Periodisasi Sastra Indonesia
Periodisasi sastra adalah sebuah pengelompokan waktu dalam perkembangan sastra yang terkendali oleh sistem norma tertentu atau ciri khas pengucapan yang berbeda dari masa sebelumnya. Periode merujuk pada suatu periode waktu yang ditentukan oleh kesamaan ciri khas dari sebagian besar karya sastra yang diciptakan  pada masa yang sama. Sebagai contoh, pada periode 20-an dihasilkan novel-novel  seperti "Siti Nurbaya" karya Marah Roesli dan "Azab dan Sengsara " karya Merari Siregar, kemudian pada periode 30-an dihasilkan novel "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck" karya Buya Hamka dan "Tengku Amir Hamzah" karya Sanusi Pane. Pada periode tahun 40-an dihasilkan novel  "Dian yang Tak Kunjung Padam" karya Suparto Brata dan "Djalan Pulo Brayan" karya Utuy Tatang Sontani, serta pada periode tahun 50-an dihasilkan kumpulan puisi "Ballada Orang-Orang Tercinta" karya W.S. Rendra dan kumpulan puisi "Priangan Si Jelita" karya Ramadhan K.H.
Periodisasi mengenai perkembangan kesusastraan adalah pengelompokan masa sejarah berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh peneliti sastra. Ragam kriteria atau dasar sastra, pertimbangan ciri-ciri unik dari karya sastra secara intrinsik, pertimbangan ciri-ciri unik dari karya sastra secara ekstrinsik, serta berdasarkan perbedaan norma umum dalam sastra sebagai akibat dari situasi zaman.
Fenomena Hilangnya Periodisasi Sastra Indonesia
Saat ini tidak ada lagi yang disebut dengan periodisasi Sastra Indonesia. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan, mengapa konsep periodisasi ini menghilang? Periodisasi, sebagai suatu cara untuk mengelompokkan dan mengkategorikan peristiwa dalam waktu tertentu, telah menjadi hal yang sangat penting dalam menyusun sejarah sastra. Namun, sekarang tampaknya konsep ini tidak lagi digunakan secara luas dalam konteks Sastra Indonesia, sehingga perlu dipahami mengapa terjadi pergeseran ini dalam pendekatan sejarah sastra.
Suatu periode sastra biasanya berlangsung selama 10-15 tahun, namun selama periode tersebut, seringkali muncul benih-benih perkembangan untuk periode selanjutnya. Oleh karena itu, periodisasi sebaiknya dibuat berdasarkan ciri-ciri sastra  yang khas pada setiap periode. Dengan demikian, periodisasi dapat mencerminkan perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam sastra dari waktu ke waktu.
Ketika mencoba mencari alasan mengapa saat ini tidak ada periodisasi sastra, kita menemukan bahwa hal ini disebabkan oleh kurangnya ciri-ciri khusus yang paten dalam penulisan karya sastra serta berkurangnya eksistensi para sastrawan yang aktif menulis. Periodisasi, sebagai bentuk pembagian periode dalam karya sastra, sebenarnya juga mencerminkan karakteristik khas yang ada di setiap periode tersebut. Namun, saat ini, hal tersebut tampaknya sulit diidentifikasi karena perubahan yang terjadi dalam tren  dan gaya penulisan sastra.
Sastra Indonesia Angkatan Balai Pustaka
Angkatan Balai Pustaka adalah periode sastra yang sangat penting dalam sejarah sastra Indonesia. Masa ini dimulai pada tahun 1917 hingga tahun 1942. Angkatan Balai Pustaka lahir dari kebutuhan untuk menciptakan identitas nasional dan memperkenalkan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang dapat digunakan untuk  menyampaikan karya sastra.
Pada awalnya, Balai Pustaka adalah sebuah penerbitan resmi pemerintah   kolonial Hindia Belanda, tetapi kemudian berubah menjadi pusat sastra yang menyediakan peluang bagi penulis-penulis lokal untuk menerbitkan karya-karya mereka. Peran penting Angkatan Balai Pustaka dalam perkembangan sastra Indonesia adalah memperluas akses literatur bagi masyarakat Indonesia dan membantu mengenalkan bahasa Indonesia sebagai sarana berkomunikasi yang efektif.
Periode Balai Pustaka tidak hanya mengangkat tema lokal, tetapi juga memberikan pesan-pesan mengenai nasionalisme, patriotisme, dan semangat perjuangan melawan penjajah. Sastra Angkatan Balai Pustaka menjadi salah satu sarana untuk menyebarkan semangat persatuan dan kesatuan dalam usaha mencapai kemerdekaan Indonesia.
Karya-karya dalam Angkatan Balai Pustaka banyak didominasi oleh genre roman, cerita pendek, dan novel. Karya-karya tersebut sering mengangkat tema-tema sosial dan patriotisme nasional. Para penulis Angkatan Balai Pustaka cenderung menganut gaya sastra realistis, yang berusaha mencerminkan kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia pada masa itu.
Beberapa penulis terkenal dari Angkatan Balai Pustaka adalah Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjahbana, dan Kwee Tek Hoay. Mereka adalah bagian dari generasi penulis yang berusaha menciptakan karya-karya sastra yang berbahasa Indonesia dengan gaya yang lebih modern dan menggugah perasaan pembacanya.
Namun sayang, Angkatan Balai Pustaka berakhir pada tahun 1942 ketika  Jepang menduduki Indonesia selama Perang Dunia II dan mengambil alih kendali penerbitan Balai Pustaka. Meskipun periode ini berakhir, pengaruhnya terhadap perkembangan sastra Indonesia tidak bisa diabaikan dan tetap menjadi tonggak  penting dalam sejarah sastra bangsa.
Sastra Indonesia Angkatan Pujangga Baru
Periode Pujangga Baru merupakan fase yang signifikan dalam periodisasi sastra Indonesia. Muncul setelah era Balai Pustaka, Pujangga Baru diidentifikasi dari majalah sastra dan budaya bernama "Poedjangga Baroe," yang pertama kali terbit pada 29 Juli 1933. Dalam masa ini, sejumlah sastrawan berpengaruh seperti Sutan Takdir Alisyahbana, Armijn Pane, Asrul Sani, Sanusi Pane, Amir Hamzah, Ali Hasymi, J.E Tatengkeng, Selasih, dan Mozasa menyumbangkan karya-karya yang memperkuat eksistensi periode ini.
Setelah beredar selama tiga tahun, orientasi majalah ini mengalami pergeseran signifikan dari mencakup tema kesusastraan menjadi lebih meluas, yaitu mencakup beragam aspek kebudayaan. Hal ini dapat diamati pada edisi Juli 1935, yang dengan jelas diungkapkan melalui subjudulnya, "Pembawa semangat baru dalam kesusastraan, Â Â seni, kebudayaan, dan isu-isu sosial masyarakat." Dalam pengantar Redaksi edisi tersebut, pernyataan ini pun dipertegas kembali: : "...dengan memadjoekan oesaha kesoesasteraan jang creatief, madjallah ini akan menjinari soal keboedajaan dan masjarakat dengan lampoe pentjari soesoenan masjarakat persatoean jang akan datang."
Tulisan-tulisan dari Pujangga Baru menimbulkan beragam kontroversi mengenai berbagai pemikiran, terutama terkait kebudayaan dan pendidikan di Indonesia. Pengaruh majalah ini begitu kuat sehingga setiap perdebatan selalu merambat hingga mencapai skala nasional (Erowati & Bahtiar, 2011).
Salah satu masterpiece yang muncul di zaman ini ialah novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana. Kehadirannya mengandung sentilan polemik mengenai sastra dan kehidupan modern yang membawa warna baru dalam   kancah sastra Indonesia. Selain itu, catatan Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin menyatakan bahwa tema-tema yang diangkat dalam karya - karya pujangga ini berkutat pada isu-isu kebangsaan dan emansipasi wanita. Periode Pujangga Baru adalah masa di mana sastrawan berupaya menyingkirkan belenggu kolonial dan menerbitkan karya-karya tanpa terikat oleh aturan Balai Pustaka yang sebelumnya mengatur.
Dalam semangat mencapai kebebasan berbahasa, para sastrawan Pujangga Baru berusaha menemukan identitas sastra Indonesia yang lebih modern dan otentik. Mereka dengan gigih berjuang untuk meneguhkan kedaulatan kebahasaan Indonesia serta mengekspresikan gagasan-gagasan puitis dan kritik sosial dengan penuh kemerdekaan dan kreativitas. Periode Pujangga Baru menjadi tonggak bersejarah dalam evolusi sastra Indonesia, membuka jalan bagi perkembangan sastra yang lebih beragam dan mencerminkan semangat nasionalisme yang tumbuh pesat di   kalangan para sastrawan pada masa itu.
Sastra Indonesia Angkatan 45
Istilah "Angkatan 45" pertama kali diperkenalkan oleh Rosihan Anwar pada tanggal 9 Januari 1949 melalui Majalah Siasat. Angkatan 45 juga sering disebut sebagai Angkatan Kemerdekaan. Menurut Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Angkatan 45 adalah sebutan bagi para sastrawan Indonesia yang aktif mencipta karya sastra modern pada masa pemerintahan Jepang, periode kemerdekaan, dan beberapa tahun setelahnya.
Para tokoh yang mencirikan periode sastra Angkatan 45 meliputi Chairil Anwar, Asrul Sani, R.ivai Apin, Usmar Ismail, Idrus, Ida Nasution, Utuy Tatang Sontani, Balfas, J.E. Tutengkeng, dan Pramoedya Ananta Toer. Salah satu karya yang paling terkenal adalah puisi berjudul "Aku' karya Chairil Anwar. Karya-karya  Angkatan 45 ditulis menggunakan bahasa Indonesia sebagai wujud dukungan terhadap perjuangan memperebutkan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.
Bentuk karya sastra Angkatan 45 ditandai dengan kebebasan, tidak terikat oleh kaidah kebahasaan yang kaku. Tema-temanya diangkat dari realitas sehari-hari, Â Â sehingga mencerminkan keaslian dan keluwesan dalam bahasa. Gaya penulisan lebih ekspresif, mencerminkan semangat perjuangan dalam mencapai kemerdekaan. Selain itu, pengaruh politik yang kuat terlihat dalam karya-karya ini karena sejalan dengan zaman perjuangan kemerdekaan pada tahun 1945.
Sastrawan Angkatan 45 menonjolkan kepribadian mereka yang dinamis dan kritis, sehingga menunjukkan tingginya tingkat individualisme. Puisi menjadi bentuk karya sastra yang dominan pada periode ini, dengan penggunaan kata-kata yang sangat efisien dan mengandung makna mendalam. Isi karya-karya ini juga mencerminkan sinisme dan sarkasme terhadap penjajah Belanda, penguasa Jepang, serta pemerintahan yang berlaku sewenang-wenang pada masa itu.
Angkatan 45 memberikan kontribusi yang besar dalam perkembangan dan pengenalan sastra Indonesia di tingkat nasional maupun internasional. Karya-karya dari periode ini tidak hanya mencerminkan semangat perjuangan dan kebangsaan, tetapi juga menggambarkan semangat intelektual dan kecintaan terhadap bahasa dan budaya Indonesia. Sastra Indonesia Angkatan 45 menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas dan perjalanan sastra Indonesia menuju kedewasaan dan keunikan yang kita kenal saat ini.
Sastra Indonesia Angkatan 50
Periode sastra Angkatan 50 mencakup dekade 1950 hingga 1960-an. Periode ini ditandai dengan munculnya majalah sastra Kisah Asuhan, yang pelopornya adalah HB Â Jassin. Menurut Andri Wicaksono dalam Pengkajian Prosa Fiksi (2017), suasana perang yang berubah menjadi masa perdamaian dan peralihan dari penjajahan menuju kemerdekaan membawa para sastrawan untuk mempertimbangkan isu-isu sosial yang baru di era kemerdekaan.
Meskipun karakteristik pengarahan Angkatan 50 tidak jauh berbeda dari Angkatan 45, namun pergolakan politik menghasilkan perbedaan dalam pembagian periode sastra. Para sastrawan yang menjadi bagian dari Angkatan 50 meliputi Sapardi Djoko Damono, NH Dini, Budi Darma, Taufik Ismail, Umar Kayam, Goenawan Mohamad, WS Rendra, Ajip Rosidi, Subagio Sastrowardoyo, dan lainnya. Angkatan 50 menjadi gambaran sastra Indonesia setelah kemerdekaan, ketika Indonesia mulai membangun pemerintahan sendiri dan muncul berbagai partai politik dengan identitas budayanya masing-masing.
Kondisi politik antara orde lama dan orde baru menyebabkan polarisasi di kalangan sastrawan. Penerbitan sastra juga terpengaruh oleh situasi politik, sehingga kesulitan dalam menerbitkan karya-karya. Beberapa sastrawan Angkatan 50 terpaksa menulis untuk majalah atau surat kabar. Bahkan, dalam keadaan yang paling  sulit, beberapa sastrawan menghadapi kesulitan dalam menerbitkan karya-karya mereka. Perpecahan dan polemik yang berlarut-larut menyebabkan perkembangan sastra Indonesia menjadi terhenti.
      Ciri-ciri karya sastra Angkatan 50 yang membedakannya dari periode lain adalah sebagai berikut: dominasi cerita pendek dan kumpulan puisi. Pusat kegiatan sastra semakin banyak dan menyebar ke seluruh penjuru Indonesia. Budaya daerah dan sastra nasional Indonesia dieksplorasi dengan lebih mendalam. Penilaian tentang nilai keindahan karya sastra mulai diukur dengan karakteristik sastra Indonesia yang khas.
Sastra Indonesia Angkatan 70/80-an
Setelah Angkatan 50, polemik dalam dunia sastra masih menyisakan banyak perbedaan. Periode pasca Angkatan 50 diberi nama yang bervariasi, seperti Angkatan 70 yang disebut Angkatan 66 atau Angkatan 80. Meskipun demikian, esensinya tetap  sama, yaitu usaha untuk bangkit dari masa-masa sulit dalam dunia sastra. Secara umum, periode ini lebih dikenal sebagai Angkatan 70. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Dami N. Toda dalam kertas kerjanya, "Peta Perpuisian Indonesia 1970-an dan Sketsa," yang diajukan dalam diskusi sastra untuk memperingati ulang tahun ke-5 Majalah Tifa Sastra UI pada tanggal 25 Mei 1977.
Sastra Indonesia pada Angkatan 70/80-an merupakan periode yang menarik dalam sejarah sastra Indonesia. Periode ini mencakup tahun-tahun 1970 hingga 1980-an, di mana dunia sastra Indonesia mengalami perkembangan yang cukup signifikan dalam berbagai aspek.
Pada periode ini, terjadi pergolakan dalam pemikiran dan gaya penulisan sastra. Â Sastrawan pada Angkatan 70/80-an menunjukkan semangat eksplorasi dan inovasi yang tinggi, berani mencoba berbagai eksperimen dan mencari gaya penulisan yang lebih modern. Mereka berusaha mengekspresikan realitas dan isu-isu sosial yang relevan pada zamannya melalui karya-karya sastra mereka.
Angkatan sastra periode 70-an lahir karena pergeseran sikap berpikir dan  bertindak yang menghasilkan wawasan estetik dalam karya sastra dengan corak yang baru, baik dalam puisi, prosa, maupun drama. Sastrawan pada periode ini berani melakukan eksperimen dan terobosan dalam berkarya. Muncul karya sastra modern yang berangkat dari tradisi, dan hal ini sering disebut sebagai improvisasi. Penerbit-penerbit juga mulai bangkit kembali, sehingga dapat mencetak karya-karya para sastrawan. Beberapa sastrawan yang menonjol pada periode ini adalah Sutarji Calzoum Bachri, Pramoedya Ananta Toer, Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Arifin C. Noer, Danarto, dan Rendra.
Selama periode ini, dunia sastra Indonesia menjadi semakin beragam, dan karya-karya sastrawan Angkatan 70-80-an telah menjadi bagian penting dari warisan sastra Indonesia yang dihargai hingga saat ini.
Sastra Indonesia Fase Kontemporer: Fase Era Tahun 90-an dan Masa KiniÂ
Sastra Indonesia Fase Kontemporer mencakup dua periode penting, yaitu  Fase Era Tahun 90-an dan Masa Kini. Pada Fase Era Tahun 90-an, sastra Indonesia mengalami tantangan dan perubahan signifikan. Pada masa ini, berbagai faktor menyebabkan kelesuan dalam pengembangan sastra. Fase Era Tahun 90-an merupakan periode yang penuh dinamika dan kontradiksi. Pada awal era ini, masyarakat Indonesia sedang mengalami transisi sosial dan politik yang berdampak pada berbagai aspek kehidupan termasuk dunia sastra. Meskipun telah melewati masa Orde Baru yang cenderung otoriter, perubahan politik ini tidak secara langsung menghadirkan suatu kebangkitan sastra. Sebaliknya, masyarakat pada saat itu lebih banyak mengarahkan perhatiannya pada film-film komedi dan film berkonten seksual yang mendominasi industri hiburan.
Bisa disebutkan pada tahun 1990-an, Sastra Indonesia mengalami masa yang lesu dan tidak berkembang. Kelesuan sastra Indonesia pada tahun 1990-an menggambarkan periode ketika perkembangan dan produksi karya sastra mengalami penurunan signifikan. Pada masa itu, minat masyarakat terhadap sastra menurun, dan penulis serta penerbitan karya sastra cenderung terbatas. Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap kelesuan ini mungkin termasuk perubahan tren budaya dan hiburan yang lebih mendominasi, serta kurangnya dukungan dan perhatian terhadap dunia sastra.
Periode ini juga bisa ditandai dengan kurangnya inovasi dalam tema dan gaya penulisan, serta minimnya karya sastra yang mencuri perhatian atau mengguncang perbincangan publik. Hal ini dapat menyebabkan stagnasi dalam dunia sastra dan      menurunnya apresiasi terhadap nilai dan peran sastra dalam budaya dan masyarakat. Karya-karya sastra sering kali hanya berkutat pada tema dan gaya konvensional, tanpa upaya eksplorasi yang lebih mendalam terhadap isu-isu kontemporer atau bentuk sastra yang lebih eksperimental.
Selain itu, kurangnya perhatian dari masyarakat dan media terhadap perkembangan sastra juga menjadi faktor yang membatasi eksposur dan penyebaran karya-karya sastrawan. Minimnya pemberitaan atau liputan mengenai sastra di media massa dapat menyebabkan karya-karya sastra jarang dikenal oleh publik luas. Akibatnya, banyak potensi karya sastra yang tidak terangkat atau tidak mendapatkan  pengakuan yang seharusnya.
Pengaruh dari dominasi industri hiburan, terutama film dan acara televisi, juga berperan dalam mengurangi apresiasi terhadap sastra. Fokus masyarakat yang cenderung tertuju pada hiburan visual menyebabkan kurangnya minat baca dan penelusuran terhadap karya sastra. Karya-karya sastra kemudian menjadi terpinggirkan dan terabaikan di tengah keramaian hiburan lainnya.
Hal ini merupakan peringatan bagi para sastrawan dan pihak terkait untuk terus berupaya meningkatkan kualitas dan daya saing sastra Indonesia. Diperlukan dorongan untuk menginspirasi para penulis agar berani melakukan eksplorasi baru dalam mengekspresikan gagasan dan visi mereka. Selain itu, penting bagi media dan lembaga budaya untuk memberikan perhatian lebih kepada sastra dan menyelenggarakan acara-acara sastra yang dapat menarik minat dan partisipasi lebih banyak orang.
Dalam upaya memajukan sastra Indonesia, kerjasama antara pemerintah, lembaga sastra, komunitas sastrawan, dan masyarakat secara keseluruhan menjadi kunci keberhasilan. Dengan adanya dukungan yang komprehensif dan berkelanjutan, sastra Indonesia dapat menghadapi tantangan zaman dengan lebih baik dan terus berkembang sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas dan warisan budaya bangsa.
Seiring berjalannya waktu, masa kini bisa disebutkan pula membawa perubahan yang lebih positif bagi sastra Indonesia. Masyarakat semakin menyadari pentingnya melestarikan kebudayaan dan menghargai karya sastra sebagai cerminan identitas dan warisan budaya. Para penulis dan sastrawan kontemporer berusaha menciptakan karya-karya yang relevan dengan tantangan zaman, mencerminkan dinamika sosial, dan mengangkat isu-isu penting dalam masyarakat. Mereka berupaya mengeksplorasi berbagai sudut pandang dan pemikiran yang menggerakkan perubahan, memberikan suara bagi yang tidak terdengar, dan mengungkapkan kompleksitas dan keragaman pengalaman manusia melalui kata-kata yang indah dan kuat. Karya-karya sastra yang dihasilkan di Masa kini juga berperan dalam membuka diskusi dan dialog  yang mendalam mengenai isu-isu sosial, politik, dan budaya, yang dapat menjadi landasan untuk perubahan dan pemajuan dalam masyarakat. Dalam era yang semakin terhubung melalui teknologi dan media sosial, karya-karya sastra juga mendapatkan kesempatan lebih besar untuk menjangkau dan mempengaruhi lebih banyak pembaca  dari berbagai latar belakang dan generasi. Hal ini membuka potensi baru dalam menyebarkan nilai-nilai budaya dan memperkuat kesadaran akan keanekaragaman dan identitas bangsa. Dengan semakin berkembangnya industri sastra dan dukungan dari pemerintah serta masyarakat, Masa kini menjadi waktu yang penuh harapan bagi sastra Indonesia untuk terus berinovasi, mengeksplorasi, dan menunjukkan daya saing di tingkat internasional. Sastra Indonesia di Masa kini tetap menjadi sumber inspirasi, refleksi kehidupan, dan pemersatu dalam membangun identitas bangsa yang kuat dan berdaya saing di dunia global.
 Dalam masa kini, teknologi dan internet juga menjadi faktor katalisator bagi pengembangan sastra Indonesia. Penulis dapat lebih mudah mempublikasikan karyanya secara mandiri melalui platform online, memberi akses lebih luas bagi para pembaca. Selain itu, adanya komunitas sastra dan festival sastra juga turut memperkuat semangat sastrawan dalam berkarya dan berinteraksi dengan publik. Saat ini, dunia digital telah membuka pintu baru bagi para penulis dan sastrawan untuk mengekspresikan ide-ide mereka tanpa batasan fisik dan geografis. Berkat internet, mereka dapat dengan cepat dan efisien menyebarkan karya-karya mereka ke seluruh dunia, tanpa harus tergantung pada penerbit atau media konvensional. Hal ini memberikan kebebasan lebih besar bagi  penulis dalam mengeksplorasi tema dan gaya penulisan yang lebih beragam, sesuai dengan minat dan visi mereka sendiri. Akses yang lebih luas ini juga memungkinkan lebih banyak orang dari berbagai latar belakang untuk menikmati dan mengapresiasi karya-karya sastra Indonesia. Selain itu, kehadiran komunitas sastra dan festival sastra menjadi sarana penting untuk membangun jaringan dan kolaborasi antara penulis, sastrawan, dan pembaca. Mereka dapat saling bertukar ide, berbagi pengalaman, dan mendukung satu sama lain dalam berkarya. Festival sastra juga menjadi platform untuk memperkenalkan karya-karya sastrawan kepada publik secara langsung, menciptakan ruang diskusi dan refleksi yang bermakna. Semangat dan kebersamaan di antara komunitas sastra ini memotivasi para sastrawan untuk terus mengasah keterampilan mereka dan mengeksplorasi potensi kreatif dalam menghadapi tantangan dunia sastra   yang semakin dinamis. Dengan dukungan teknologi, aksesibilitas yang lebih besar, dan semangat kolaborasi dari komunitas sastra, Masa Kini menjadi masa yang penuh harapan bagi sastra Indonesia untuk terus berkembang, berinovasi, dan memperkuat peranannya dalam menyuarakan gagasan, menginspirasi, serta membawa perubahan positif bagi masyarakat.
 Secara keseluruhan, fase kontemporer sastra Indonesia mencerminkan perjalanan yang berliku, dari kelesuan di Era Tahun 90-an hingga semangat dan perubahan positif yang terjadi dalam Masa Kini. Karya-karya sastra terus mengalami evolusi sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan zaman, tetapi tetap menghormati akar budaya dan warisan sastra Indonesia.
 Namun, pada tahun 2002, keadaan berubah ketika film Indonesia "Ada Apa dengan Cinta" dirilis, dan hal ini menjadi pemicu untuk kebangkitan kembali karya sastra. Dalam konteks ini, dua karya penting, yaitu "Aku" karya Suman Djaya dan "Deru Campur Debu" karya Chairil Anwar, diterbitkan kembali setelah masa yang panjang. Penerbitan ulang kedua buku ini menjadi indikasi kuat mengenai kebangkitan sastra Indonesia, yang semakin bergairah dan menunjukkan tanda-tanda kehidupan kembali.
Peristiwa ini menjadi momen penting dalam menggerakkan semangat dan apresiasi terhadap sastra Indonesia, yang sebelumnya mengalami tantangan dan kurangnya pengakuan. Karya-karya sastra tersebut memberikan kesempatan bagi para pembaca baru untuk menyelami dan menghayati nilai-nilai budaya dan keindahan bahasa yang terkandung di dalamnya.
Keberhasilan film "Ada Apa dengan Cinta" juga menunjukkan bahwa sastra dan film tidak harus bersaing, tetapi sebaliknya, keduanya dapat saling mendukung dan mempengaruhi. Film dapat menjadi media untuk memperkenalkan dan mengangkat karya sastra kepada khalayak yang lebih luas, sehingga membuka jalan bagi lebih  banyak karya sastra untuk dikenal dan dihargai oleh masyarakat.
Perjalanan sastra Indonesia dari masa kelesuan menuju kebangkitan ini memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya mempertahankan dan menghargai nilai-nilai budaya dan warisan sastra. Selain itu, kolaborasi antara berbagai bentuk seni dan media juga dapat memberikan sinergi positif untuk kemajuan dunia sastra. Dengan semangat yang terus berkobar dan kepedulian terhadap kekayaan sastra Indonesia, Fase Kontemporer menjadi tonggak penting bagi pembangunan identitas dan pemajuan sastra dalam budaya dan masyarakat Indonesia.
Fase Kontemporer sastra Indonesia adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari proses pelestarian dan pengembangan kearifan lokal dan nilai-nilai budaya. Sastra Indonesia yang kaya dan beragam merupakan cerminan dari sejarah, tradisi, dan pemikiran bangsa. Oleh karena itu, mempertahankan dan menghargai sastra adalah upaya untuk merawat akar budaya yang tumbuh subur dalam masyarakat.
Kolaborasi antara berbagai bentuk seni dan media juga menjadi langkah maju dalam mengangkat keberagaman ekspresi dan perspektif dalam dunia sastra. Ketika seni dan media bekerja bersama, mereka saling melengkapi dan memperkaya karya-karya sastra, menciptakan ruang yang kreatif dan dinamis bagi penulis dan sastrawan untuk mengeksplorasi ide-ide baru dan menembus batas-batas konvensional.
 Semangat yang terus berkobar dan kepedulian terhadap kekayaan sastra Indonesia adalah kunci untuk memastikan bahwa sastra terus hidup dan berkembang, menginspirasi generasi masa kini dan mendatang. Dengan dukungan yang kuat dari masyarakat, pemerintah, dan institusi sastra, karya-karya sastra Indonesia akan semakin dikenal dan diapresiasi secara luas, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Lalu, Apa Faktor Hilangnya Periodisasi Sastra di Indonesia?
      Hilangnya periodisasi sastra di Indonesia dapat dipahami dari analisis periode sastra tahun-tahun sebelumnya yang menunjukkan beberapa faktor yang berkontribusi terhadap perubahan ini.
- Perkembangan Sastra Kontemporer: Sastra Indonesia telah mengalami perkembangan dan perubahan yang signifikan dalam beberapa dekade terakhir. Sastra kontemporer cenderung menggabungkan berbagai gaya dan tema, sehingga tidak lagi mudah dikelompokkan ke dalam periode yang kaku.
- Perubahan ini mencerminkan keberagaman dan kompleksitas pengalaman manusia yang tercermin dalam karya sastra.
- Pergeseran Gaya Penulisan: Pada masa lalu, periode sastra seringkali ditandai oleh gaya penulisan atau aliran sastra tertentu yang mendominasi. Namun, seiring    berjalannya waktu, gaya penulisan sastra semakin beragam dan berubah-ubah, mengaburkan batas-batas yang dulu jelas antara periode sastra.
- Globalisasi dan Pengaruh Budaya Asing: Globalisasi membawa dampak signifikan pada sastra Indonesia. Pengaruh budaya asing dari berbagai negara, terutama melalui media dan internet, telah mempengaruhi perkembangan sastra lokal. Sebagai   akibatnya, sastra Indonesia semakin mencerminkan perpaduan antara budaya lokal dan asing, menyulitkan periodisasi yang berbasis pada ciri-ciri khusus sastra Indonesia.
- Revolusi Teknologi dan Akses Informasi: Kemajuan teknologi, terutama internet, telah mengubah cara sastra diakses dan dikonsumsi. Sastrawan dan penulis kini dapat lebih mudah mempublikasikan karya mereka secara mandiri melalui platform online, menyebabkan lonjakan jumlah karya sastra yang bermunculan. Kekayaan sastra yang semakin beragam dan heterogen membuat periodisasi menjadi semakin kompleks.
- Perubahan Sosial dan Politik: Perubahan sosial dan politik yang terjadi dalam masyarakat Indonesia juga mempengaruhi arah dan tema karya sastra. Sastra lebih mencerminkan dinamika dan tantangan masyarakat saat ini, mengaburkan batas-batas antara periode sastra yang lebih tradisional.
- Kurangnya Konsensus: Tidak adanya konsensus di kalangan ahli sastra dan peneliti tentang pembagian periode sastra yang tepat juga menyebabkan hilangnya periodisasi. Pendekatan dan kriteria yang digunakan untuk membagi periode sastra dapat bervariasi, menyebabkan kesulitan dalam mencapai kesepakatan tentang periodisasi yang spesifik.
 Menggambarkan alasan mengapa periodisasi sastra di Indonesia telah mengalami penurunan adalah penting untuk memahami dinamika sastra kontemporer. Perubahan ini mencerminkan perjalanan sastra Indonesia yang terus berubah dan berkembang, sekaligus mencerminkan kesesuaian dengan tantangan zaman yang terus berubah. Meskipun periodisasi mungkin telah hilang, tetapi sastra Indonesia tetap hidup dan terus menjadi bagian penting dari identitas budaya dan kekayaan warisan intelektual bangsa.
Meskipun tidak ada lagi periodisasi Sastra Indonesia, hal ini tidak berarti bahwa sastra Indonesia tidak memiliki nilai dan makna yang penting. Sastra Indonesia tetap menjadi salah satu wadah ekspresi dan pemikiran masyarakat Indonesia dalam menyampaikan ide, gagasan, dan pandangan hidupnya. Sastra Indonesia juga terus berkembang dan memperkaya perbendaharaan budaya Indonesia.
Dalam kesimpulannya, perkembangan dan dinamika sastra Indonesia yang terus berkembang membuat sulitnya pengelompokan karya sastra ke dalam periode tertentu.
Sastra Indonesia tidak lagi terikat pada satu periode tertentu, tetapi lebih mengarah pada penggabungan berbagai elemen dari berbagai periode yang mempengaruhi perkembangan sastra Indonesia. Meskipun tidak ada lagi periodisasi, sastra Indonesia tetap memiliki nilai dan makna yang penting sebagai wadah ekspresi dan pemikiran masyarakat Indonesia.