Mohon tunggu...
KOMENTAR
Foodie

Pecel dan Es Kolak, Bibit Nostalgia

28 Desember 2012   06:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:55 444 0
Kereta Argo Anggrek mulai merapat di stasiun Tawang, Semarang. Perjalananku hampir usai dengan kereta eksekutif ini. Aku sudah tidak betah duduk berlama-lama di dalam kereta yang sepanjang perjalanan hanya memutarkan lagu itu-itu saja. Seperti brain wash sehari! Kuraih ransel merah hitam yang akrab menemani semua perjalananku. Semarang siang itu cukup panas. Atau mungkin memang setiap hari seperti ini? Entahlah, aku akan mengetahuinya nanti. Kuraih telepon selular di saku celana, kucoba ingat pesan terakhir Ribka, kawan baruku. Ia adalah orang yang dikenalkan seseorang demi untuk menemaniku bepergian selama di Semarang. Aku hanya mengetahui wajahnya melalui jejaring sosial, jadi aku masih bertanya-tanya ‘yang mana orangnya ya?’. Tiba-tiba. “Eka ya?” Tepukan halus dari seseorang berwajah oriental dengan kulit bersih mengagetkan lamunanku. “Hai, Aku Ribka. Temannya Galih” ujarnya lagi menjawab semua tanya yang terlihat di wajahku. “Oiya, ini mamaku.” lanjutnya memperkenalkan seorang wanita paruh baya yang masih anggun penampilannya. Setelah berkenalan dan berbasa basi soal cerita selama di perjalanan, Ika- sapaan akrabnya- dan Tante Tris mengajakku ke suatu tempat. “Kamu pasti laper kan? Makanan di kereta pasti gak bikin kenyang!” selorohnya yang langsung kuamini dengan segenap hati. Tante Tris mengemudikan mobilnya secara perlahan. Terkadang ia bercerita tentang kota ini dulunya. Dan menceritakan beberapa orang tamu suaminya yang unik ketika diantarkan jalan-jalan mengelilingi kota tua Semarang. Ah, pantas saja Ribka dan mamanya sangat hangat. Mereka sudah terbiasa dengan kehadiran orang baru di rumah mereka. Dan tak pernah segan untuk mengantarkan entah teman suaminya atau pun kawan-kawan anaknya untuk berkeliling di kota Semarang hingga ke kota-kota terdekat lainnya. Udara yang panas menyengat membuat peluh berlarian tidak karuan. Berkali-kali aku menyeka keringat yang menetes hingga ke leher. Padahal pendingin di mobil sudah diatur cukup besar. “Panas ya, Ka? Hehe.. sabar nanti juga terbiasa,” tegur Tante Tris yang ternyata memperhatikanku sejak tadi dari kaca spion tengah. Aku hanya bisa cengar- cengir sambil masih mencoba menghapus keringat yang tersisa. Mobil Panther berwarna hitam kini memasuki wilayah Pekunden. Kawasan pemukiman ini ternyata memilliki surga kuliner yang bisa membawa nostalgia masa muda. Itu sih menurut Tante Tris. Mungkin karena ia sudah menghabiskan separuh hidupnya di kota ini.

Warung sederhana milik Bu Sri yang sudah ada sejak 30th silam

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun