1 November
Dear, Diary. Kamu tahu sekarang tanggal berapa? Hahaha…. Maaf, aku agak konyol hari ini. Tentu saja kamu tahu karena sudah kutuliskan di atas. Yang ingin kutanyakan sebenarnya bukan itu. Tapi, apa kamu tahu, apa yang membuatku sedikit bahagia hari ini? Jelas kamu belum tahu itu. Baiklah, akan kuceritakan.
Tadi di kantor, aku dan teman-teman diberi kabar oleh Mas Doni, ketua kelompok kami, bahwa acara bulan depan di lapangan Renon sudah mendapat ijin langsung dari Gubernur Bali. Wah, akhirnya usaha kami selama lima bulan terakhir membuahkan hasil.
Beberapa hari yang lalu sempat berhembus isu sang gubernur tidak akan lagi memberi ijin kepada kami. Pasalnya, pada acara serupa dua tahun yang lalu, terjadi keributan antara beberapa tamu undangan dan sekelompok kecil masyarakat lokal. Awalnya dalam hati aku menyalahkan kelompok kecil itu. Mereka dengan kasarnya berusaha membubarkan kelompok kami dan merusak beberapa properti acara. Mereka bilang, kami tak layak muncul dihadapan mereka. Dan, mereka bilang lagi, orang-orang seperti kami hanya mengotori dan mencoreng reputasi tanah mereka. Beruntung, sekumpulan polisi beserta pecalang (polisi adat – pen) segera datang dan membubarkan kelompok kecil tak tahu aturan itu.
Namun, seiring berjalannya waktu, aku menarik keputusanku untuk menyalahkan mereka. Bagiku, mereka adalah sekumpulan manusia yang tidak tahu apa-apa dan belum terjamah pengetahuan mengenai kelompok kami. Jadi, kami tidak akan menuntut mereka karena perusakan itu.
13 November
Ada kejadian mengejutkan di kantor kali ini, D. Mas Doni tiba-tiba saja – tanpa memberitahukan kepada semua orang di kantor – membawa sekelompok orang-orang yang dua tahun lalu merusak acara kami. Oh, God! Walaupun aku bilang aku tidak akan menyalahkan mereka, tapi tetap saja, masih ada secuil kemarahan di sini, di hatiku.
Kami berkumpul di ruang pertemuan. Well, lebih tepatnya, kami lesehan di halaman belakang rumah kontrakan yang sudah bertahun-tahun kami jadikan kantor. Kami duduk dengan membuat lingkaran besar. Aku memilih duduk di sebelah mas Doni yang kali ini akan memberi penyuluhan bagi orang-orang itu. Tadinya Mas Doni menyuruhku karena memang tugasku di kelompok ini adalah memberi penyuluhan. Namun, kukatakan “Tidak!” dengan lantang di hadapan Mas Doni. Emosiku belum stabil jika harus berhadapan dengan orang-orang itu. Jadilah mas Doni yang turun tangan kali ini.
Aku duduk, sementara tunanganku itu berbicara di depan forum. Ehm, aku selalu mengagumi caranya berbicara di depan banyak orang seperti sekarang ini. Jujur saja, itu yang membuatku pertama kali tertarik padanya. Kulepaskan pandanganku dari wujud Mas Doni. Kalau tidak, mungkin aku berharap jam kerja lekas berakhir agar aku dan dia bisa segera sampai di rumah. Jadi, kuedarkan pandanganku ke kelompok orang yang diundang Mas Doni. Beberapa dari mereka adalah pria-pria paruh baya yang nampaknya punya pengaruh besar di lingkungan tempat tinggal mereka. Aku bisa melihat jelas di mata mereka, semuanya seolah bicara, “Titahku bukan untuk diabaikan”. Aku mulai membenci mereka, lagi. Sedangkan beberapa lainnya adalah pemuda-pemuda yang kupikir nantinya mereka akan menjadi penerus para pria paruh baya itu. Mata mereka sudah mulai belajar bagaimana harus bersikap: angkuh dan siap mencemooh kapanpun diperlukan.
Ah, sudahlah. Yang jelas diakhir pertemuan, salah satu dari pria paruh baya itu – nampaknya si pemimpin kelompok – menyampaikan permintaan maaf kepada Mas Doni. Pria itu bilang bahwa dua tahun yang lalu mereka tak tahu apa-apa tentang kami. Mereka hanya menganggap bahwa kami adalah sekumpulan makhluk pendosa yang tak layak diberi tempat lagi di dunia ini. Oh, begitu piciknya pikiran mereka!
28 November
Dua hari lagi, D. Dua hari lagi! Hahaha…. Kenapa aku jadi seperti seorang tahanan yang menunggu hari pembebasan bersyarat? Konyolnya diriku ini.
Hei…. Tapi, apa kau tahu, D, kenapa aku menyebut pembebasan bersyarat, bukannya pembebasan total? Karena rasa yang akan kami kecap nanti, sebuah kondisi yang namanya ‘bebas’, hanya bersifat sementara. Benar bahwa kelompok yang dua tahun lalu merusuh di acara kami sudah berjanji tidak akan mengganggu kami. Bahkan, mereka ingin tahu lagi lebih banyak tentang kami dan apa yang kami bawa dalam tubuh kami. Dulu, mungkin hanya mereka yang berani muncul. Tapi, tahun ini, aku takut akan ada lebih banyak lagi orang-orang yang muncul. Aku benar-benar takut, D!
1 Desember
Hai, D! Ternyata, ketakutanku tempo hari adalah hal yang tidak beralasan untuk dilakukan. Semuanya baik-baik saja, D. Acara kami berjalan lancar. Dan, sekarang aku sedang istirahat di tepi lapangan. Ini hanya beberapa menit menjelang tengah malam, namun teman-teman yang lain masih membereskan properti yang dipakai untuk acara tadi. Semuanya nampak bahagia di tengah rasa lelah yang menggunung di tubuh kami.
Seperti yang aku bilang tadi, D, acara kami berjalan tanpa ada gangguan sedikitpun. Kecuali, jika kau anggap gerimis adalah hal pengganggu yang harus digembar-gemborkan. Tidak! Kami tetap menari dan tertawa di tengah gerimis yang turun malam ini. Semua berbaur. Aku, teman-temanku, kelompok ini, kelompok itu, dan mereka yang bernama penduduk dunia. Mereka tidak peduli jika yang menari dan tertawa bersama mereka adalah seseorang dengan virus mematikan di dalam tubuhnya. Seperti pula aku yang tidak ambil pusing jika tunanganku adalah pria yang harus meminum ARV (anti retro viral – pen) sepanjang hidupnya. Aku dan dia sama-sama manusia yang punya hak hidup di dunia ini.
Intinya, aku senang jika harus berkali-kali berteriak, “1 Desember ini milikku, milikmu, dan milik kita semua”.
Memperingati Hari AIDS Sedunia