Cerita ini dimulai di suatu pagi yang biasa. Tidak ada tanda-tanda apokaliptik, tak ada kerusakan jaringan listrik, tak ada badai matahari yang mengganggu satelit---hanya sebuah hari biasa di kota. Namun, di tengah kesunyian yang tenang ini, sebuah drama kecil siap terjadi.
Episode 1: Persiapan Penting yang Terlupakan
Adalah Andi, seorang pemuda modern dengan rutinitas standar: bangun tidur, cek ponsel, update status, dan bergegas untuk memulai hari. Hari itu sangat penting baginya. Bukan karena ada pertemuan dengan presiden atau wawancara kerja di perusahaan besar, tapi karena Andi akan bertemu seseorang yang sudah lama dia incar---Ani. Mereka sudah saling kenal lewat aplikasi kencan selama beberapa minggu, dan setelah obrolan panjang yang tak berujung di chat, Ani setuju untuk bertemu secara langsung.
Andi, yang selalu tergantung pada teknologi, berangkat dari rumah dengan satu misi utama: tampil sempurna di depan Ani. Dan tentu saja, ponselnya menjadi senjata utama dalam menjalankan misi ini. Mulai dari navigasi ke kafe tempat pertemuan, sampai memastikan ada playlist romantis yang siap diputar jika suasana canggung muncul. Namun, seperti kebanyakan dari kita, Andi punya satu kebiasaan buruk: "tidak pernah mengecek baterai sebelum keluar rumah".
Saat itu, baterai ponselnya tinggal 15%. Tapi, Andi berpikir, "Ah, cukup lah sampai nanti. Lagipula kafe pasti punya colokan." Tidak ada yang lebih naif dari pikiran ini.
Episode 2: Perjalanan Menuju Petaka
Seperti yang diharapkan, ponsel Andi menjadi andalannya sepanjang perjalanan. Ia membuka aplikasi peta untuk menemukan arah, memainkan playlist yang memompa semangat, dan sesekali membuka pesan untuk memastikan Ani masih berkomitmen pada rencana mereka. Tak terasa, baterai ponsel Andi turun menjadi 10%.
Di tengah jalan, Andi terjebak macet. Kapan pun macet melanda, kita cenderung mengisi waktu dengan scrolling media sosial atau mengecek chat yang sudah dibaca berkali-kali. Andi pun tak terkecuali. Dengan setengah hati, ia membuka Instagram, scrolling feed tanpa tujuan. Sesekali tertawa melihat meme, mengirim satu atau dua emoji, dan tentu saja, membuka chat dengan Ani untuk memastikan dia masih on the way.
"OTW ya, Ani!" tulis Andi dengan percaya diri. Dan tiba-tiba... layar ponsel berkedip dan kemudian mati total.
"Astaga! Baterainya habis?!" Andi memandang ponselnya dengan horor, seolah-olah itu adalah seonggok artefak kuno yang baru saja kehilangan kekuatannya.
"Tenang, tenang," Andi bergumam pada dirinya sendiri, mencoba tetap kalem. "Aku pasti bisa menemukan kafe ini sendiri. Aku tahu kok arahnya."
Episode 3: Sesat di Dunia Nyata
Berbekal optimisme dan ingatan samar-samar dari aplikasi peta yang dia buka tadi, Andi melanjutkan perjalanan. Sepuluh menit pertama berjalan mulus, tapi kemudian muncul masalah: Andi mulai ragu. "Tadi beloknya di kanan atau kiri, ya?" pikirnya. Tanpa navigasi GPS, otak manusia yang sudah terbiasa dimanjakan teknologi ternyata tidak secerdas yang dia kira. Seolah-olah semua memori arah yang dia ingat menguap begitu saja.
Dalam kebingungan, Andi mencoba bertanya pada orang-orang di sekitar. Namun, di zaman ini, siapa yang benar-benar tahu lokasi kafe kecil di gang tersembunyi? Setiap orang yang dia tanya memberikan jawaban yang berbeda. Ada yang menyuruhnya lurus, ada yang menyuruhnya belok kiri, dan bahkan ada yang berkata, "Oh, kafe itu? Saya rasa sudah tutup sejak tahun lalu!"
Andi mulai merasa panik. Sementara itu, waktu terus berjalan. Pikirannya mulai dipenuhi dengan bayangan Ani yang mungkin sudah duduk di kafe, menunggunya dengan cemas, berpikir bahwa Andi telah mengabaikannya. Ini bukan sekadar ketakutan biasa, ini adalah tragedi digital.
Episode 4: Kafe yang Tak Kunjung Ditemukan
Setelah sekitar 20 menit tersesat di jalan, Andi akhirnya sampai di sebuah kafe. Namun, alih-alih merasa lega, ia merasa ada yang janggal. Kafe ini tidak seperti yang di foto---bukan kafe modern dengan lampu neon dan sofa empuk, melainkan kafe tradisional yang bahkan tidak punya Wi-Fi!
"Salah tempat," pikir Andi sambil menghela napas. Dia pun keluar dan berkelana lagi, kali ini dengan langkah yang lebih cepat. Tidak ada yang lebih buruk daripada terlambat ke kencan pertama, apalagi dengan baterai ponsel yang sudah tidak berfungsi.
Waktu terus berjalan, dan setelah pencarian tanpa hasil, Andi akhirnya menyerah. Ia memutuskan untuk kembali ke kafe pertama, tempat yang setidaknya bisa memberinya kesempatan untuk meminjam charger dari pelayan.
Saat ia kembali ke kafe, ia langsung disambut oleh seorang barista ramah. "Mau pesan apa, Mas?" tanya barista tersebut.
Andi tidak langsung menjawab, melainkan menatap penuh harap. "Mas, di sini ada charger nggak?"
Barista tersebut tertawa kecil. "Oh, maaf, di sini nggak ada colokan, Mas. Kafe ini sengaja dibuat biar orang-orang bisa ngobrol tanpa gangguan gadget."
Bagi Andi, ini adalah pukulan terakhir. "Kafe tanpa colokan?! Apa gunanya?!"
Episode 5: Akhir yang Tidak Terduga
Dengan perasaan pasrah, Andi duduk di salah satu kursi di kafe itu. Matanya melirik ke sekitar, berharap mungkin, siapa tahu, Ani memutuskan untuk datang ke kafe ini juga secara kebetulan. Namun, tidak ada Ani. Hanya ada sekelompok mahasiswa yang sibuk berdiskusi dan beberapa orang tua yang asyik bercakap-cakap tanpa menghiraukan dunia digital.
Saat ia mulai merasa bahwa dunia telah mengkhianatinya, seorang wanita tiba-tiba datang dan duduk di meja sebelahnya. Andi menoleh dan... itu Ani!
"Lho, kok kamu di sini?" tanya Andi terkejut.
Ani tersenyum. "Aku juga tersesat tadi, baterai ponselku habis di tengah jalan. Aku sampai tanya orang sana-sini, dan akhirnya sampai di sini. Kayaknya kita berdua terjebak di kafe yang salah."
Andi tertawa, lega sekaligus heran. "Kamu nggak marah?"
"Ngapain marah? Ini malah lucu! Ternyata, kita terlalu tergantung sama teknologi," jawab Ani dengan senyum hangat.
Akhirnya, mereka berdua tertawa bersama, menikmati situasi ironis ini. Meskipun pertemuan pertama mereka penuh dengan drama baterai habis dan kesesatan arah, mereka menyadari bahwa inilah momen yang sempurna. Tanpa teknologi, mereka dipaksa untuk benar-benar berkomunikasi, tanpa distraksi dari notifikasi ponsel yang tidak ada habisnya.
Siapa sangka, tragedi modern ini justru menjadi awal yang baik untuk hubungan mereka?
Kesimpulan: Teknologi, Oh Teknologi...
Baterai habis di momen yang salah memang bisa menjadi sebuah tragedi modern. Kita terbiasa mengandalkan ponsel untuk segalanya, mulai dari arah, komunikasi, hingga hiburan. Namun, ada kalanya, ketika teknologi tak berfungsi, kita justru dihadapkan pada kenyataan bahwa hidup masih bisa berjalan tanpanya---dan mungkin, hidup justru terasa lebih nyata saat kita terputus dari dunia digital.
Cerita Andi dan Ani ini adalah pengingat bahwa meskipun teknologi bisa mempermudah hidup kita, terkadang kejadian tak terduga seperti baterai habis bisa membawa kita ke momen-momen yang lebih bermakna. Jadi, lain kali jika baterai ponselmu habis di momen penting, jangan panik. Mungkin itu adalah kesempatan untuk mengalami sesuatu yang lebih baik daripada sekadar melihat layar ponsel.