Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Mengapa Kita Belum Merdeka?

17 Agustus 2012   01:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:38 87 1
Judul di atas barangkali sedikit agak sinis. Tapi jelas merupakan sebuah deskripsi kejujuran. Merdeka dalam judul ini dan di dalam sanubari kita masing-masing tentu saja bukan soal teks proklamasi dan tetek bengeknya, melainkan soal yang sangat hakiki: kebebasan. Jelasnya, bebas dari rasa takut, bebas dari perbudakan, bebas dari ketololan, bebas dari kemiskinan, bebas dari penyakit, bebas dari penindasan, dan seterusnya.

Nah, mari kita semua jujur pada diri kita sendiri, benarkah kita sudah terbebas dari soal-soal tadi? Penulis bisa memastikan bahwa delapan dari sepuluh orang di negeri ini akan menjawab belum. Lho, dari mana datangnya angka delapan dari sepuluh ini? Dari angka koefisien Gini kita yang menyatakan bahwa hanya 20 persen populasi Indonesia yang sudah berada di kelas ekonomi "sehat". Mereka inilah pemilik sebenarnya kue nasional kita. Sebanyak 80 persen lagi jelas "tidak sehat". Separuh dari angka ini malah menderita "kurang gizi" dan akhirnya menjadi komoditi politik musiman di saat pemilu. Tetapi kita tidak usah berdebat kusir soal angka statistik pemerintah, sebab -- seperti puluhan tahun sebelumnya -- kita tahu angka BPS lebih banyak berisi "pesan sponsor" penguasa daripada deskripsi sejujurnya keadaan negeri ini. Bukti ketakmerdekaan kita ada di jalan-jalan, di kolong  jembatan atau bantaran sungai, di pedalaman yang tak tersentuh bau proklamasi, di wajah-wajah anak-anak bangsa yang rindu sekolah tapi tak punya uang beli kelengkapan sekolah -- seperti seragam, sepatu, buku tulis, dan buku teks yang jauh lebih mahal dari uang sekolah, dan bahkan di halaman paspor para saudara kita yang menjadi (maaf!) babu di negeri jiran karena ketiadaan penghidupan yang layak di negeri ini.

Enampuluh tujuh tahun katanya merdeka, tapi saudara kita di Papua tetap pakai koteka dan harus berburu untuk bertahan hidup, anak-anak di pedalaman Kalimantan dan Sumatera harus berjalan kaki puluhan kilometer -- dan sering harus menyabung nyawa menyeberangi sungai atau muara -- menuju "sekolah hutan" yang didirikan para pejuang kemanusiaan seperti Butet Manurung dan teman-temannya. Hampir satu dekade dibuat contek nasional ujian nasional, tapi sepertiga anak-anak lulusan SLTP tidak mampu mengerjakan operasi bilangan bulat sederhana dan calistung dasar, dan generasi Sarimin terus berkembang biak di seantero negeri. Empat belas tahun sudah sejak zaman reformasi (yang diagung-agungkan itu), namun hanya sekedar memperoleh KTP atau akta lahir saja orang harus bayar sedikitnya limapuluh ribu, dan kita masih melihat orang kehilangan lehernya demi mempertahankan tanah leluhurnya. Lalu, bukankah menjadi naif sekali kalau kita menyebut bahwa kita sudah merdeka? Apanya yang merdeka? Lalu di mana penguasa berada? Apa kerja mereka? Barangkali, mereka terlalu sibuk berjampi-jampi sehingga belum sempat mengurusi kita. Lha, bukankah kita punya wakil yang nota bene orang-orang "terhormat?" Ahh... mereka lebih sibuk lagi memanjatkan do'a (untuk tidak dipanggil KPK atau jangan dijadikan "ATM berjalan" para hantu bernama oknum).

Kalau begitu, bukankah pertanyaan pada judul tadi menjadi relevan? Tulisan ini bukan untuk menjawab pertanyaan itu, tapi hanya sekedar menjelaskan bahwa there is something very wrong with us, here." Mari kita sadar bahwa perubahan tak akan pernah jatuh dari langit. Ia harus dibuat! Tulisan ini juga tidak berpretensi mencari kambing hitam atau kambing warna lainnya, melainkan untuk mengingatkan kita bahwa "gerbong" kita tidak berada di relnya, sehingga kalaupun "lokomotifnya" bergerak maju, mayoritas dari kita tidak akan ikut serta. Mengharapkan ada malaikat mengangkat "gerbong" itu ke relnya sama saja seperti orang yang sedang "menunggu godot" sambil memperlihatkan kepada dunia bahwa pendidikan kita berjalan di tempat -- karena ternyata kita terus percaya klenik.

Sebelum tulisan kecil ini diakhiri, barangkali ada di antara kita yang akan ngedumel: "jangan bisanya cuma ribut, tapi proaktif cari solusinya!" Untuk kritik model textbook seperti ini jawabannya sederhana: untuk situasi negeri saat ini, bahkan malaikatpun mungkin tak akan punya solusi yang ramah, kecuali harus melakukan format ulang negeri ini!

/Terima kasih

@Sensei Joe

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun