Ratmi, yang baru setahun lalu menghuni Desa Lemahwungkuk, tidak pernah terdengar mengeluh. Itu bukan kebiasaannya. Tapi, suatu waktu, di kamar mandi, ia menangis bak anjing yang melolong karena kehilangan anaknya. Tidak ada yang mendengar lolongan menyayat hati itu, kecuali seorang tukang kebun yang bekerja di rumah sebelah rumah Ratmi. Semenit, dua menit, lima menit, si tukang kebun berusaha abai pada suara tangis Ratmi. Lalu, menit kesekian belas, ketika lolongan itu masih saja – dan kedengarannya malah tambah menyayat kalbu – menusuk liang telinga si tukang kebun, ia bangkit dari posisi jongkoknya di balik perdu melati.
Tepat ketika si tukang kebun sudah berada di halaman rumah Ratmi, ia sadar, lolongan itu sudah tidak terdengar lagi. Namun, rasa penasaran malah menyelimuti otak si tukang kebun. Ia memutuskan untuk mengetuk pintu belakang rumah Ratmi dan pura-pura hendak meminjam gunting rumput. Semoga si empunya rumah tidak curiga, pikirnya. Tapi, sesampai di bagian belakang rumah, si tukang kebun melihat pintu itu tidak tertutup dengan rapat. Ada celah dan tak perlu usaha besar untuk memperlebarnya.
“Bu Ratmi…,” si tukang kebun bersuara. “Bu Ratmi….” Masih tak ada balasan.
Yang tertangkap liang telinga sekarang adalah suara air keran dari kamar mandi. Tidak ada suara lain, hanya suara kucuran air dari keran. Pintu kamar mandi tertutup rapat. Si tukang kebun menduga, Ratmi sedang di kamar mandi.
“Bu Ratmi….” Si tukang kebun mencoba lagi. Dan, tetap tak ada jawaban.
Si tukang kebun melihat ke bawah, ada celah antara pintu kamar mandi dan lantai. Celah yang cukup lebar untuk sedikit mengintip apa yang berada di dalam kamar mandi. Sempat ragu, namun si tukang kebun meneruskan niatnya. Dari celah itu, si tukang kebun melihat tubuh Ratmi yang tanpa busana, terkapar di lantai kamar mandi. Ada banyak darah di tangan dan beberapa bagian tubuh Ratmi.
Tanpa pikir panjang, si tukang kebun langsung lari ke rumah ketua RT yang berjarak lima rumah dari rumah Ratmi. Menit-menit berikutnya, hanya kelebatan orang lalu lalang di mata si tukang kebun. Bahkan suara sirine ambulan terdengar sangat jauh untuk si tukang kebun.
Ia terduduk lemas di lantai teras rumah majikannya. Ada segelas teh hangat yang sedari tadi belum ia minum. Baru saja ada yang bercerita padanya. Ratmi tak selamat.
“Kenapa?” Si tukang kebun bertanya pada diri sendiri. Dan, tidak ada yang menjawab.
Beberapa hari berlalu, tersiarlah fakta tentang kematian Ratmi. Ratmi, wanita dua puluh tujuh tahun itu tertekan jiwanya. Selama ini, warga menganggap semuanya normal-normal saja. Ratmi pun nampak senormal wanita muda lainnya yang ditinggal suami bekerja di perantauan. Namun, di tembok kamar Ratmi yang putih bersih itu tertulis curahan hati Ratmi, diukir dengan lipstik merah, semerah darah Ratmi.
Halo, Pejantan. Sebentar, apa benar kau pejantanku, dan aku betinamu? Karena aku merasa bukan layaknya betinamu. Aku merasa… hanya sebagai peliharaanmu. Kenapa? Pernah terpikir untuk mendengar ucapanku? Pernah terpikir di otakmu bahwa aku bukan benda mati yang layak kau usung ke mana-mana? Pernahkah terpikir juga, bahwa aku butuh melihat dunia? Tidak? Mungkin memang benar, pejantan sepertimu jarang menggunakan otak sedikit lebih lama dari biasanya.
Halo, Pejantan. Jika memang kau pejantan, harusnya otakmu tak pendek akal dan lidahmu tak obral caci. Harusnya telingamu tak telan bulat-bulat apa yang kau dengar dari orang lain, harusnya telingamu lebih dulu mendengar ucapanku. Mungkin harusnya… tulisan ini tak pernah ada, layaknya aku… yang tak pernah nampak nyata di otakmu.
Si tukang kebun sempat melihat tulisan itu. Tapi, ia tak paham artinya. Pun ia tidak berusaha untuk memahami karena ia buta huruf. Ia tahu bunyi tulisan itu karena sang majikan yang membacakan untuknya.
“Sudahlah, Buyung,” tiba-tiba si majikan menemani si tukang kebun duduk di teras rumah. “Kamu, saya, dan warga desa ini tidak ada sangkut pautnya dengan kematian Ratmi. Tak perlu kamu penuhi otakmu dengan peristiwa itu lagi.”
Buyung mengerti. Ia menghabiskan sisa tehnya dan kembali bekerja.
***
Wanita seharusnya manut. Wanita seharusnya tidak cerewet memberi saran ini itu. Wanita seharusnya hanya memikirkan masakan, pekerjaan rumah, dan cara menyenangkan hati suami di atas ranjang.
Itu prinsip-prinsip yang tertanam di otak Yusuf, terpatri sempurna, sehingga ketika ada yang menyenggolnya sedikit saja, ia bisa kebakaran celana. Apa yang dilakoninya sekarang, adalah hasil berpikirnya selama berhari-hari. Ia bosan, terus-terusan menggembala kambing di padang rumput tepian hutan. Ia ingin merasakan sentuhan modern dalam karirnya, walau itu hanya sebagai buruh, tapi buruh yang berada di kota besar.
Ratmi sempat melarangnya secara halus. Secara matematika pun sudah jelas hasilnya, menggembala kambing jauh lebih menguntungkan ketimbang bekerja di kota. Tapi, telinga Yusuf terlanjur bebal, bahkan pada kata-kata sang istri.
Akhirnya Yusuf menjual semua kambingnya yang berjumlah dua puluh lima ekor. Ia meninggalkan desanya dan pindah ke Desa Lemahwungkuk, sebuah desa di daerah penyangga ibukota. Pekerjaannya di sebuah proyek pembangunan mall dan apartemen, tak mengijinkannya pulang setiap hari. Ia harus menginap di bedeng dan baru boleh menengok rumah sebulan sekali.
Dan, kepulangannya kali ini, disambut bendera kuning yang masih saja belum dicabut sejak dua minggu yang lalu. Tidak ada yang mengabarinya karena memang warga tidak ada yang tahu di mana Yusuf bekerja. Pun Yusuf tidak punya telepon genggam, sehingga tidak bisa dihubungi. Yusuf membaca tulisan tangan Ratmi di tembok kamar. Tubuh Yusuf gemetar, keringat membanjiri pelipisnya. Sesal sudah tak mungkin diucap.
Di belakang Yusuf, yang sedang berdiri menghadap tulisan Ratmi, ada Buyung dan majikannya. Mereka berdua berjaga-jaga, siapa tahu Yusuf hendak melakukan hal yang sama seperti Ratmi.