Kesabaran revolusioner itu kembali dipertontonkan menjelang pemilihan legislatif 2014, Megawati dengan PDIPnya telah menunjukkan kepiawaian dalam berstrategi dengan menyimpan rapat rapat kepastian mencapreskan Jokowi hingga sehari sebelum kampanye pileg berlangsung. Langkah PDIP ini pun membuat Prabowo Subianto bagaikan merasa langit runtuh mengiringi harapannya untuk menjadi orang nomor satu di republik ini. Sang mantan jendral ini pun kalap, mengamuk tidak menentu, dan terlihat sering tidak mampu mengontrol emosi di panggung panggung kampanye yang dihadirinya. Prabowo berhak untuk marah dan memang hanya pilihan marah dan mengamuk itulah yang bisa diambil oleh Prabowo, sebab ia menyadari sekali secara hitung hitungan politik kelas kaki lima pinggir jalan sampai dengan teori ilmiah canggih akademik, dirinya tak akan mampu menyaingi elektabilitas Jokowi dalam pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat.
Menarik untuk menganalisa mengapa Prabowo bisa sampai begitu marah dengan PDIP saat itu. Caranya sangat sederhana, cukup melalui sebuah pertanyaan:
"Apa kepentingan terbesar Prabowo terhadap PDIP saat itu?"
Fenomena kemunculan Jokowi sebagai kekuatan politik baru dua tahun terakhir memang membuat panik semua partai politik, tak terkecuali internal PDIP sendiri. Sebagai calon presiden 2014 terkuat sebelumnya bisa dikatakan Prabowo lah yang paling panik dan paling terkena imbasnya. Kepentingan terbesar Prabowo saat itu adalah membuat PDIP "jangan sampai mencapreskan Jokowi". Dan kepiawaian PDIP untuk mengunci rapat semua informasi mengenai calon presiden akhirnya membuat Prabowo kecele dan gagal membaca informasi tersebut. Maka tak mengherankan jika sampai terjadi "insiden alat sadap" di kediaman Jokowi dan "orang tak dikenal" di dalam rombongan Megawati yang tak pernah ada sebelumnya di panggung politik Indonesia walau sesengit apapun persaingan sedang berlangsung.
Menarik benang merah analisa diatas dengan hasil perolehan suara pileg dimana partai partai mulai membangun kekuatan untuk menghadapi pilpres, kembali pertanyaan yang sama kita lontarkan untuk fenomena Jokowi ini.
"Apa kepentingan terbesar kubu lawan Jokowi dalam pilpres 2014?"
Siapapun yang akan menjadi kubu lawan Jokowi nanti, mereka mempunyai kepentingan terbesar untuk mencoba mengetahui seberapa besar kekuatan Jokowi dalam pemilihan presiden nanti. Dan faktor calon wakil presidennya menjadi penting karena diakui atau tidak jika salah pilih, cawapresnya hanya akan menjadi faktor "pelemahan" elektabilitas Jokowi. Hampir semua kandidat yang digembar gemborkan sebagai cawapresnya Jokowi mempunyai celah masa lalu yang bisa diserang, kecuali jika kubu Jokowi mau menyingkirkan pertimbangan absurb "perimbangan kekuatan parlemen" dari faktor penentuan cawapres dan berani memilih tokoh muda idealis yang bebas dari dosa masa lalu.
Maka tak heran tersanderalah semua partai politik hingga hari ini, tak mampu untuk mengambil keputusan apapun. Yang bisa mereka lakukan hanya menunggu sambil berharap harap kubu Jokowi segera mengumumkan calon wakil presidennya, lebih cepat lebih baik sehingga dengan demikian mereka bisa membaca dan memprediksi peta kekuatan yang akan terjadi di pertarungan pilpres nanti.
Sebersit senyuman tersungging di bibir mereka saat sekjen PDIP Tjahjo Kumolo memberi pernyataan akan mengumumkan nama calon wakil presiden nanti pada tanggal 9 Mei 2014. Senyuman pahit sebenarnya ditengah ketidakpastian dan kegentaran mereka menghadapi bayangan kekuatan Jokowi. Jika benar ini dilakukan kubu Jokowi maka praktis mereka masih punya waktu sekitar 11 hari sampai tanggal 20 Mei 2014 untuk melakukan lobi lobi politik dan membangun kekuatan untuk mengimbangi kekuatan Jokowi.
Bagaimana jika sebaliknya? Kubu jokowi kembali mematahkan "kepentingan terbesar" mereka. Alangkah baiknya jika Tjahjo Kumolo di tanggal 9 Mei nanti kembali mengumumkan mereka hanya akan membuka nama calon wakil presiden dan sekaligus mendaftarkannya secara resmi di hari terakhir dan jam terakhir pendaftaran pasangan capres cawapres di KPU. Bisa dibayangkan kepanikan yang akan terjadi di semua partai. Mereka akan kalang kabut dan tak punya pilihan lain selain "head to head" menghadapi Jokowi di pilpres. Bukan tak mungkin insiden "Prabowo Ngamuk" bisa meluas menjadi "SBY Ngamuk", "Hatta Rajasa Ngamuk", "Muhaimin Ngamuk" dan "Ical Ngamuk".
Jika strategi ini yang diambil kubu Jokowi akan banyak manfaatnya. Selain akan mengeliminasi partai partai oportunis yang hanya mengharapkan kursi wapres dan jatah menteri serta membebani pemerintahan nantinya, juga akan menghalau tokoh tokoh oportunis yang mencoba untuk menjadi cawapres Jokowi. Setidaknya dengan stategi ini kekuatan yang mereka bangun untuk memerintah nantinya akan lebih murni dan solid serta jauh dari wajah koalisi pemerintahan SBY 10 tahun belakangan ini.
Lebih jauh lagi jika dikaji dari kemungkinan pertarungan "head to head" satu putaran di pilpres nanti, yang paling diuntungkan adalah rakyat Indonesia dimana triyunan rupiah uang rakyat bisa dihemat dalam penyelenggaraan pilpres 2014, yang jika dibelikan "nasi bungkus" mungkin bisa memberi makan secara gratis seluruh rakyat selama beberapa bulan serta ikut menggerakkan ekonomi kerakyatan secara simultan. Beras petani diperlukan untuk membuat nasi, mbok mbok penjual sayur dipasar laku keras, ikan nelayan, ayam dan sapi peternak sebagai lauknya dan mobil mobil pickup sembako dini hari super sibuk melayani orderan. Rakyat makin sejahtera!
Kita nantikan bersama langkah apa yang nanti akan diambil kubu Jokowi. Sebuah kebodohan politik kah? Atau sebuah kesabaran revolusioner berikutnya?
Salam kompasiana!