Sekar sadar, ia telah mengacaukan rencananya sendiri. Awalnya ia ingin membicarakan perihal kepergiannya. Tapi rupanya Citra tidak ingin pembicaraan itu diteruskan. Citra berusaha menerima apapun keputusan yang ia buat, walaupun sesungguhnya ia tahu, adiknya sangat sedih.
Malam ini menjadi malam yang cukup panjang. Ia kembali bergulat dengan pikirannya sendiri, menimbang-nimbang lagi tentang segala sesuatunya. Dan ia sampai pada keputusan akhir, ia memang harus pergi.
Pagi ini menjadi pagi terakhir Sekar bisa menghirup udara segar di Rangkat. Esok, ia akan berada di tempat lain yang jauh dari Rangkat, jauh dari para sahabat dan juga adiknya. Mendadak, ia sudah sangat merindukan Rangkat. Merindukan suasana pasar malam Rangkat, merindukan tanaman jepun di Taman Rangkat, dan… merindukan seseorang yang dulu sempat mewarnai hari-harinya di Rangkat.
Jarum jam baru menunjuk pukul tujuh pagi ketika Sekar sampai di stasiun Rangkat. Kereta jam delapan nanti akan membawanya menjauh dari Rangkat menuju sebuah kota besar. Di sana, ia akan berjuang lagi dari titik terendah untuk menggapai segalanya. Terkadang masih terselip rasa penyesalan karena telah memilih jalan ini. Tapi hidup harus terus memandang ke depan. Apa yang sudah terjadi satu detik yang lalu, tidak boleh disesali.
Kurang sepuluh menit dari jam delapan pagi, kepala stasiun mengumumkan bahwa kereta yang menuju Jakarta akan terlambat datang sekitar dua puluh menit.
Sekar menghela napas panjang. Ada saja hal yang membuat perjalanan ini lebih menantang, pikirnya. Ia mengambil ponsel dari tas tangannya. Sebelumnya, sengaja ia mematikan dering ponselnya agar ia tak perlu menjawab telepon atau pesan singkat dari siapapun. Sebab ia yakin, paling tidak, satu orang akan mencegah kepergiannya kali ini. Dan itu pasti adiknya sendiri, tidak mungkin orang lain.
Ada dua pesan singkat dan satu panggilan tak terjawab yang masuk ke ponsel Sekar. Ia membuka pesan pertama yang tak lain dari Mommy.
‘Sekar…. Mom pesan kripik singkong lima bungkus ya. Tolong antar ke rumah Mom nanti sore jam tiga. Itu buat suguhan arisan bulanan. Makasih ya.’
“Uh, maafkan aku, Mom,” jawab Sekar dalam hati.
Pesan singkat kedua datang dari Citra. Dan satu panggilan tak terjawab itu pun dari Citra.
‘Great!!! You’re leaving now!!! Aku harap mbak masih ingat jalan pulang nantinya. Itu pun kalau memang mbak berencana untuk kembali ke Rangkat. Good luck for you and your love adventure.’
“Maafkan aku, Adikku. Tak apa kalau kau jadi membenciku sekarang. Aku yakin, suatu hari kau akan mengerti segalanya.”
Sudah jam delapan lewat sepuluh menit dan kepala stasiun baru saja mengumumkan bahwa kereta menuju Jakarta akan tiba kira-kira lima menit lagi. Sekar sudah bersiap-siap di tepi jalur satu, jalur di mana kereta menuju Jakarta itu akan melintas.
“Sekar!!!”
Tiba seseorang memanggilnya dari kejauhan. Sekar melihat ke arah datangnya suara. Ia melihat Bang Chevil di pintu masuk peron. Pria itu tertahan oleh petugas stasiun karena tidak bisa memiliki tiket untuk masuk ke peron.
“Tolong jangan pergi dulu,” pinta Chevil dengan memohon.
“Pulanglah, Bang. Sebentar lagi keretaku datang. Percuma kau berusaha menahanku,” sahut Sekar setengah berteriak.
Tiba-tiba seorang pria lain datang dan langsung meminta petugas yang menjaga pintu peron untuk mengijinkannya masuk. Petugas itu menurut saja, bahkan terlihat tunduk pada tatapan pria itu. Tanpa pikir dua kali, Chevil pun langsung mengikuti pria itu memasuki peron stasiun.
Sekar terkejut bukan main. Sekarang ada dua pria di hadapannya. Seolah tak percaya, siapa yang memberi tahu perihal kepergiannya kepada orang lain. Kalau kepada Chevil, ia tidak heran, karena kejadian di Taman Rangkat kemarin membuat pria itu tahu rencana kepergiannya. Tapi pria yang satunya lagi…, Sekar yakin, pasti Citra yang memberi tahu pria itu.
“Sedang apa Mas Hans di sini?” cecar Sekar.
“Tidak ada. Hanya sekedar inspeksi rutin seorang kepala desa terhadap fasilitas publik yang berada di wilayah kewenangannya,” jawab Hans dengan tenang. “Dan kau sendiri… sedang apa di sini? Kau berencana pergi ke luar Rangkat?” Hans melirik ke koper Sekar.
“Ehm… eh… anu…,” Sekar tergagap, tak mampu menjawab pertanyaan dari Hans.
Lalu Hans melihat Chevil telah berdiri tak jauh darinya.
“Eh…, ada Bang Chevil juga rupanya. Ada perlu apa di stasiun ini, Bang? Berencana membuka cabang kedai ketoprak di sini?!”
Chevil tidak peduli apa yang dibicarakan Hans. Ia hanya fokus dengan rencana awalnya, yaitu mencegah kepergian Sekar. Ia meraih tangan wanita itu dan memohon padanya untuk tidak meninggalkan Rangkat.
“Kita bisa bicarakan segalanya dengan baik-baik, Sekar. Tolong, kau jangan pergi. Banyak warga Rangkat yang masih membutuhkanmu.”
“Lalu…, jika mereka sudah tidak membutuhkanku, aku boleh pergi?! Itu tidak adil, Bang. Kapan aku boleh memiliki waktu untuk diriku sendiri?”
“Eng…. Kalian berdua sedang membicarakan apa?” tanya Hans keheranan.
“Aku…. Aku yang akan… menjaga jepunmu… mulai saat ini. Aku bersedia,” ujar Chevil dengan mantap.
“Jepun?! Tunggu dulu!!! Apa-apaan ini?! Mengapa dia boleh menjaga jepunmu, Sekar? Bukankah aku yang seharusnya melakukan itu?!” cecar Hans.
“Pertimbangkan hal itu, Sekar. Aku sanggup menjaga jepunmu,” sahut Chevil lagi.
“Tidak, Sekar!!! Itu sudah pasti hanya aku yang sanggup melakukannya,” potong Hans.
Sekar bingung menanggapi perkataan dari dua pria di hadapannya. Manakah yang harus ia dengarkan? Sementara suara peluit lokomotif sudah terdengar mendekat ke arah stasiun. Ia harus segera mengambil keputusan. Apakah ia harus menanggapi dua pria di hadapannya? Ataukah ia hanya perlu mengangkat kopernya dan segera berdiri di tepian jalur satu untuk menanti keretanya?! Sejenak ia sangat menginginkan dirinya tidak sedang berdiri di tempat ini sekarang.
“Sekar….”
Chevil menyadarkan lamunan Sekar.
“Baiklah. Aku tidak jadi pergi dari Rangkat.”
“Syukurlah. Sekarang kita bisa ke kantor desa. Kita bicara di sana saja,” ujar Hans.
“Lebih baik kau kuantar pulang, Sekar. Kau pasti butuh istirahat,” sahut Chevil hampir berbarengan dengan Hans.
“Stop!!! Tidakkah kalian berdua sadar bahwa kalian lebih mirip bocah lelaki umur lima tahun yang berkelahi karena berebut sebatang lollipop?! Well…, excuse me. Aku bukan sebatang permen.” Sekar berhenti sejenak untuk mengambil napas panjang. “Begini saja,” sambungnya lagi, “aku akan membuat persaingan ini menjadi sehat untuk kalian berdua. Aku punya tiga permintaan yang perlu kalian kerjakan. Siapa saja di antara kalian berdua bisa memenangkan persaingan ini, dialah yang berhak menjaga jepunku.”
“Baiklah. Aku pasti bisa memenangkannya,” ujar Hans sesumbar.
“We’ll see…. Sebagai tantangan pertama, aku minta pukul satu siang nanti, kalian berdua membawakan segelas jus favoritku ke rumah. Satu point dipertaruhkan. Aku tunggu kehadiran kalian di rumahku.”
Sekar beranjak dari hadapan kedua pria itu sambil membawa kopernya. Bersamaan dengan itu datanglah rangkaian kereta yang sebelumnya akan ia naiki.
--- bersambung ---