Mengeja pohon randu, adakalanya ia terlihat cantik dengan bunga-bunga kecil yang mewarnai gagah ujudnya,rimbun dedaunan hijau berguguran,satu demi satu daunnya luruh berserakan di tanah kering,apakah ini akhir dari perjalananya?,rupanya aku keliru,seiring pendar cahaya menuju senja,muncul buah randu gemuk nan menggemaskan,selesaikah pesonanya? tidak.kala dini hari aku hitung satu satu buah randu seketika menyembul putih dari retakkan kulitnya, “kapuk” jeritku tertahan. Lalu angin terkadang nakal,meniupkan sejumput kapuk yang tengah mengintip dunia itu,membawanya pada entah,tepi kolam ikanku,genteng rumahku,atau bahkan pada tanah basah yang baru usai disemai benih cabai.
Dan aku teringat kamu, lelaki dengan kearifan tutur lembut, senyum cerah yang kerap kau hadirkan manakala kita bertemu di kedinian hari, saat kau awali pergelutanmu dengan tanah harapan, demi menuruti tuntutan arti kata hidup. Lalu apa hubungannya lelaki tua dengan randuku?
Pernah di satu masa, aku melihat lelaki tua itu memunguti kapuk yang telah jatuh ke tanah akibat keusilan sang angin. Sejumput, sejumput ia kumpulkan dalam kantung plastik usang yang telah berlubang pada sisi bawahnya. Aku terharu, seketika aku lari ke arahnya "aku bantu ya pak" ia tersenyum dan mengangguk gembira "istriku pasti senang, aku membawa oleh-oleh yang kelak dijadikan bantal buat tidur kami berdua" katanya, matanya berbinar, aku suka. Segera aku berlari kesana kemari, mengumpulkan jumputan kapuk lalu serahkan pada lelaki tua yang kini tengah bersandar pada kokoh pohon randu. Angin mempermainkan rambut putihnya yang tingal beberapa helai. Ah lelaki tua itu selalu membuat aku jatuh hati. Bukan! bukan sebagai kekasih, namun aku menyayanginya sebagai seorang bapak, seorang sahabat.
Persahabatan kami telah terjalin begitu saja, tatkala kepindahan keluargaku di rumah ini, rumah kecil, pinggir sawah dengan pohon randu yang selalu memayunginya. Rumah yang telah aku impikan sepanjang kehidupanku dengan halaman sawah yang menghijau. Dimana aku bisa bermain dengan kupu-kupu, aku bisa berceloteh dengan kepodang, atau aku hanya memanjakan kedua mataku dengan indahnya hamparan hijau pohon tembakau.
Petani itu menggarap tanahnya, seorang diri, meski terkadang sang istri menunggunya di ujung pematang yang tak seberapa luas itu. Bila ada waktu, aku temani sang istri duduk disana, berbincang tentang harga cabai yang melonjak, sayur yang akan ia masak,atau hujan yang tak kunjung reda. Perbincangan yang sederhana namun bermakna.
Sesekali lelaki tua itu menghampiri kami dan meminta minum, sang istri melayani dengan senyum penuh cinta, Ah...dua manusia tua ini membuat aku iri dengan cinta yang tercermin pada senyum, tutur kata dan pandangan mata mereka. Betapa cinta bisa demikian dahsyat menyelimuti kebersamaan mereka hingga akhir hayat, yah akhir hayat.
Beberapa saat setelah kebersamaan kami berdua mencari putihnya kapuk, berita duka datang padaku di senja yang tak hadirkan jingga di ufuknya. Lelaki tua itu telah pergi, sesaat setelah kepulangan dari menggarap tanahnya, pergi menghadap Yang Kuasa tanpa sakit, tanpa pesan. Aku berduka, terlebih sang istri tercintanya.
Saat pemakaman tiba, aku mengeja kembali pohon randu, layaknya lelaki tua yang kokoh semangatnya hingga ajal menjelang, yang kini tengah menjadi perhatian pandangyang berurai air mata, yang tubuhnya sedikit demi sedikit tertimbun tanah ini. Lelaki tua itu selalu menebarkan pesona hingga akhir hidupnya, layaknya pohon randu. Pesona pada istrinya, pada keluarganya, pada tanah yang pernah ia katakan sebagai kehidupannya, dan padaku, sahabat sejenaknya.
Beberapa bulan sejak kepergian lelaki tua itu, sepetak tanah tempat ia mengadu nasibnya, meranggas, kering seakan menyimpan kerinduan pada tangan lelaki tua yang bijak itu.
Aku mengeja pohon randu itu,tanpa lelaki tua, yang menyisakan kenangan indah tentangnya dalam hidupku,lalu aku merindukannya, sangat.
*****
ilustrasi Gilang R