dan mengusap kepalanya pelan. Aku lalu mendudukkan dia di sofa dan aku berjongkok di hadapannya. Mengusap air matanya dan mengusap kepalanya pelan. Anak itu menunjuk jempol kakinya. Aku raih kakinya dan aku obati dengan obat merah lalu meniupnya pelan. Aku bertanya padanya apakah masih sakit. Anak itu menggelengkan kepalanya. Aku tersenyum dan menepuk kepalanya pelan. Anak itu lalu menghampiri temannya dan membaca buku bersama. Dia kembali tersenyum dan tertawa.

"Aku juga mau diperlakukan seperti itu," bisiknya. Aku menoleh. Dia sudah ada di sampingku. Menatapku dengan tatapan yang berbinar dan senyuman yang lebih cerah dari biasanya. Tangannya menepuk kepalaku pelan.

"Ya, udah. Sini Ivannya. Apa yang sakit, biar Kakak Sasya yang baik hati, ramah tamah, dan rajin menabung ini mengobatinya," ujarku sembari tersenyum cerah. Sepertinya senyumku juga tidak kalah cerah hingga bisa membuatnya tercengang sejenak.

"Rajin menabung di e-commerce maksudnya?"

"Gak rugi, kan. Nabung duit bisa dapat barang."

Dia tertawa sembari mengacak-acak rambutku sampai berantakan. Aku mengambil bantal sofa bermaksud menimpuknya. Dia sudah lari terlebih dahulu. Di luar, dia masih tertawa. Banyak-banyak sabar untuk diriku menghadapi Ivanka yang tidak bisa ditebak itu. Lupakan Ivanka sebentar. Mari lanjut bermain dengan anak-anak. Hari ini, aku menemukan dua kebahagiaan.

***

Tidak terasa sudah hampir satu bulan kami menjalani KKN. Hari ini, kami menjalankan program kerja terakhir. Padat sekali kegiatan hari ini. Sempat ada masalah tadi yang langsung bisa diatasi oleh Ivanka. Aku tidak pernah ragu. Aku tahu dia ketua yang bisa diandalkan.

Kami kembali dalam keadaan energi yang hampir sepenuhnya habis. Kami mengeluh bersamaan ketika ingat harus memasak untuk makan malam. Kami memutuskan untuk bergiliran memasak dan membersihkan diri biar menghemat waktu.

Aku mendapat giliran pertama setelah menang suit dari teman-teman yang lain. Aku sedikit menggoda mereka sebelum masuk ke kamar mandi. Terdengar sorakan kesal dari mereka yang ingin cepat-cepat istirahat.

Ketika selesai mandi, aku lihat Ivanka sedang merebahkan diri di sofa. Dia menutup matanya dengan sebelah tangan. Dia terlihat lelah sekali. Aku berjalan mengendap-endap agar tidak membangunkannya.

"Kenapa jalan seperti maling?" tanyanya yang sudah duduk di sofa.

"Mau kupijat?" bukannya menjawab pertanyaannya, malah kata-kata lain yang keluar dari mulutku. Aku merutuk dalam hati.

Dia mengangguk. "Kalau gak merepotkan."

"Tapi, aku gak ahli."

Dia tersenyum seolah mengatakan tidak apa-apa. Saat lelah begini, dia masih sempat tersenyum. Namun memang senyumnya jauh lebih tipis. Ini menyiratkan dia benar-benar kelelahan.

Aku membalurnya dengan minyak angin dan memijat bahunya. Berkali-kali aku menanyakan apakah kekuatan pijatanku sudah pas. Aku benar-benar tidak ahli memijat. Aku juga heran kenapa kata-kata itu keluar dari mulutku.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun