Syekh Muhammad Athaillah memberikan arahan kepada Sunan Gunung Jati untuk pulang ke nusantara dan berguru kepada Syekh Maulana Ishak dipasai, Aceh. Setelah itu beliau pesantren di Karawang, Kudus hingga AmpelDenta di Surabaya yang pemiliknya ialah Sunan Ampel. Sunan Ampel meminta Syarif Hidayatullah untuk menyebarkan agama Islam di daerah Cirebon. Di Cirebon ia menjadi guru agama menggantikan Syekh Datuk Kahfi di Gunung Sembung.
Selama mengajar di Cirebon Syarif Hidayatullah menikah dengan Nyi Ratu Pakungwati, yang merupakan putri dari Pangeran Cakrabuana atau Haji Abdullah iman yang memimpin kerajaan Cirebon pada saat itu.
Pada saat di Cirebon Syarif Hidayatullah membangun pondok pesantren dan mengajarkan agama Islam kepada masyarakat di sekitar. Syarif Hidayatullah memiliki julukan daripada santrinya yaitu Maulana Jati atau Syekh Jati. Karena Syarif Hidayatullah berdakwah di bawah kaki Gunung Jati Ia pun dijuluki dengan Syekh Gunung Jati.
Setelah Pangeran Cakrabuana wafat tahta kerajaan dilanjutkan oleh Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) sebagai pemegang tahta kerajaan Cirebon. Pada pemerintahan Sunan Gunung Jati agama Islam berkembang sangat pesat di Cirebon, Sunda Kelapa, Banten dan daerah lain di Jawa Barat.
Untuk memperluas ajaran agama Islam Sunan Gunung Jati menikahi putri dari Bupati Kawungaten yaitu Nyi Ratu Kawungaten. Salah satu seorang anak dari Maulana Hasanudin yang melanjutkan dakwahnya yaitu Sultan Banten.
Cirebon juga diketahui menjalin kerjasama dengan Tiongkok. Sunan Gunung Jati menikahi putri dari Kaisar Cina Hong Gie dari Dinasti Ming yang bernama Ong Tien. Setelah menikah dengan Syarif Hidayatullah ia berganti nama menjadi Nyi Mas Rara Sumanding. Dakwah Islam yang dilakukan oleh Sunan Gunung Jati kian pesat dan maju dikarenakan beliau banyak menjalin kerjasama dengan kerajaan.