Rhein kembali ke apartemen. Dilihatnya sang ibu sedang membuat minuman. Ada tiga gelas tinggi di meja dapur dan masing-masing sudah terisi irisan lemon. Es teh lemon kembali menjadi minuman pelebur kekakuan. Rhein memilih sofa tunggal yang terletak di sudut ruangan, dekat buffet, tak jauh dari pintu menuju balkon. Ia merogoh sakunya, memasang headset ponselnya, dan menutup mata untuk menikmati daftar lagu. Saat itu ia berharap tidak ada orang yang bakal mengganggunya. Ia lelah, walaupun hanya bepergian jarak dekat – Rhein menganggap Jakarta-Bandung memang dekat.
Rasanya mungkin baru satu menit Rhein menikmati musik dari ponselnya, tiba-tiba ada yang melepas headsetnya. Ternyata Rosi yang melakukannya. Sambil memberi tatapan tegas, Rosi memberi perintah, “Pindah! Kita ngobrol di ruang tengah.”
“Ma. Rhein capek. Nggak bisa entaran aja?” tanya Rhein.
“Udah, nggak usah banyak alesan. Sana pindah,” tegas Rosi.
Dengan gontai, Rhein terpaksa menuruti perintah ibunya. Rosi tersenyum. Paling tidak, ketika ada Maya di sini, Rhein agak sungkan untuk bermanja-manja.
“Duduk di sebelah Maya,” pinta Rosi.
Rhein mengangkat kedua alisnya, lalu, “Ma…,” ia memberi tatapan tak percaya.
“Duduk,” ulang Rosi.
Rhein menurut.
“Good,” ujar Rosi sambil berdiri di depan sofa, memperhatikan kedua gadis yang duduk bersebelahan. “Yah, kalian memang mirip,” kata Rosi lagi. “Mata kalian sangat mirip.”
“Mirip?! Mirip apanya?” Rhein bingung, tapi Maya tidak.
“Ah, Rhein. Mama memang belum cerita ke kamu,” jawab Rosi.
“Cerita apa?” Rhein makin bingung.
Rosi mendekat ke sofa, lalu duduk di antara Maya dan Rhein.
“Ya, mata kalian memang mirip. Kalian mewarisi mata yang sama dari nenek.”
“Uti?! Maksudnya?” Rhein mengubah posisi duduknya. Kini ia menghadap Rosi.
“Ya, dari Uti.”
Rhein diam, berpikir. Lalu, ia membuka mulutnya. Ia ingin melontar apa yang ia pikirkan, tapi semuanya hanya tertahan di kerongkongan. Rosi tahu, Rhein sudah menduga apa yang ia kehendaki. Pada akhirnya, tidak perlu waktu lama bagi Rosi untuk memberitahu siapa Maya sebenarnya. Tapi, mungkin – pikir Rosi – Rhein akan butuh waktu lama untuk menerima kenyataan.
“Maya is your sister, Rhein,” kata Rosi pelan, agar Rhein dapat mencerna maknanya. “Walaupun ayah kalian bukan orang yang sama, tapi kalian berasal dari rahim yang sama. Rahim Mama.”
Alih-alih meneruskan obrolan, Rhein malah berlari ke kamar.
“Lho?! Rhein!” panggil Rosi. Ia hendak mengejar Rhein ke kamar, tapi dicegah Maya.
“Biarin aja, Ma,” kata Maya sambil menahan lengan Rosi.
“Ya, tapi….”
“Nggak apa-apa, Ma. Rhein pasti lagi pengen sendiri dulu,” ujar Maya.
“Tehnya?!”
Maya tertawa kecil. “Biar Maya yang ngabisin,” ujarnya sambil meraih teh lemon bagian Rhein. “Mending sekarang kita terusin masakan yang tadi Mama bikin. Kasian, masih setengah mateng gitu. Kan, nanti malem Al dateng ke sini lagi,” Maya mengingatkan. “Mungkin kita perlu bikin menu tambahan.”
Maya berjalan ke arah lemari pendingin, membuka pintunya, dan melongok isinya.
“Kita bisa goreng brokoli sama kembang kolnya, Ma,” kata Maya lagi. Rosi masih saja berdiri di dekat sofa. “Pake tepung bumbu. Kayaknya cocok buat tambahan lauk.”
Rosi mengalah. Mungkin Maya benar, pikirnya. Saat ini Rhein pasti butuh waktu untuk sendiri.
Di dalam kamar, Rhein menenggelamkan wajahnya ke bantal. Tak ada isak, tapi ia merasa sakit yang tak berbentuk. Ujung jemarinya nyeri, dadanya pun merasa hal yang sama. Ada hal yang seharusnya tidak terjadi. Otaknya sedang berusaha menolak informasi yang baru saja masuk. Itu dilakukannya terus menerus, sampai tak sadar, ia pun terlelap.
Bel pintu berbunyi ketika jarum jam hampir menyentuh angka delapan.
“Tolong bukain pintunya, Sayang,” pinta Rosi pada Maya. “Mama mau nata piring-piring dulu.”
Maya mengangguk dan beranjak menuju pintu. Daun pintu bergeser, ternyata Al yang datang. Melihat sosok pria di hadapan, Maya kembali teringat percakapan terakhirnya dengan Al. Itu bukan sesuatu yang menyenangkan untuk diingat, pikir Maya. Tapi, sosok di hadapannya tersenyum, lalu menyerahkan paper bag padanya.
“Buat kamu,” kata Al. Lelaki itu masih memegang dua bungkusan lagi di tangan kirinya.
Maya menerima bungkusan itu. “Ayo masuk,” ajaknya.
Keduanya menuju ruang tengah. Al menghampiri Rosi, lalu menyerahkan salah satu paper bag pada wanita paruh baya itu.
“Rhein mana?” tanya Al.
“Masih di kamarnya,” jawab Rosi. “Dari sore belum keluar.”
Al tidak bicara lagi. Ia langsung menuju kamar Rhein. Pintu terbuka dan Al langsung mendapati Rhein sedang duduk di ranjang, menyandarkan punggungnya ke tembok sambil memeluk bantal. Pakaian Rhein masih sama seperti yang terakhir Al lihat tadi sore. Mata gadis itu coreng moreng karena riasannya berantakan.
“Kamu kenapa lagi, Rhein?” Al meletakkan bungkusannya di meja, lalu duduk di sebelah Rhein.
Rhein tidak menjawab. Ia kembali menenggelamkan wajahnya ke bantal.
“Kalo nggak mau cerita, ya, nggak apa-apa.” Al bangkit dari duduk, hendak keluar dari kamar.
Tiba-tiba, “Al!” Rhein menampakkan lagi wajahnya.
Al berhenti melangkah. “Ya?”
“Elu pasti udah tau, ya?!” tanya Rhein.
“Tau apa?” Al bingung.
“Maya,” jawab Rhein.
“Maksudnya?!”
“Ah, udahlah. Nggak usah dibahas lagi.” Rhein kembali menopang dagunya dengan bantal.
Al kembali duduk. Ia memandang Rhein penuh selidik. Ia yakin, sesuatu telah terjadi selepas ia pergi. Apa mungkin Rosi sudah memberitahu perihal Maya kepada gadis ini, tanya Al dalam hati.
“Cerita, dong. Ada apa?” tanya Al sambil merapikan rambut Rhein yang berantakan.
Rhein bergeming. Tatapan matanya masih ke arah Al, tapi kosong tanpa makna.
“Sejak kapan elu tau?” Akhirnya Rhein buka suara.
“Soal apa? Maya?”
Rhein mengangguk. “Elu pasti udah tau, kan?! Kenapa tadi siang nggak sekalian bilang ke gue? Elu malah bilang Maya itu calon istri lu. Maksudnya apa?”
Al menghela napas panjang.
“Awalnya gue juga nggak tau, Rhein. Gue nggak pernah kepikiran kalo Maya itu juga anak nyokap elu. Sampai akhirnya, pas gue bawa Maya main ke Lembang, semuanya kebongkar.” Jeda sebentar. “Dan, yah, gue emang udah tau kalo Maya itu kakakmu. Cuma gue pikir, tadi siang itu belum waktunya gue kasi tau elu. Elu baru dateng, masih capek. Kalo gue paksa, pasti elu nggak bakal mau nerima.”
“Sama aja. Mau diceritain taun depan juga gue nggak bakal percaya. Gue itu anak tunggal. Dan, gue pengen faktanya tetep seperti itu.”
“Ya, nggak boleh gitu, Rhein. Cepat atau lambat, elu harus tau itu. Entah itu dari mulut gue atau dari mulut nyokap lu langsung. Itu lebih baik daripada elu taunya dari orang lain.”
“Gue tetep nggak terima.”
Al membelai rambut hitam Rhein. “Gue, Maya, atau nyokap elu sekalipun, nggak maksa elu untuk bisa nerima semua itu sekarang. Yang penting elu udah tau faktanya.”
“Kenapa Maya bukan cowok?” gerutu Rhein. “Padahal gue pengen banget punya kakak cowok.”
“Udahlah, Rhein. Daripada elu ngomel-ngomel nggak karuan, mending elu mandi sekarang. Mama sama Maya udah nunggu dari tadi. Gue sampe laper banget nih, nunggu elu nggak keluar-keluar dari kamar,” canda Al.
“Ogah. Gue mau di sini aja.”
“Ayolah,” bujuk Al. “Ato gue perlu kembaliin lagi barang ini ke tokonya?” tanya Al sambil menunjuk paper bag yang tadi ia bawa.
Rhein meraih paper bag dengan kasar. Ia membuka selotip yang merekatkan mulut paper bag itu, lalu mengeluarkan isinya. Ternyata itu sepotong gaun model A-line berwarna hijau muda. Ada sedikit lengkung terlihat di bibir Rhein. Ia menyukai gaunnya.
“Thanks, Al,” gumamnya hampir tak tertangkap pendengaran Al.
Al tersenyum. Dan, sebelum keluar kamar, ia sempat berkata, “Hei, Rhein. Kalo Maya itu laki-laki, mungkin dia nggak ngebolehin gue deket-deket sama elu.”
Pintu kamar tertutup. Ruangan kamar kembali senyap. Rhein masih memeluk gaun barunya. Tak sadar, selepas Al melontar kalimat terakhir, Rhein terus mengembang senyum. Tapi, ia sadar, otaknya menginginkan Al untuk beberapa alasan tertentu.
***
Angin dingin menghampiri balkon tanpa permisi, menerpa wajah Maya. Di sampingnya, Al duduk dengan sikap gugup dan canggung. Lelaki itu memainkan cangkir kopi, memutar-mutarnya di atas meja. Menyesapnya sedikit, lalu memainkan lagi cangkirnya.
“Mungkin Rhein butuh waktu lebih lama lagi.” Akhirnya Al memecah kesenyapan.
“Kamu sadar, kan, seharusnya obrolan kita ini bukan soal Rhein?!” sahut Maya.
“Sorry,” gumam Al.
“Ya, sudahlah. Mungkin kita harus melakukannya lain kali, Al,” ujar Maya sambil bangkit dari duduknya. “Aku juga belum siap buat ngobrol lebih banyak lagi.”
Maya menggeser pintu balkon dan masuk ke ruang tengah. Al masih diam dan memandang langit malam kota Bandung. Beberapa menit kemudian, ia memilih untuk kembali masuk ke ruang tengah.
Di dalam, Al mendapati pemandangan yang – ia pikir – seharusnya tidak terjadi. Maya dan Rosi duduk di sofa ruang tengah sambil menonton tayangan tivi kabel, sementara Rhein duduk di salah satu kursi tinggi di dapur sambil bersibuk ria dengan ponselnya. Al menggeleng. Mungkin memang belum saatnya, ujarnya dalam hati.
“Tante, Al pulang dulu,” pamitnya.
“Lho, kok buru-buru?! Tante belum sempat ngobrol banyak sama kamu, Al.”
“Lain kali aja, Tante. Ini udah hampir jam sebelas dan besok Al masih harus ngantor. Weekend nanti, Al ke sini lagi.”
“Ya, sudah. Lain kali aja kita ngobrol.”
“Gue ikut,” celetuk Rhein tiba-tiba. Kini ia sudah berada di dekat pintu utama.
“Ikut kemana?” tanya Al.
“Sampe parkiran bawah,” jawab Rhein.
“Nggak usah,” tukas Al.
Lalu, Rhein melempar tatapan aneh pada Al. Dan, Al langsung tahu, Rhein sedang ingin bicara dengannya.
“Oke.” Al pura-pura menyerah, sementara Rosi hanya menggeleng-geleng melihat tingkah Rhein.
“Obrolan kita tadi siang belum selesai,” kata Rhein sambil menunggu lift terbuka.
“Obrolan yang mana lagi?” Pintu lift terbuka, keduanya segera masuk. “Gue pikir, elu masih butuh waktu untuk nerima semuanya.”
Pintu lift tertutup. Rhein mendekat ke panel yang tertanam di dinding lift. Telunjuknya dengan santai menekan tombol ‘hold’.
“Rhein! Ngapain elu pencet tombolnya?”
Rhein mendekat. “Buat nerusin obrolan kita yang terpotong,” jawab Rhein.
Al merasa Rhein berdiri terlalu dekat, jadi ia mundur selangkah. Tapi, Rhein kembali mendekat. Al mundur lagi dan Rhein kembali memperpendek jarak. Begitu seterusnya, sampai Al tak punya ruang lagi untuk mundur.
“Call me evil. Tapi, emang seharusnya gue nggak punya kakak perempuan. Maya boleh aja ada di dunia ini, tapi seharusnya dia bukan pacar lu. Dan, seharusnya juga, gue bisa nikah sama lu.” Rhein mulai meracau.
“Rhein! Sadar!” Al menggoncang-goncangkan bahu Rhein.
Rhein langsung menepis kedua tangan Al dari bahunya. “Gue sadar, Al!” seru Rhein, suaranya bergetar.
“Ya, kalo elu ngerasa sadar, pencet lagi tombolnya.”
“Gue… nggak mau…,” bisik Rhein.
Wajah Rhein makin dekat dengan wajah Al. Rhein memejamkan mata dan membiarkan insting menuntunnya. Dan, benar saja, insting remaja telah menuntunnya mendapatkan apa yang ia inginkan. Ia tidak peduli apa reaksi Al. Ia hanya ingin terus dekat dengan Al. Namun, sepanjang lumatan-lumatan itu, Rhein tidak merasakan penolakan dari Al. Ia merasa, memang hal inilah yang seharusnya terjadi.