[caption id="attachment_317673" align="alignleft" width="300" caption="Foto sewaktu Menteri Pertanian Suswono berkunjung ke Sulsel dalam rangka panen perdana benih padi hibrida, yang nota bene mencekik kedaulatan petani"][/caption] Apakah karena tulisan-tulisan saya selama ini yang terpublikasi di Kompasiana hingga di Kompas Cetak Klasika begitu keras soal petani sehingga ada indikasi account saya di hack? Buktinya, ketika saya ingin membuka account saya untuk mempublikasikan tulisan yang berjudul “Potret Seorang Aktifis Petani Yang Jauh Dari Keluarganya” itu, kini tak bisa lagi diakses di Kompasiana. Awalnya saya pikir pihak kompasiana masih dalam tahap maintenance, dan biasanya hanya passwordnya yang perlu di konfirmasi ulang. Tetapi setelah saya mencoba konfirmasi berulang-ulang kali dengan aturan yang ada di kompasiana dengan memasukkan email account saya, ternyata email saya sama sekali ditolak alias tak di kenal. Sambil menunggu pihak admin kompasiana membantu saya, tulisan ini saya titip di salah seorang teman di Kabupaten Selayar yang kebutulan punya account di Kompasiana dengan nama “Selayar News yang saya gunakan untuk mempublikasikan tulisan ini. Atas persetujuannya, saya lalu mengirimkan tulisan ini. Saya sudah mencoba hubungi Kang Pepih melalui telepon namun karena hari ini adalah hari libur, mungkin saja Kang Pepih lagi berkumpul bersama keluarga. Untuk itu saya harap pihak admin Kompasiana bisa membantu dan memberikan solusi untuk masalah account saya ini. Saya juga sudah kontak barusan dengan Bung ASA melalui telepon bahwa account saya di Kompasiana tak bisa di akses. Bang Asa mengatakan sepertinya account saya kena Hack. Selanjutnya beliau mengatakan, “bahwa ada indikasi para aktifis termasuk yang sering menulis dengan kritis itu masuk dalam catatan list para jaringan hack terstruktur”. Lalu saya katakan kepada Bang ASA, “kalau begitu, tulisan-tulisan kritis saya selama ini yang banyak mengangkat isu soal petani dan sektor pertanian di Sulsel dijadikan semacam perlawanan kepada pemerintah tentunya”. Saya hanya bisa tersenyum melihat ada masih upaya –upaya kriminalisasi kebebasan pendapat seorang aktifis seperti saya yang banyak membela hak-hak petani yang tertindas. Baiklah, melihat hal tersebut. Saya kembali berpikir lalu mengatakan bahwa tenyata Negara ini belum memberikan sebuah kebebasan kepada rakyatnya untuk menyampaikan pendapat yang sifatnya kritis. Sektor pertanian adalah tulang punggung perekonomian bangsa kita. Jika sektor ini terus dijarah, diterlantarkan, dimarjinalkan, diperas serta sengaja dirusak, maka rakyat kita mau mau makan dari mana? Tulisan-tulisan saya di Kompasiana banyak membuka tabir penyimpangan-penyimpangan tersebut yang ujung-ujungnya menyengsarakan petani. Ada upaya Negara untuk terus memiskinkan petani yang sudah tidak berdaya dengan melembakan kemiskinan petani tersebut. Jadi untuk apa ada pemilu, ada presiden, menteri pertanian dan ada gubernur hingga kepala desa. Itukan sistem pemerintahan dalam suatu Negara. Dengan adanya NGO yang saya dirikan, agar bisa memberikan sosial kontrol yang kritis terhadap sistem itu yang mungkin selama ini mereka tidak bekerja maksimal. Yang ada hanya sibuk mencitrakan diri yang secara nyata tidak ada hasil yang bisa dibuktikan secara signifikan. Apakah itu bukan pembodohan publik? Termasuk jika ada upaya yang terorganisir untuk mengkrangkeng para penulis-penulis kritis diberbagai media baik cetak, elektronik dan internet. Saya hanya mau berpesan dalam tulisan ini bahwa ‘Wahai Pemimpin Bangsa, Sadarlah dan istigfarlah !” kita sama-sama manusia yang punya keyakinan bahwa suatu saat kita akan kembali ke Sang Pencipta”. Itupun kalau benar-benar bisa kembali ke asalnya, sebab kalau tidak ya, mandeg artinya ! Tanya diri sendiri apa yang saya lakukan sewaktu hidup di dunia”. Kali aja jadi nyamuk, atau virus yang terus menerus memangsa para kroninya sewaktu di dunia dulu.”. Bagi saya, menjadi aktifis NGO yang banyak mengurus kaum tani yang korban kebijakan, juga seorang jurnalis tidak akan pernah gentar apapun selama itu “KEBENARAN” yang di bawa. Mengapa musti takut? Bukan pempimpin petani namanya kalau penakut apalagi cengeng ! tidak ada itu, air mata tangisan jika jadi pemimpin”. Yang ada hanyalah jiwa ksatria dalam menyelesaikan semua persoalan”. Disitulah terlihat kualitas keyakinan akan keimananan seorang pempimpin. Tapi susah juga, kalau hedonisme sudah menyelimuti kepemimpinan kita, apapun pasti akan luntur. Wajar saja, jika letusan merapi terus mengeluarkan isi perutnya sebagai sinyal bahwa saat ini mungkin ada pemimpin yang tidak mengenal dirinya sendiri. Inilah yang gawat, bagaimana mau mengayomi rakyatnya, dirinya saja ia tak mengenal siapa dia? Buktinya, yang ada hanya curiga kepada aktifis yang hendak ingin memperbaiki Negara ini.
Salam dari Pejuang Petani, Imasnyah Rukka
KEMBALI KE ARTIKEL