Pernah berdemo dan membuat macet jalan. Hari ini giliran menjadi " tumbal aksi", menghidupi jalanan macet dengan tubuh penuh keringat. Tapi satu catatan dalam komentar di artikel ini sungguh menusuk jantung kesadaran. Demonstrasi dalam konteks Jakarta sungguh berisiko hebat. Bagaimana tidak, tanpa demonstrasi saja setiap hari macet. Maka ketika seorang pengguna kendaraan yang berkomentar soal adanya pesakitan di ambulan yang terjebak dalam kemacetan, saya berpikir.
Haruskah nyawa rakyat sendiri ditumbalkan demi sebuah aksi? Saya kira realitas ini harus masuk dalam pertimbangan skenario aksi mahasiswa di ibukota. Demokrasi memberi ruang pada aksi demonstrasi, namun ketika rezim membuka dialog kenapa harus dianggap sebagai hal tabu. Keterbukaan rezim harusnya menjadi pintu masuk mahasiswa dalam menggolkan agenda kerakyatan secara keras. Jangan sampai agenda aksi hanya menjadi euforia masa muda, apalagi tanpa mempertimbangkan kepentingan publik yang lebih luas. Terlebih agenda meminta turun sedang bukan eranya lagi. Eranya sekarang adalah mahasiswa turun sekali waktu dari panggung demonstrasi menuju panggung partisipasi. Mumpung penguasa juga mau turun dan mengajak mencari solusi.
Pada satu sisi lain mari kita mencermati potongan dari pernyataan sikap BEM-SI sebagaimana dirilis dalam situsnya. Saya kutip dari situs BEM-SI demikian:
________________________________________________________
"Jika sampai tanggal yang sudah ditentukan (19/5) Presiden tetap tidak mau menemui kami untuk dialog terbuka maka kami akan jemput paksa beliau 21 Mei 2015 di Istana dengan ribuan massa.
Hidup Mahasiswa!!
Kita dilahirkan untuk dijalanan bukan untuk makan malam!
Selasa, 18 Mei 2015
Atas Nama Aliansi BEM Seluruh Indonesia
Ahmad Khairudin Syam*
(Koordinator BEM SI)
_________________________________________________
Coba simak baik-baik pernyataan sikap calon pemimpin bangsa dari kalangan intelektual ini. Amati dengan baik tiap kata dan gagasan bernas yang ada di dalamnya. Mari kita sikapi dengan kritis klaim sikap kritis mereka. Bagi mahasiswa atau pernah menjadi bagian dari gerakan mahasiswa yang turun ke jalan, mungkin tidak sepakat dengan catatan saya ini. Tapi bagi saya ini menarik untuk kita refleksikan secara kritis.
Mau tidak mau, suka tidak suka, mahasiswa harus mulai memotong tradisi ancaman gombalnya. Fakta bahwa pendemo di Istana bukan ribuan massa harus membuka mata kita. Bahwa sikap hiperbolis beda tipis dengan kebohongan. Potong tradisi yang berasumsi bahwa membesarkan jumlah massa adalah sikap taktis. NO!! Itu berlaku bagi politisi, tetapi bagi mahasiswa yang merupakan kaum intelektual, sikap kritis harus didukung dengan akal yang sama kritisnya. Tanpa disadari praktik gombal yang dekat dengan kebohongan ini telah menggerogoti skenario aksi mahasiswa beberapa waktu terakhir.
Tanpa disadari massa aksi didoktrin secara alamiah dimana sebuah sikap gombal bahkan membual dipandang sebagai praktik normal. Baiklah gerakan mahasiswa hari ini kembali belajar dari aksi mahasiswa tiap generasi serta memahami dengan akal sehat konteks tantangan zaman yang menyertai mereka. Baiklah generasi mahasiswa hari ini terus membela rakyat tanpa ikut-ikutan berorasi layaknya politisi. Tak perlu membesarkan ancaman dan mencoba beratraksi dengan jumlah massa. Belum lagi bila kita mempertanyakan representasi BEM yang ada dalam organisasi ini apakah benar mewakili kata "seluruh".
Sebagai orang yang pernah berada dalam barisan mahasiswa dan beberapa kali turun demo, mungkin saya bukan aktivis dalam frame kalangan aktivis. Saya barangkali juga tidak masuk dalam jajaran intelektual aktor di barisan aktivis. Bahkan mungkin saja saya bisa dituding bodoh, tak merepresentasikan perjuangan aktivis. Setiap orang sah menilainya. Namun belajar dari realitas yang ada, mari kita juga melakukan otokritik sebelum melancarkan kritik.
Tanpa mengurangi rasa hormat saya pada rekan-rekan mahasiswa dan yang mengidentifikasi diri sebagai aktivis, mari kita membangun kembali pilar intelektualitas dalam setiap aksi yang membawa nama mahasiswa. Merefleksikan kedalaman makna intelektual itu pada setiap pilihan aksi yang dibangun. Sebab saya percaya seperti yang selalu dinyatakan oleh Soekarno, pada diri pemuda dan mahasiswa kita, sejarah bangsa akan ditentukan. Catatan yang terinspirasi dari jalanan ini tentu saja adalah sebuah kritik, sebagaimana rekan-rekan mahasiswa juga bisa mengkritik Presiden. Bedanya, saya tidak perlu menuntut anda mundur malah mendorong anda sekalian tetap terus maju membawa perubahan.
Sebab saya tahu seperti halnya Presiden bukan tukang sulap, yang bisa merubah nasib ratusan juta rakyat dalam hitungan bulan. Anda pun tentu saja bukan seorang pesulap yang bisa mengubah tradisi gerakan mahasiswa begitu saja. Seperti kata seorang adik aktivis mahasiswa, akal sehat menuntun kita. Bahkan untuk sebuah Skripsi yang berurusan dengan 1 orang plus 1 keluarga saja tidak bisa dijamin selesai dalam hitungan bulan. Evolusi kesadaran akan menuntun anda sekalian dalam proses belajar menjadi seorang pemimpin.
Maka bagi mahasiswa calon pemimpin bangsa kami, Berorasilah dengan nurani kerakyatan dan terus berjuang dalam spirit seorang intelektual yang memegang teguh kejujuran. Sebab seperti slogan pemberantasan korupsi, JUJUR itu HEBAT!
Satu hal terakhir, para calon pemimpin bangsa kami kelak, anda sekalian memang tidak dilahirkan untuk jamuan makan malam istana Presiden tetapi juga tidak untuk di jalanan. Sebab anda mestinya dilahirkan untuk menggunakan intelektualitas sebagai sarana juang kerakyatan.
Salam Juang dan Terus Gelorakan Semangat Perlawanan Pada Ketidakadilan, Pada Ketidakjujuran!
#IntelektualPopulis