Dewasa ini, banyak sastra-sastra terjemahan yang masuk ke negeri kita Indonesia. Karya-karya tersebut tentunya membawa pengaruh tersendiri bagi dunia kesastraan Indonesia. Tentu saja ada pengaruh positif dan negatif. Pengaruhnya dirasakan langsung oleh para sastrawan lokal. Bagi pembaca saya rasa pengaruh tersebut tidak terlalu signifikan.
Sastra terjemahan yang membanjiri dunia kesastraan Indonesia secara langsung ataupun tidak dapat mempengaruhi identitas diri sastra nasional sendiri. Bahkan menghilangkan tradisi dan jati diri sastra daerah. Sebut saja novel-novel Salah Asuhan, Belenggu, dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk yang tidak lagi dimuat—meskipun hanya sebagai kutipan—pada buku-buku paket pelajaran Sastra Indonesia. Penulis buku lebih suka mencantumkan kutipan novel “Harry Potter” dibandingkan dengan novel-novel tersebut. Hal itu tentu tidak dapat disalahkan sepenuhnya, karena memperluas wawasan dan khazanah sastra siswa adalah hal yang utama. Namun, akankah novel-novel Indonesia itu terlupakan oleh kaum terpelajar? Seperti mereka melupakan Pram—nominator Nobel satu-satunya Asia dalam bidang sastra—dan karya-karyanya.
Saya rasa sastra terjemahan yang masuk ke Indonesia harus dibatasi karena sastrawan lokal sudah cukup banyak melahirkan karya-karya yang bagus meski belum mampu menembus kancah internasional. Jika sastra terjemahan semakin banyak masuk ke Indonesia dan ternyata sastra terjemahan jauh lebih baik dari sastra nasional sendiri maka akan banyak sastrawan muda dan berbakat frustasi karena karyanya yang tidak lagi diminati oleh masyarakat. Mereka akan terkubur dalam jajahan sastra terjemahan.
Namun, pembatasan yang dilakukan tidak boleh terlalu berlebihan, sampai melarang sastra terjemahan masuk ke Indonesia. Sastrawan lokal juga perlu belajar dari sastra terjemahan yang umumnya lebih bersifat universal. Selain itu, sastra terjemahan juga dapat memotivasi dan menginspirasi sastrawan lokal untuk terus mengembangkan karyanya.