Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Kisah Al dan Maya - Chapter Seventeen

29 Desember 2012   09:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:51 298 3

previous chapter

Nyonya Berta masih saja bergeming. Di hadapannya, Al dan Maya juga melakukan hal yang sama. Tapi, mereka diam karena menunggu Nyonya Berta mengatakan sesuatu.

“Keluar!” perintah Nyonya Berta kepada keduanya.

“Tapi, Ma. Mama belum menjelaskan siapa yang bersama Mama di foto ini.”

“Itu tidak perlu. Tidak penting,” balas Nyonya Berta.

“Penting buatku, Ma. Penting juga buat Maya. Apa Mama tidak melihat wajah di foto ini?”

“Keluar!” ulang Nyonya Berta. Kali ini dengan suara yang lebih tegas.

Al menatap ibunya dengan rasa kecewa. Dalam hati ia berharap dugaannya soal wajah pada foto itu benar adanya, bahwa gadis itu adalah ibu kandung Maya, karena memang wajah keduanya hampir serupa. Sementara itu, Maya hanya bisa bersembunyi di balik punggung Al, menunduk, dan hampir tak berani menatap wajah Nyonya Berta. Di dalam hati Maya juga terbesit satu dugaan yang sama. Sebuah dugaan yang kali ini berkembang menjadi harapan.

“Ayo, kita keluar saja, Maya,” ajak Al sambil menggandeng tangan kekasihnya.

Maya menuruti ajakan Al. Ia kembali ke kamarnya ditemani Al. Mereka duduk di tepian ranjang dengan berteman hening. Keduanya tidak tahu harus bicara apa. Masing-masing menyimpan banyak kalimat di dalam benak mereka. Yang jelas, apa yang mereka pikirkan masih seputar wajah pada foto tua tadi, yang sekarang masih berada di tangan Al.

“Aku ingin pulang saja, Al.” Maya mengulangi keinginannya yang tadi pagi ia utarakan pada Al. “Antarkan aku pulang besok pagi,” pintanya.

Al memalingkan wajah ke arah Maya. Tanpa berpikir lagi, ia mengangguk, menyanggupi permintaan Maya. “Ya. Kita akan pulang besok pagi,” ucapnya. “Lebih baik kau tidur saja sekarang. Jangan pikirkan apa-apa dulu. Biarkan Mama menjelaskan jika memang ia ingin menjelaskan.”

Maya mengangguk.

Al memandang lagi dua objek manusia pada foto tua itu. Lalu, ia tersenyum, seolah ia sedang berhadapan dengan kabar baik.

“Kenapa senyum-senyum gitu, Al?” Maya keheranan.

“Nggak ada apa-apa. Tidurlah.” Al mencium kening Maya, lalu pergi meninggalnya sendiri di kamar.

Setelah Al menutup pintu, Maya membaringkan tubuhnya di ranjang. Ia menarik selimut sampai sebatas dada. Hawa Lembang malam ini terasa lebih dingin. Ia mencoba memejamkan mata, walaupun pikirannya masih saja mengembara kemana-mana, terutama foto tua itu.

Jika memang benar wanita itu adalah ibuku, dekatkan dia padaku. Aku ingin melihatnya dari dekat, pinta Maya dalam hati. Tak lama, ia pun terlelap.

***

Suara binatang malam masih sayup terdengar, adzan subuh belum juga rampung dikumandangkan, namun Maya sudah benar-benar terjaga dari tidurnya. Tidak, sebenarnya ia tidak benar-benar tidur. Ia memang terlelap tak lama setelah Al meninggalkannya di kamar. Tapi, tak lama setelah itu, tidurnya jadi tidak nyenyak. Beberapa kali ia terbangun karena mimpi buruk. Tiga kali wajah pada foto tua itu menyambangi bunga tidurnya. Sungguh bukan mimpi yang Maya harapkan.

Usai adzan subuh berkumandang, ia siap dengan sajadah dan mukena. Menit-menit berikutnya, hanya ada ia dan Penciptanya.

Satu jam berlalu, terdengar suara ketukan pintu. Maya masih terduduk di atas sajadah. Beberapa bagian mukenanya basah oleh air mata. Ia berdiri, lalu mendekati pintu. Ternyata Al yang datang.

“Oh, maaf. Aku mengganggu, ya?” tanya Al.

“Enggak, kok. Aku sudah selesai.” Maya membuka mukenanya dan melipat rapi kain putih gading itu. “Ada apa, Al?”

“Mama belum bangun. Jadi, kita tunggu Mama bangun, terus kita pamit ke Bandung. Gimana?”

“Iya, nggak apa-apa.”

“Bu Sari!”

Tiba-tiba terdengar teriakan dari ruang tengah. Al keluar dari kamar Maya dan mendapati ibunya sudah duduk di sofa ruang tengah. Maya pun ikut mengintip dari balik punggun Al. Tak lama, Bu Sari muncul dari bagian belakang rumah dengan setengah berlari.

“Ada apa, Nyonya?”

“Buatkan kopi susu untuk saya. Dan, buatkan juga dua cangkir teh hangat.”

“Eng.... Tapi, Nyonya....” Bu Sari tidak jadi meneruskan kalimatnya.

“Tapi, apa?”

“Nyonya, kan, sudah lama tidak minum kopi.”

“Bukan urusanmu. Buatkan saja!” perintah Nyonya Berta pada wanita berumur awal enam puluhan itu.Bu Sari mengangguk dan segera beranjak ke dapur.

Bu Sari, seorang asisten rumah tangga yang sudah puluhan tahun bekerja untuk keluarga Berta. Bahkan, perempuan asal Ciamis itu sudah bekerja di sana sejak Berta masih sekolah. Umurnya memang sudah lebih dari enam puluh tahun, tapi fisiknya tak kalah dengan wanita umur empat puluhan. Ia masih bisa mengerjakan banyak hal di rumah ini. Walaupun ia kadang mendapat omelan dari Nyonya Berta, seperti yang terjadi pagi ini, tapi majikannya itu sudah menganggapnya sebagai bagian dari keluarga. Tidak hanya Bu Sari. Beberapa asisten rumah tangga yang lain, supir, dan juga tukang kebun, diperlakukan layaknya keluarga di rumah ini.

Nyonya Berta melihat Al dan Maya sedang berdiri di ambang pintu kamar tamu. “Sedang apa kalian berdiri di situ? Duduk!” perintahnya dengan tegas.

Al dan Maya menuruti apa perintah Nyonya Berta. Keduanya duduk berdampingan di sofa. Nyonya Berta menatap mereka bergantian. Awalnya, air muka Nyonya Berta terlihat tegang, seperti seorang guru yang menangkap basah siswanya menyontek saat ujian. Namun, ketika Nyonya Berta berlama-lama memandang wajah Maya – Maya sendiri agak menunduk, menghindari matanya bertemu dengan mata Nyonya Berta – air mukanya berubah jadi agak tenang. Bahkan, ia bisa melempar senyum samar kepada Bu Sari ketika wanita tua itu selesai meletakkan minuman di meja.

“Minumlah dulu,” kata Nyonya Berta – dengan nada tenang – pada Al dan Maya. Sementara ia sendiri meraih cangkir merah marun yang berisi kopi susu hangat.

Lagi, Al dan Maya hanya bisa menuruti tanpa berani menanyakan apa-apa. Keduanya menyesap sedikit teh hangat yang disajikan Bu Sari, lalu meletakkan kembali cangkirnya di meja hampir bersamaan.

“Maya. Ikut aku ke kamar,” ujarnya sambil berdiri. “Ada sesuatu yang ingin kupastikan.”

Maya menengok ke arah Al. Ia ragu untuk menuruti permintaan Nyonya Berta. Tapi, Al mengangguk pelan, tanda ia meyakinkan Maya bahwa tidak akan terjadi apa-apa.

Sementara Maya dan Nyonya Berta berada di kamar, di ruang tengah Al menanti dengan cemas. Keringat dingin muncul di pelipisnya. Padahal hari masih sangat pagi, belum layak untuk berkeringat. Beberapa menit kemudian, pintu kamar terbuka. Maya keluar dari kamar diikuti Nyonya Berta. Keduanya kembali duduk ke tempat semula.

“Apa yang terjadi di dalam sana, Ma?” tanya Al tak sabar.

“Ceritakan saja, Maya,” ujar Nyonya Berta.

“Ehm....” Maya menggigit bibir bawahnya. Dan, Al makin tak sabar mengetahui apa yang baru saja terjadi di kamar.

“Tidak apa-apa. Ceritakan saja,” lang Nyonya Berta.

“Ng.... Mama menanyakan, apa aku punya tanda lahir di paha sebelah kiri.”

“Lalu?”

“Ya. Aku memang punya tanda lahir itu,” jawab Maya.

“Dan, apa hubungannya dengan wajah pada foto tua itu, Ma?”

Nyonya Berta tidak segera menjawab. Ia kembali menyesap kopi susu yang mulai dingin. “Kaitannya... sebuah hubungan darah.”

Al terkejut, sekaligus makin tidak mengerti maksud ibunya.

“Dua puluh dua tahun lalu,” Nyonya Berta mulai bercerita, “aku pernah memandikan seorang bayi perempuan. Bayi itu lahir tanpa ayah. Kalian pasti tahu artinya. Dan, pada tubuh bayi perempuan itu, ada sebuah tanda lahir berwarna biru pucat....”

“Dan, tanda itu ada di paha kiri,” potong Al.

“Lancang sekali kamu, Al,” kata Nyonya Berta. “Tapi, yah..., itu benar. Bayi itu adalah perempuan yang duduk di sampingmu sekarang.”

Al memandang Maya, masih dengan air muka tak percaya. Lalu, kembali bertanya pada ibunya, “Lalu, siapa perempuan di foto tua itu, Ma?”

“Dasar anak bodoh! Seharusnya kamu sudah bisa menyimpulkan sendiri, Al.”

“Perempuan itu... ibuku, Al,” kata Maya dengan tenang, diiringi dengan senyum yang mengembang sempurna. Sejenak Al seolah melihat senyuman pada wajah Maya.

“Ibumu? Benarkah?!”

Maya mengangguk.

“Namanya Rosi. Lengkapnya Rosi Meilana. Anak dari Januar Saputra dan Ratna Dumilah. Kedua orang itu sahabat kakek dan nenekmu, Al.”

“Jika Mama sudah tahu siapa Maya, kenapa sebelumnya Mama menolak Maya?”

“Yah..., karena Mama belum berpikir sampai situ. Kamu tahu, di dunia ini banyak manusia berwajah mirip. Kalau wajah seperti Maya, mungkin ada ratusan atau ribuan orang yang memilikinya. Maaf, tapi memang wajah seperti itu sangat pasaran.”

“Bahkan ketika melihat foto tua itu, Mama masih menganggap wajah Maya pasaran?”

“Ehm.... Ya, itu benar. Hanya satu yang bisa meyakinkan Mama bahwa Maya adalah anak dari Rosi. Tanda lahir itu.”

“Wajah pasaran itu alasan klise, Ma. Seharusnya Mama langsung tahu begitu melihat Maya.”

“Ah, kamu ini benar-benar keras kepala, Al. Persis ayahmu. Jelas, kan, kamu tidak bisa menyetir pikiran orang lain. Walaupun wajah mereka mirip, tapi hanya tanda lahir itu yang bisa memastikan, Al. Buka pikiranmu!”

Selesai mencecar Al, Nyonya Berta kembali mengambil cangkir kopinya dan menghabiskan cairan berwarna coklat pekat itu.

Maya sedari tadi hanya diam. Ia tidak berani menyela percakapan menegangkan antara Al dan ibunya. Selain itu, ia masih tidak percaya dengan apa yang ia dengar dari keduanya. Segalanya masih begitu samar.

“Sekarang semuanya sudah jelas,” ucap Al. “Apa Mama masih menolak Maya?”

“Lebih baik kamu jangan tanya soal itu dulu, Al. Itu urusan nanti.”

“Ehm.... Kalau boleh tahu,” Maya memberanikan diri untuk bertanya, “di mana Ibu Rosi sekarang tinggal, Ma?”

“Hmm.... Sudah lama aku tidak berkomunikasi dengan ibumu,” jawab Nyonya Berta.“Kalau tidak salah ingat, terakhir bertemu dia sekitar sepuluh tahun lalu, saat dia akan pergi ke luar negeri.”

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun