Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Pertanyaan

3 Februari 2012   14:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:06 70 0
Kemarin kutanya tentang kematian dan amalan padamu. Ketika kulihat dan kuingat tentang sebuah berita kematian di sebuah surat elektronik milikmu. Terbersit tanya pada diriku sendiri. Bagaimana jika berita kematian itu tertuliskan namamu. Tak dapat kubayangkan rasaku. Sedih, pilu kubayangkan kau akan sendiri di malam-malammu.
Kuingat beberapa kali ketika kau putus asa padaku, engkau kata takkan sampai usia 40 tahun hidupmu. Seringkali jika kesal, kupukul lenganmu agar engkau sadar apa katamu.
Kau tahu bukan, aku yang telah berkali-kali hendak mengabarkan berita kematianku padamu. Entah berapa kali kau berteriak tak mau kehilanganku.
Tak pernah kubayangkan sebelumnya, engkau yang tak ada disisiku. Kukata padamu "Biarkan aku menunggumu jasadmu bila waktu itu tiba". Engkau terdiam. Aku hampir lupa, kau adalah si pendiam ketika aku bicara hati. Kukatakan "Jangan tinggalkan aku lebih dulu. Biarkan aku yang lebih dulu". Naif kukata itu, seolah aku tahu kapan waktu giliran kami. Kuambil nafas panjang, kuikhlaskan pada pemilik hidup kapanpun waktunya itu tiba.

Ketika petang, kutanya padamu tentang kisah tiga pengembara dan batu yang menutup gua. "Apa amalan terbaik untuk menggeser batu yang ada di hadapan kita?". Lagi-lagi kau terdiam. Aku melihat engkau tampak kaget dengan pertanyaanku itu. Kita berdua hanya tetap diam dan mencari jawaban itu. Seiring kisah yang terus mengalir dari salah satu stasiun radio yang mengiringi jejak kita.
Aku teringat shafa dan marwah, tempat Siti Hajar menunjukkan keyakinan akan pertolongan Allah SWT dengan cara berlari-lari diantara dua bukit itu. Akan tetapi ternyata air zam-zam muncul di bawah kaki Ismail. Takwa padaNya, keyakinan pertolonganNya adalah jalan terbaik dari banyak jalan lain.

(Akhir Januari 2012, antara Jakarta-Cibubur-Tangerang)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun