Setiap bulan ramadhan datang, banyak ustadz-ustadz bermunculan di depan layar kaca. Setiap stasiun TV berlomba menyajikan acara tausiyah dari ustadz-utdz yang sudah kondang di Indonesia. Selain tentunya untuk berdakwah yaitu menyampaikan ajaran-ajaran islam, momentum ini juga sebagai ladang rejeki tersendiri bagi para ustadz. Pendapatan mereka dari TV kemungkinan akan naik beberapa kali lipat.
Saya jadi teringat dengan beberapa kali pengalaman saya menjadi panitia kajian akbar di kampus. Kami mengundang seorang ustadz yang boleh dikatakan bertaraf nasional. Beliau sudah dikenal oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Niatan kami, dengan mengundang ustadz tersebut masyrakat kampus lebih tertarik mengikuti kajian. Kami ingin membantu menciptakan masyarakat kampus yang tidak hanya cerdas secara intelektual tetapi juga spiritual.
Satu hal yang menjadi pertimbangan utama kami sebelum mengundang adalah tarif yang dipasang ustadz tersebut. Maklumlah anggaran yang dimiliki mahasiswa sangat terbatas. Kami harus mampu menyesuaikan antara idealisme yang kami miliki dengan anggaran yang kami punya.
Pertama kami mengundang seorang ustadz dari Jogja. Beliau memiliki kiprah sebagai pengisi di beberapa stasiun TV. Beberapa dari kami harus ke Jogja untuk menawar harga sekali “manggung”. Jarak Jogja dengan kota kami tidak terlalu jauh, sekitar 1,5 jam perjalanan. Ketika disana kawan kami betemu langsung dengan ustadz tersebut. Tim kami menanyakan harga yang beliau tentukan, lalu dengan arif beliau balik bertanya. Anggaran berapa yang kami punya?. Kami menyebutkan satu nominal yang tidak terlalu besar. Beliau menjawab, “ya sudah kalau mahasiswa punyanya segitu mau diapakan lagi”.
Tahun selanjutnya kami mengundang seorang ustadz yang berasal dari Jawa Barat. Beliau tidak kalah popular dengan ustadz sebelumnya. Karena jarak kota kami dengan beliau jauh kami tidak bisa bertemu langsung. Kami melakukan penawaran by phone. Itupun dengan tangan kanan beliau. Tarif yang beliau sampaikan kurang lebih lima kali dari tarif yang kami tawarkan ke ustadz yang sebelumnya. Setelah kami syuro’ (musyawarah), kami tidak berani dengan harga sebesar itu. Kami nego kembali dan akhirnya tercapailah sebuah kesepakatan.
Pengalaman lain dari saudara kami di pusat. Organisasi keislaman terbesar di kampus. Saya bertanya kepada salah satu kawan saya. Berapa harga yang harus dibayar. Mengingat ustadz tersebut dahulu sangat tenar, namun sekarang tidak setenar dahulu. Saya teringat ketika beliau diwawancara salah satu stasiun TV. Beliau ditanya apakah beliau menentukan harga tertentu. Beliau jawab tidak punya. Jawab kawan saya, beliau tidak menentukan harga terterntu, hanya beliau menyebutkan kebutuhan-kebutuhan untuk datang seperti transportasi.
Selain usatdz-ustadz tadi, ada beberapa ustadz yang saya dengar menetukan tarif lebih dari sepuluh juta. Bagi mahasiswa ukuran segitu terlalu besar. Panitia harus benar-benar kerja keras mengumpulkan dana untuk menutup kebutuhan.
Ustadz memiliki tugas utama mensyiarkan Islam. Idealnya mereka melakukan itu ikhlas karena Allah. Uang tidak dijadikan tolak ukur utama. Berdakwah tidak dijadikan sebagai profesi untuk mencari uang. Tetapi benar-benar dijadikan sarana mensyiarkan islam dan meraih pahala Allah swt.