Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Kisah Al dan Maya - Chapter Four

30 Juli 2012   17:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:26 462 8

previous chapter

Sudah satu minggu, sejak pertemuan terakhirnya dengan Maya, kini Al kembali lagi ke kompleks pemakaman itu. Ia masih duduk dengan gelisah di balik kemudi Vios hitamnya dan menatap ragu sebuah rumah sederhana milik Pak Dahlan. Pintu rumah itu dibiarkan terbuka, menandakan rumah itu tidak kosong. Lalu pandangannya beralih ke pusara kekasihnya. Tidak ada yang berbeda di sana, masih bersih, seperti terakhir ditinggalkan. Rupanya ada yang membersihkan pusara itu selama satu minggu ini, pikir Al.

Sekarang masih pukul empat sore. Mendung menggantung di akhir bulan Desember. Meski tidak menghitam, tapi sedikit membawa hawa dingin. Al mengambil bungkusan plastik berisi bunga yang tadi dibelinya di dekat gerbang kompleks pemakaman. Ia keluar dari mobil lalu berdiri dan sekilas menengok ke rumah Pak Dahlan. Di teras rumah itu, Maya sedang berdiri di dekat pin tu rumah sambil memegang sapu. Begitu gadis itu sadar Al sedang menatapnya, ia langsung masuk ke dalam rumah.

Al menghela napas panjang. Sepertinya Maya belum mau bertemu denganku, pikir Al. Iapun melangkah menuju pusara kekasihnya.

Al berjongkok dan membuka bungkusan plastik. Ia menaburkan isi bungkusan itu merata ke pusara Maya. Lalu ia menengadahkan kedua tangannya dan mengucap doa dalam hati. Selesai berdoa, Al tidak langsung pergi. Seperti biasa, ia akan berlama-lama memandangi nisan kekasihnya. Ia akan membelai nisan itu seolah-olah benda itu adalah wajah wanita yang pernah menjadi tunangannya.

Tak lama kemudian, sesosok wanita bergaun kuning muda berdiri di samping Al. Al melihat dengan sudut matanya dan langsung paham siapa wanita itu.

“Apa kabarmu, Maya?” tanya Al. Matanya masih tak lepas dari nisan.

Maya tidak menjawab. Wanita itu ikut berjongkok di samping Al. Diambilnya beberapa kelopak mawar dari atas pusara. Lalu menaburkannya lagi ke atas pusara. Entah apa maksudnya, Al tidak mengerti.

“Kau tahu siapa yang selalu membersihkan pusaraku, Al?” tanya Maya.

“Tidak,” sahut Al singkat. Mungkin Pak Dahlan, kata Al dalam hatinya.

“Gadis itu yang melakukannya setiap pagi,” ujar Maya lagi.

Dahi Al berkerut. Lalu ia memalingkan wajah ke arah Maya dan mendapati sosok itu tengah tersenyum padanya. Ia melempar pandangan tak percaya pada sosok itu, seolah ingin mempertegas ketidakpercayaannya. Mungkin suara hatinya lantang berteriak ‘benarkah’. Dan Maya hanya mengangguk pelan, namun tegas.

“Tapi untuk apa? Itu bukan tugasnya,” kata Al. Ia melirik jauh ke arah rumah Pak Dahlan. Ia sedikit yakin, Maya sedang memperhatikannya dari balik kelambu jendela ruang tamu.

“Aku tidak tahu. Ia hanya membersihkan pusara ini. Tidak dengan yang lain.”

Lagi-lagi dahi Al berkerut. “Itu… aneh,” gumamnya.

“Tapi gadis itu terlihat tulus melakukannya,” ujar Maya.

Al diam. Ia sedang berpikir, kira-kira apa yang sedang terjadi di sini. Jemari tangan kanannya secara refleks memainkan benda bulat yang melingkar di jari manis tangan kiri. Lalu ia melihat benda itu. “Ya, Tuhan. Ternyata aku masih saja memakai cincin ini.”

“Lepaskan cincin itu, Al,” pinta Maya. “Semoga saja gadis itu belum menyadarinya.”

Al berpikir sejenak, lalu berkata, “Tidak bisa, Maya. Aku masih ingin memakainya. Bahkan aku tidak ingin melepasnya, walaupun nantinya aku akan hidup dengan wanita lain.”

“Itu namanya egois, Al. Lepaskan cincin itu. Simpan. Walau bukan berarti kau harus melupakan benda itu.”

Al melihat lagi cincin perak yang melingkar di jari manis tangan kirinya. “Memangnya kenapa jika aku masih ingin memakainya?” Pertanyaan Al begitu sederhana, tapi nadanya seperti tidak ingin dibantah. “Aku memang masih ingin memakainya. Apa itu salah?”

“Itu memang salah, Al. Pantas saja gadis itu masih meragukan dirimu,” ujar Maya. “Mungkin saja ia sudah menyadari keberadaan cincin itu di jarimu. Kau tidak bisa terus menerus hidup dengan masa lalu, Al. Kau harus ikhlas melepas diriku.”

“Bagaimana jika aku belum mau melepasmu?”

Grow up, Al. Kau tidak perlu bertindak seekstrim itu untuk membuktikan cintamu padaku. Aku yakin, cintamu begitu besar padaku. Dan itu tidak perlu kau buktikan dengan apapun lagi. Hargailah perasaan gadis itu, Al. Ia sedang menanti keseriusanmu untuk mencintainya dengan tulus.” Maya diam sejenak. “Lagipula, kau bukan lagi remaja ingusan yang baru mengenal cinta. Kau tahu cinta tidak hanya berasal dari satu orang. Maksudku…, kau tidak bisa terus menganggap kepergianku adalah sebuah kesalahan. Ini adalah takdir yang harus dijalani, Al. Kau harus memahami itu.”

Al tetap diam.

“Entahlah,” akhirnya Al bersuara. “Aku tidak yakin dengan diriku sendiri. Aku takut tidak bisa menjadi yang terbaik untuknya. Jujur saja, aku belum bisa berhenti memikirkanmu. Aku selalu melihatmu ketika melihat dia. Maksudku, wajah kalian memang berbeda. Tapi sorot mata dan cara gadis itu bicara, it’s just like you. Dan aku tidak bisa tidak teringat padamu. Lalu aku menjadi takut. Sangat takut jika nantinya aku hanya menyakiti hati gadis itu. Dia… rapuh, Maya. Memang bukan aku yang menjadikan dia seperti itu. Tapi tetap saja aku merasa bersalah.”

“Kau masih menginginkan aku berbahagia di alamku, kan, Al?!”

“Iya…, tapi….” Al tidak melanjutkan kalimatnya.

“Tapi apa, Al?” Maya menatap Al dan menanti jawaban pria itu.

“Aku rasa… aku tidak sanggup, Maya. Kebahagiaanku adalah ketika aku berada di dekatmu.”

“Itu artinya kau tidak ingin aku bahagia, Al….” Maya menangis. Wajah sendu dari sosok yang berpendar itu kini berhias air mata.

“Maafkan aku, Maya.” Al berucap lirih. Ia tertunduk, menekuni butir-butir tanah merah yang kini ternoda oleh air matanya sendiri.

“Aku selalu mencintaimu, Al. Bahkan sampai detik ini, ketika kita sudah berbeda dunia. Aku ingin melihatmu bahagia. Karena dengan itu, aku pun bisa merasa bahagia di tempatku saat ini.” Maya diam. Ia berdiri, lalu berkata lagi. “Cintailah gadis itu… seperti kau mencintaiku dahulu.”

Maya menghilang, dan Al masih saja bergeming di posisi yang sama, sampai ia terkejut sendiri oleh bunyi ponselnya. Ada pesan singkat masuk. Al merogoh saku kemeja dan mengambil ponselnya.

Apa kabar, Al? Besok aku akan berangkat ke Bandung untuk hadir di workshop penulisan cerpen. Gramedia yang punya hajat. Workshopnya sih lusa. Kalau kau tidak sibuk, kita sempatkan untuk bertemu ya. Ada banyak hal yang ingin kuceritakan padamu. Aku cukup lama berada di Bandung. Selesai workshop, aku ingin refreshing beberapa hari sebelum aku kembali bekerja. Mungkin juga aku akan main ke Dago. Besok aku berangkat dari Tasik sekitar jam dua siang. Sampai Bandung kira-kira jam lima sore. Doakan saja aku tidak terjebak macet. Oke deh, nanti aku hubungi lagi. Shinta.”

Pesan singkat yang tidak singkat, gumam Al dalam hati. Ia tidak sadar, bibirnya mengembangkan segaris senyum tipis.

Shinta adalah seorang teman lama. Ia bertemu dengan Shinta ketika ia masih aktif datang ke Tasik untuk mengadakan diskusi sastra di sela-sela kesibukan kantornya. Al pernah sangat dekat dengan Shinta. Namun itu sudah tiga tahun yang lalu, sebelum Al bertemu dengan Maya.

Ponsel Al berbunyi lagi, sebuah pesan singkat masuk.

Jangan tanya dari mana aku mendapatkan nomor barumu ini. Nanti pasti aku ceritakan. Oya, aku juga punya kejutan untukmu, dari seseorang yang pastinya sangat kau kenal. Don’t get curious. Hehehe…. See you soon, Al.

Al berdiri. Ia memasukkan kembali ponselnya ke saku kemeja. Raut wajahnya berubah, tidak lagi sesedih beberapa saat yang lalu. Ia berjalan dengan langkah mantap menuju mobilnya. Ia bahkan tidak menengok ke arah rumah Pak Dahlan. Padahal Maya sedang berada di teras rumah dan memandang heran ke arah Al.

***

Senin sore, Al masih berada di kantornya. Ia menimang-nimang ponselnya di tangan kiri. Matanya memperhatikan jam meja yang terletak di samping monitor. Lalu jari jempolnya dengan tekun menekan beberapa tombol di ponselnya. Tak lama kemudian, nada sambung terdengar.

“Halo,” sapa suara di ujung sambungan. Suara yang renyah dan ceria, pikir Al.

“Halo, Shinta,” balas Al.

“Hai, Al. Kau di mana sekarang? Aku baru saja sampai di hotel. Kau jadi kemari?”

“Ehm….” Lama Al berpikir.

“Kalau kau sibuk, aku tidak memaksa kok.” Suara Shinta kembali terdengar.

“Tidak. Pekerjaanku hari ini sudah selesai.” Al diam lagi. Ia seperti menimbang-nimbang kalimat yang ingin ia ucapkan. “Kau menginap di hotel apa? Barangkali kita bisa bertemu malam ini. Aku benar-benar penasaran dengan kejutan yang kau janjikan dua hari lalu.”

--- bersambung ---

next chapter

Sumber gambar angel on forest, klik image.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun