Aku hanya bisa tersenyum menanggapi amarah dari sahabatku. Dia mengenalku dengan baik. Dia akan berceloteh dan menyerah pada akhirnya. Apa yang bisa aku lakukan? Aku terlalu liar untuk mendengarkan nasehatnya. Aku terlanjur bahagia dengan hidupku. Aku menyukai setiap waktu yang aku lewati. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hidupku jika aku harus melepaskan sumber kebahagiaanku. Jadi, aku putuskan untuk mengabaikan semua nasehat yang aku terima.
"Dia benar-benar sudah menyihirmu," gadis di depanku kembali bersuara.
Aku tertawa kecil, "Kamu tau aku mencintainya," balasku.
"Dan lupa untuk mencintai dirimu sendiri?!"
Hening. Kami hanya saling menatap untuk beberapa detik. Gadis itu membuang muka. Aku sadar akan kekesalannya padaku. Dia tidak membenci kebahagiaanku, dia hanya kecewa padaku.
"Aku tahu kamu mencintai Peter, tapi kamu mencintainya melebihi dirimu sendiri," tatapan sahabatku tak lagi tertuju padaku. Sepertinya dia semakin membenciku. Terbukti dari kepergiannya tanpa mengucapkan kata perpisahan.
Aku tidak ingin mengakuinya. Tapi aku lebih menyukai apa yang telah aku dapatkan saat ini. Bagiku Peter adalah segalanya. Aku tidak peduli dengan kedekatannya bersama wanita lain. Mereka hanya rekan kerja. Aku yakin akan hal itu. Pekerjaan Peter sebagai model mengharuskannya menjalin hubungan dengan banyak orang. Terlebih dengan lawan jenis yang begitu memujanya. Sungguh aku tak ingin mengeluh. Bahkan dengan munculnya berita kencan antara Peter dan seorang aktris. Sungguh, aku baik-baik saja.
"Kenapa menunggu di sini? Kenapa tidak menghubungiku?" aku tersenyum lega ketika mendapati Peter sudah berdiri di hadapanku. Hari sudah menjelang malam dan Peter masih berpenampilan seolah-olah hari masih pagi. Sangat menakjubkan.
Peter membuka pintu rumahnya dan mempersilahkan aku masuk. Aku duduk diam di atas sofa ruang tamu. Memberi waktu pada Peter untuk sendiri di dalam kamarnya. Aku tidak ingin mengganggu. Dia terlihat lelah dan membutuhkan istirahat. Jika kamu bertanya, kenapa aku tidak menemaninya? Jawabannya mudah. Peter tak suka diganggu. Aku tak ingin dia kecewa dan marah karena keegoisanku.
Walau kami berada dalam ruang yang berbeda, aku cukup senang bisa berada di dekatnya seperti ini. Aku menyukai setiap kebersamaan kami. Berapa lama pun waktu yang aku lewati untuk menunggunya, bukanlah sebuah masalah. Aku mencintainya dan aku bahagia.
"Masih menunggu seperti biasa?" Peter bersuara dari depan pintu kamarnya.
Aku tersenyum sebelum akhirnya berlari ke dalam pelukkannya ketika aku lihat Peter merentangkan ke dua tangannya padaku. Bisa aku rasakan dia mengeratkan pelukkannya. Betapa aku menyukai sikap manisnya padaku.
"Aku akan pergi ke Jepang untuk pemotretan."
Benarkah?
Kenapa aku ragu pada kata-katanya?
Lagi, aku menekan rasa sakit yang aku rasakan. Aku sadar telah tenggelam karena kebodohanku sendiri. Aku hanya bisa berharap bisa menunjukkan sifat pencemburuku.
Tapi sekali lagi, rasa bahagia mengalahkan akal sehatku.
Aku telah menyakiti diriku dengan kehilangn diriku. Tak apa. Aku baik-baik saja. Karena aku telah mendapatkannya.
"Tidak apa sesekali pergi, cukup kamu pulang kepadaku," ujarku tanpa melepas pelukkannya. Telapak tangannya membelai rambutku. Sebuah kecupan hangat mendarat di keningku.
 "Aku akan pulang padamu," Peter menjawabku.
Benarkah aku telah mendapatkanmu?
Lalu, kenapa aku merasa kehilangan begitu banyak?
Ternyata, aku bukanlah rumah. Aku hanya sekedar penginapan untuk melepas lelahmu.