Pagi ini aku nikmati hasil dari jerih payahmu bapak tua, singkong dari kebunmu itu telah aku masak menjadi kudapan teman minum kopi pagiku kali ini. Air mata menetes saat ingatanku melayang pada sosok dirimu, Pak Tua, petani sahabatku.
Perkenalanku denganmu bermula saat aku menempati rumah di ujung gang ini. Setiap pagi kau selalu melewati halaman rumahku untuk menggarap kebun yang tak seberapa luas itu. Sapaanmu selalu memberikan kedamaian jiwaku manakala di pagi hari saat burung-burung kepodang masih asyik terdengar berkicau itu kau lontarkan dengan senyum khasmu.
“Mau pergi nduk”
“Ya pak, mau antar anak sekolah”
“Hati-hati, sekarang kendaraan sudah kayak laron di jalanan”
“Baik pak, makasih, saya berangkat dulu”
Setelah kepergianku, kau akan kembali tenggelamkan diri dalam kebun cabai yang letaknya persis di sebelah rumahku.
Saat musim panen kau selalu memaksaku agar ikut menikmati hasil kebun cabaimu meski dengan halus aku selalu menolak.Bukan maksud aku bersombong diri,aku sering tidak tega menerima pemberian cabai dari kebunnya yang tidak terlalu luas itu. Pak Tua lebih membutuhkan ketimbang diriku. Lalu dengan terpaksa untuk menyenangkan dirimu, aku menerima setengah saja dari pemberianmu.
“Ini sudah cukup pak, aku jarang memasak, anak-anak lagi nggak pulang” alasanku. Dan kau tersenyum, sangat mendamaikan jiwa.
Dan besoknya, sehari setalah kau memberi hasil panenmu, aku akan sibuk memilihkan baju suami yang masih pantas pakai untukmu atau mencari makanan kecil untuk teman minum teh di sela waktu menggarap kebun.
Di bawah pohon randu itu, kita sering menghabiskan waktu siang berdua. Aku membantumu memunguti kapas-kapas yang telah terbuka dari cangkangnya dan berserakan di tanah karena terbawa angin.
“Lumayan, mbah putri sudah bisa dapat dua bantal nduk” katamu siang itu.
‘Wah banyak juga to mbah?” tanyaku heran, karena seingatku dua hari yang lalu kami mengumpulkan berdua dan hasilnya cuma sekantong plastic kecil.
“Kemarin mbah ngumpulin sendiri dapat banyak, kamu nggak di rumah ya? Aku lihat rumahmu sepi” lanjutnya.
“Oh ya mbah, aku antar anak pulang ke Yogya” jelasku.
Percakapan denganmu selalu membuat aku merasa damai, entah kenapa. Mungkin karena aku selalu merindukan kasih sayang seorang bapak. Semenjak kecil aku hanya diasuh oleh seorang nenek tua dan hanya sesekali dalam setahun aku bertemu papaku. Dari hubungan ini, kau seakan memberikan sesuatu yang lama aku rindukan, kasih sayang seorang bapak.
Obrolan kecil antara aku dan kamu kini hanya tinggal kenangan, kau telah berpulang ke rumah Allah dengan secara mengejutkan. Tidak saja buatku yang hanya “sahabat” siangmu, tapi juga anak cucumu. Lebih menyedihkan buatku adalah saat kepergianmu, aku tak mengetahui sama sekali. Aku terlalu sibuk mendampingi suami yang tengah dirawat di rumah sakit. Aku baru tahu kabar duka itu setelah satu bulan berlalu.
Menurut cerita anakmu kemarin siang sewaktu memberikan singkong itu, kau pergi dengan senyum yang indah tuk menghadap Tuhanmu. Siang setelah pulang dari kebun, kau mandi untuk kemudian sholat dhuhur. Sehabis sholat kau mengeluh sakit dada dan kemudian berbaring di tempat tidur. Tak lama kemudian dengan didampingi istrimu, kau pergi ke alam keabadian.
Ada satu kalimat yang takkan pernah aku lupa dan sekaligus membuatku semangat untuk berbuat baik terhadapa sesama, yang kau katakan sesaat setelah aku memberi sedikit buah salak di siang yang sangat terik.
“Aku heran, kau baik sekali, kenapa kau baik padaku?, ah aku percaya kau baik pada semua orang, terlihat dari wajahmu, semoga Allah memberikan jalan yang baik pula padamu”
Ah air mataku mengalir deras Pak Tua…..
Aku kangen padamu, kangen sapaanmu, canda tawamu, dan juga paksaan dirimu agar aku menerima hasil kebunmu. Meski sampai akhir hayatmu, kita berdua tidak mengetahui nama masing-masing, namun aku percaya di hatimu telah tertulis kisah tentang kita, tentang persahabatan kita.
************
ilustrasi gambar : Naim Ali-Kampret