Aku punya spot asyik di gedung kantor ini yang biasa kudatangi saat sore hari. Tempatku paling sering menyendiri sambil menyesap kopi atau sekedar membaca buku menikmati udara sore yang cukup damai di tengah riuhnya Jakarta. Tiba-tiba..
“Ngapain Lo di sini?” sebuah suara membuyarkan lamunan soreku.
Saking terkejutnya aku langsung menoleh dan tanpa sadar menumpahkan cangkir kopi yang masih utuh dan mengepul panas.
“ouch”
“segitu kagetnya..”
Aku hanya melihatnya sekilas kemudian sibuk membersihkan tumpaham kopi yang membasahi celana khaki kesayanganku. ED, si rocker gadungan itu malah mengambil buku yang tengah kubaca tanpa berkata maaf sekalipun. Sigh!
Angkuh sekali dia. Matanya serius, menelaah setiap ruas tulisan yang ada dibuku bersampul biru. Atlantis, buku yang tengah kuselami akhir-akhir ini.
“Hoo..jadi cewek kayak Lo suka buku berbobot macam ini juga? Hmm..”. Brengsek! Kata-kata macam apa itu?! Bukannya sedikit bertanya bagaimana dengan celanaku malah mencela. Sial!
“Kenapa dengan ‘cewek model gue’? Ada larangan, ha?” tanyaku sinis sambil meraih buku yang masih dipegangnya. Aku meninggalkan dia yang hanya tersenyum tipis dan terkesan sinis. Ia tak menghiraukanku yang masih kesal, ia malah menatap jauh kedepan seperti tengah menanti seseorang di kejauhan. Aku terlalu malas mengajaknya berbicara setelah kejadian tadi. Aku memilih pergi dan meninggalkannya sendiri dengan pikirannya yang entah sedang berenang kemana.
Semakin hari aku mengenal ED si rocker, semakin aku diburu penasaran. Siapakah dia?
Sikapnya kadang cuek, kadang sinis, kata-katanya cenderung sarkas, tapi juga manis yang membuatku keheranan dibuatnya. Pernah suatu hari aku tidak masuk kantor selama dua hari karena demam tinggi. Saat aku masuk kantor lagi ia langsung bertanya kabarku. Bagaimana kondisi terakhirku, meskipun raut wajahnya masih saja tengil dan bikin malas. Tapi sejujurnya, aku menghargai perhatian kecil itu.
Minggu lalu, aku mendapatkan sebuah kiriman dari seorang kawan di Surabaya. Arus Balik, buku milik Pram yang sudah kucari sejak lama dan akirnya ia menemukannya untukku. Dengan rasa penasaran, aku segera membuka sampul pembungkusnya yang masih terlipat rapi.
ED menghampiriku. Ia hanya memperhatikan sekilas kemudian takjub menatapku lekat.
“Suka Pram?”
Aku berhenti sejenak dari aktivitas ku dan menoleh ke arahnya.
“Iya”
“Hmm..gue kira cewe macam Lo itu sukanya metropop sama teenlit aja. Bacaan berbobot macam Pram masih bisa dicerna rupanya”
Brengsek! Dia sudah menghinaku kedua kalinya soal bacaanku sejak kali pertama bertemu. Otakku rasanya mendidih.
“Maaf? Cewek Macam Gue itu maksudnya apa ya? Kalau gue suka bacaan Pram kenapa? Ada larangan?” suaraku kian meninggi.
“Woo..woo, sabar Nona. Gue gak bermaksud menghina. Yaaa..kebanyakan cewe sekarang itu kan lebih suka novel menye-menye yang udah ketauan happy ending. Dengan bahasa yang yaaa alakadarnya,” ia mencoba menjelaskan sambil tersenyum menatapku.
“Dan gue gak pernah mengira Nona suka dengan Pram. Good point, then!” imbuhnya sambil lalu.
Tunggu! Ia sama sekali tidak memberiku jeda untuk menjawab tuduhannya, dan ‘Nona’? sejak kapan namaku diubahnya menjadi Nona?
Sejak kejadian itu ia sering memanggilku dengan nama Nona. Ya, Nona. Panggilan yang begitu manis ditelingaku. Tapi aku masih tidak bisa bersikap manis padanya. Aku masih sebal dengan kata-katanya diawal bertemu.
Seminggu lalu, semuanya berubah seketika. Pada akhirnya aku bisa berdamai dengannya, dengan Elzano Danarditto. Aku melihatnya sebagai sosok yang berbeda saat ia lepas dari Macbook Pronya.
Hari itu, aku terlalu penat bekerja di dalam ruangan. Aku memilih menghabiskan sore di atap gedung kantor sambil menikmati secangkir kopi dan sepotong cinnamon roll. Sebenarnya aku hanya sekedar menulis, dan mencoba menuangkan sedikit isi pikiranku di Jurnal Harian dalam blog-ku. Daripada aku harus dihantui kata-kata yang semakin hari semakin membanjiri kepala, lebih baik aku menulis sekarang.
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Dan “Menulis adalah sebuah keberanian…” –Pramoedya