Mencoba mengingat dialog SOEGIJA di pantai mengenai pertanyaan kecil tentang identitas primordial, si Uskup Revolusioner ini memberi jawaban sederhana tentang ketiadaan pilihan untuk dilahirkan sebagai apa. Kendati demikian, berkaitan dengan agama terlebih iman, tentu hal itu kembali pada pilihan setiap insan dari perjalanan spiritual yang dilakoni semasa hidup. Banyak juga memang yang belum mampu menyadari mengenai mengapa ia beragama A, B atau C. Jelasnya, jamak yang menyandang suatu agama karena demikianlah sejak lahir dan menyadari eksistensi kemanusiaannya. Didikan dan nilai-nilai agama itu menjadi isi yang dimasukkan dalam dirinya dalam bentukan proses pertumbuhan.
Pada sisi lain, saya percaya bahwa semua bermula dari Iman sebagai sebuah rahmat yang akhirnya menentukan pilihan seseorang terhadap agama yang disandangnya. Berdasar pada pengalaman hidup dan juga refleksi tunggal atas semua, manusia menjawab rahmat yang ditawarkan padanya sebagai sebuah keyakinan yang esensial dan dilembagakan dalam sebuah pernyataan beragama. Pun demikian, faktanya pula bahwa agama pada akhirnya memang menjadi sebuah isu yang sangat seksi dan menggairahkan setiap orang saat dia dihembuskan.
Saya pribadi melihat bahwa agama dan iman yang melandasinya adalah sebuah panggilan untuk menghidupi kemanusiaan kita dengan kebaikan. Cara pandang terhadap kebaikan ini yang kadang menjadi absurd oleh begitu banyaknya doktrin dan dogma yang membatasi niat untuk membangun kebaikan itu sendiri. Sehingga di bumi yang kita pijak ini, agama menjadi sebuah sarana yang tak lepas dari kemanusiaan kita dan menjadi bagian utuh dari perjalanan hidup kita. Sayangnya banyak kali agama menjadi sebuah instrumen yang justeru jauh dari upaya menyuburkan kebaikan universal dan humanis. Kemanusiaan kita yang luar biasa kerap lumpuh dan cacat saat kita mulai memaksakan kebaikan melalui dalil agama.
Mengapa kita tidak mencoba membawa iman dan agama kita ke ruang hati masing-masing untuk ditumbuhkan sebagai upaya menyebarkan nilai kebaikan TUHAN pada seluruh umat tanpa harus menggunakan cara-cara dan sikap yang sesungguhnya tidak menunjukkan kebaikan manusiawi kita. Perdebatan mengenai kebenaran, toh pada akhirnya hanya yang Maha Benar empunya kuasa untuk melegitimasi perjalanan dan ziarah hidup kita di dunia fana. Mengapa iman dan agama yang kita lekatkan pada identitas kita tidak digunakan sebagai sebuah sarana berbagi kebaikan dan rahmat? Kita punya pilihan, menjadikan agama sebagai instrumen perdamaian atau sebaliknya sebagai instrumen kekuasaan. Instrumen yang menyebarkan semangat kebajikan atau sebagai instrumen tirani kemanusiaan lewat perebutan kuasa kebenaran. Siapa yang benar, siapa yang salah? Wallahualam ...