Pagi hari, selepas sholat subuh, Pak Rohim pamit kepada istrinya yang sedang sibuk mencuci pakaian di sumur belakang rumah. Ia sengaja berangkat lebih pagi hari ini. Kemarin ia mendapat kabar dari Mistam, katanya ada bongkaran di proyek yang berada di bypass Ngurah Rai. Kalau memang kabar itu benar, maka Pak Rohim berharap dirinya bisa mendapat rejeki sedikit lebih banyak dari hari-hari biasanya.
“Bu, aku berangkat kerja dulu ya. Doakan aku biar dapat duit banyak,” ujar Pak Rohim kepada istrinya yang sedang menimba air.
“Lho, Pak. Kok pagi-pagi sekali?! Bapak udah sarapan?”
“Ah, ndak usah, Bu. Nanti aku makan di proyek saja. Kemarin Mistam bilang ada bongkaran besar di by pass.”
“Tapi bapak tetep harus sarapan, biar punya tenaga lebih. Kan barusan bapak bilang bongkarannya besar. Nanti kalo bapak kecapekan gara-gara belum sarapan, kerjaan bapak bisa diambil orang, pak.”
Bu Ana, istri Pak Rohim, menghentikan kegiatan mencuci baju dan menghampiri suaminya. Dipandanginya wajah pria yang sudah hampir dua puluh tahun menjadi suaminya. Ia melihat banyak sekali gurat-gurat di wajah suaminya, yang menandakan sudah banyak pula kepedihan hidup yang dirasakan.
“Ada apa, Bu?”
“Ndak ada apa-apa, Pak. Ayo, sarapan dulu. Aku sudah siapkan nasi goreng kesukaan bapak.”
Pak Rohim tersenyum. Sekop yang sedari tadi digenggam di tangan, kini diletakkan kembali di lantai dapur. Ia duduk di kursi kayu tua dan menghadap ke arah meja kecil yang berfungsi sebagai tempat menaruh makanan dan berbagai bumbu dapur. Istrinya menyodorkan piring kosong yang bersih dan sebuah sendok alumunium.
Pak Rohim mengisi piringnya dengan nasi goreng dan seiris telur dadar. Sedangkan istrinya hanya menemani di sampingnya.
“Pak, apa tahun ini kita bisa lebaran di kampung?”
“Mudah-mudahan bisa, Bu. Doakan saja, rejekiku lancar. Walaupun kecil-kecil jumlahnya, tapi kalo kita bisa ngumpulin, jumlahnya akan jadi besar. Lagipula, menurutku, lebaran di mana saja ndak masalah. Yang penting puasa kita bener, ibadah yang lain juga dikerjakan.”
“Ya, tapi ndak enak juga, pak, kalo ndak ketemu sama keluarga.”
“Bu. Buat apa kita membela untuk bertemu keluarga yang selalu merendahkan kita? Aku tau, Bu, mereka itu cuma pura-pura bersikap manis di depan kita. Tapi di belakang kita, mereka itu ngenyek.”
“Mosok sih, Pak? Siapa yang bilang, Pak?”
“Memang ndak ada yang bilang langsung. Tapi omongan kayak gitu aku denger langsung dengan telingaku.”
“Siapa, Pak? Apa salah satu keluargaku?”
“Ah, pokoknya ada lah. Aku males mbahas itu. Sudah ya, Bu. Aku berangkat dulu. Paling si Mistam udah nunggu aku di jalan besar.”
Pak Rohim minum segelas air yang disediakan istrinya. Lalu mengambil kembali sekopnya dan keluar lewat pintu depan.
Bu Ana tidak bisa menahan suaminya lebih lama lagi. Sebenarnya ia penasaran, siapakah yang telah menghina suaminya. Apa karena pekerjaannya hanya sebagai buruh bongkar muat? Bu Ana jadi sedikit cemas memikirkan hal itu. Lalu ia kembali ke belakang rumah dan meneruskan mencuci pakaian.
Pak Rohim berjalan dari rumahnya menuju jalan raya sesetan. Jaraknya sekitar 200 meter, melewati beberapa rumah dan bangunan kos-kosan.
Tempat Pak Rohim tinggal bersama keluarganya bukanlah tempat yang bagus, malah cenderung masuk ke dalam kategori kawasan kumuh. Dinding dari batako tanpa plester, lantainya gabungan dari beberapa jenis ubin dan dipasang asal, serta sanitasi dan drainase yang buruk.
Pak Rohim tidak keberatan tinggal di tempat seperti itu. Pendapatannya tidak mencukupi jika harus menyewa tempat yang sedikit lebih baik dari ini. Beruntung, Rosid, anak Pak Rohim satu-satunya, mendapat beasiswa dari sekolahnya.
Rosid sekarang duduk di kelas lima sekolah dasar. Letaknya tidak terlalu jauh dari rumah, sehingga Rosid bisa berjalan kaki menuju sekolah. Rosid termasuk anak yang cerdas dan selalu masuk jajaran lima besar di kelasnya. Oleh karena itu, ada beberapa guru yang iba dan membebaskan Rosid dari seluruh biaya sekolah.
Pak Rohim tiba di jalan besar dan melihat Mistam sudah menunggu dengan sepeda motornya.
“Ayo, Pak. Nanti kita ketinggalan tarikan pertama.” Mistam menyerahkan helm untuk dipakai Pak Rohim.
“Iya, iya,” balas Pak Rohim sambil mengenakan helm.
Pak Rohim menumpang dengan motor Mistam menuju jalan bypass Ngurah Rai, tempat mereka biasa menunggu truk-truk yang akan menyewa jasa mereka.
Pak Rohim dan Mistam sampai di jalan bypass Ngurah Rai. Mereka berhenti di warung di tepi jalan tersebut. Warung itu milik Bu Kadek, orang asli Karangasem. Di warung itu, Pak Rohim dan Mistam biasa menunggu truk-truk yang akan lewat.
“Udah banyak yang lewat, To?” tanya Pak Rohim kepada Yanto.
“Udah dua kali, Pak. Yang pertama cuma butuh dua orang aja. Jadi si Karni sama Omen yang berangkat,” jawab Yanto.
“Terus yang kedua?” tanya Mistam.
“Truk yang kedua baru semenit lalu jalan. Itu malah cuma minta satu orang aja. Kata supirnya, di proyeknya udah ada tiga orang, cuma kurang satu.”
“Siapa yang dibawa?” tanya Pak Rohim.
“Si Yadi.”
“Abis ini siapa lagi yang ngantri depanku?” tanya Mistam.
“Ndak ada, cuma aku,” jawab Yanto.
“Ya, mudah-mudahan nanti kita bisa diangkut bertiga. Sabar aja,” ujar Pak Rohim.
“Kayak’e proyekan lagi sepi yo, Pak. Udah dari kemaren, sehari cuma dapat satu kali aja,” ujar Yanto.
“Lahan yang dipake mbangun kan makin sempit, To. Wajar lah kalo makin ke sini makin sepi proyeknya. Apalagi sekarang musim ujan. Jarang yang mau ngerjakan proyek pas musim ujan,” kata Pak Rohim. “Lha kalian berdua masih mending, tiap hari bisa dapet tarikan walaupun cuma satu kali. Sedangkan aku, ndak bisa tiap hari dapet. Dua hari kemaren, malah ndak dapet sama sekali. Apa mungkin aku ini udah tua, jadi orang menganggap aku ndak punya tenaga?!”
Yanto dan Mistam hanya diam saja medengar perkataan Pak Rohim. Memang benar apa yang Pak Rohim katakan. Mereka berdua jauh lebih beruntung dibandingkan Pak Rohim. Mereka berdua masih hidup sendiri, jadi jumlah uang yang didapat masih bisa dikatakan cukup untuk ukuran orang bujang.
“Pak Rohim,” panggil Bu Kadek.
“Ya, Bu Kadek. Ada apa?” jawab Pak Rohim.
“Utang yang seminggu ini mau dibayar kapan? Saya butuh buat modal warung.”
“Iya, Bu. Mudah-mudahan hari ini saya dapat tarikan besar. Nanti langsung saya lunasi. Berapa totalnya, Bu?”
“Rp 34.000, Pak.”
Pak Rohim agak terkejut mendengar jumlahnya. Tapi ia tidak berani menanyakan lagi. Semoga saja Bu Kadek memang tidak salah menghitung, ujar Pak Rohim dalam hati.
“Ya semoga nanti sore bisa langsung saya lunasi, Bu.”
Pak Rohim kembali menatap jalan aspal yang ada di hadapannya. Puluhan ribu kendaraan dari berbagai jenis melewati jalan besar itu setiap hari. Kebanyakan adalah mobil pribadi yang termasuk dalam kategori kendaraan mewah. Kesenjangan sosial di kota Denpasar memang masih mencolok. Dan kondisi perekonomian yang berlangsung saat ini membuat orang kaya bertambah kaya dan yang miskin semakin terpuruk nasibnya.
Pak Rohim hanya kasihan kepada istri dan anaknya. Ia merasa tidak bisa membahagiakan kedua orang yang ia kasihi ini. Nominal uang paling besar yang pernah ia berikan kepada istrinya adalah lima puluh ribu rupiah. Sekali lagi ia beruntung, istrinya adalah orang yang cermat dalam mengolah uang. Walaupun hidup miskin, istrinya tidak mau berhutang jika membeli sesuatu di warung.
“Itu, Pak. Ada yang datang satu,” ujar Mistam sambil menunjuk ke arah truk yang masih agak jauh posisinya.
“Tanyakan ke supirnya. Butuh berapa orang?”
Kini truk itu sudah berhenti tepat di hadapan mereka bertiga.
“Berapa orang?” tanya Mistam.
“Tiga aja,” jawab kernet truk.
Pak Rohim, Mistam, dan Yanto menaiki bak truk.
Dalam hati, Pak Rohim bersyukur sepagi ini sudah dapat tarikan. Ia masih belum tahu di mana letak proyeknya. Itu bukan masalah. Memang buruh bongkar muat seperti dia, tidak pernah diberi tahu lokasi proyeknya.
“Kira-kira proyeknya di mana ya, Pak?!”
“Ya liat aja, mau dibawa ke mana kita ini,” jawab Pak Rohim.
Truk yang Pak Rohim naiki berjalan ke arah selatan. Melewati daerah Kuta, Tuban, dan kini memasuki kawasan bukit Ungasan, tempat kampus Universitas Udayana berdiri dengan megahnya.
Ketika melewati deretan bangunan kampus, Pak Rohim sempat membayangkan seandainya Rosid, anaknya, dapat menempuh pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi. Tentu Pak Rohim akan berbangga hati. Dengan begitu, Rosid tidak perlu lagi mengalami pahitnya hidup menjadi orang miskin. Pak Rohim tidak akan meminta imbalan apapun dari Rosid jika kelak anak itu berhasil. Rasa bangga sudah cukup memuaskan batin Pak Rohim.
Setelah melewati Kampus Udayana, truk juga melewati Kampus Politeknik, dan melambat ketika sampai di sebuah pertigaan. Truk berbelok ke kiri. Lalu kembali melaju, melewati tempat wisata Garuda Wisnu Kencana, atau yang lebih dikenal dengan sebutan GWK.
“Kayak’e kita mau dibawa ke daerah Pecatu, Pak Rohim,” ujar Yanto.
“Belum tentu, To,” balas Mistam. “Mungkin aja langsung bablas Uluwatu.”
“Wah, yo repot kalo ke Uluwatu. Lha nanti kita mbalik ke warung naik apa?” tanya Yanto.
“Ah, sudah.... sudah.... Nanti biar aku yang bicara sama supirnya. Siapa tau kita bisa numpang lagi. Paling gak sampai daerah yang ada angkutan umum. Di perapatan kampus, dekat Mc. Donald itu kan ada angkutan umum lewat.”
“Oh iya, Pak. Ada mobil elf yang lewat,” sahut Mistam.
Truk sudah memasuki daerah Pecatu. Namun belum ada tanda-tanda kendaraan ini akan berhenti. Ternyata truk memang terus melaju sampai memasuki kawasan Uluwatu, namun masih di luar kawasan Pura Uluwatu.
Pak Rohim, Mistam, dan Yanto turun dari truk. Lalu ada seorang pria berumur sekitar empat puluh tahunan menghampiri mereka.
“Saya mandor di sini. Saya akan menjelaskan tugas kalian. Itu yang di sana puing bekas bangunan ruko,” kata sang mandor sambil menunjuk ke arah tumpukan puing-puing di belakangnya. “Ruko itu tidak punya IMB, jadi sama Pak Camat disuruh bongkar. Itu puing sudah ada yang mau nampung. Proyek villa di daerah Pecatu. Buat nguruk tanah, katanya. Jadi, kalian muat puing-puing itu ke truk, lalu bongkar di Pecatu. Balik lagi ke sini, angkut lagi. Begitu seterusnya, sampai habis. Mungkin sekitar empat atau lima kali, karena puingnya agak banyak dan truknya cuma ada satu. Nah, sekarang biasanya berapa ongkos untuk pekerjaan sebanyak itu?”
Mistam dan Yanto langsung melirik ke arah Pak Rohim. Ini pekerjaan borongan, mereka kurang paham tarif yang tepat. Biasanya Mistam dan Yanto hanya mendapat pekerjaan satu kali jalan, bukan yang berkali-kali angkut seperti ini. Daripada salah menyebut harga, mereka memilih menyerahkan hal ini pada Pak Rohim yang sudah lebih berpengalaman.
Pak Rohim pun sadar, dua anak muda di sampingnya ini sedang menunjuk dirinya menjadi juru bicara dalam negosiasi harga.
“Biasanya, untuk satu kali tarikan, muat dan bongkar, tarifnya dua puluh ribu tiap orang,” jawab Pak Rohim.
“Jadi kalau lima kali, seorang tarifnya seratus ribu?!” tanya sang mandor, menegaskan.
“Iya, Pak,” jawab Pak Rohim sembari mengangguk.
“Oke lah. Kalian bisa mulai. Saya mau ke Pecatu dulu. Jam satu siang nanti saya balik lagi ke sini. Kalian tunggu saja. Uangnya ada pada saya.”
“Baik, Pak,” sahut Pak Rohim, yang diikuti juga oleh Mistam dan Yanto.
Pak Rohim, Mistam, dan Yanto mulai beranjak mengerjakan tugas mereka. Perlahan, gundukan puing – puing itu semakin berkurang, berpindah ke dalam truk. Setelah muatan penuh, ketiganya ikut naik ke atas muatan puing – puing tersebut.
Truk bergerak ke arah utara, menuju daerah Pecatu. Sesampainya di lokasi tujuan, Pak Rohim, Mistam, dan Yanto, mulai membongkar muatan puing – puing. Karena kendaraan yang digunakan bukan sejenis dump truck, maka pembongkaran muatan dilakukan secara manual.
Saat itu teriknya sinar matahari sudah mulai terasa membakar kulit. Padahal, perkiraan Pak Rohim, ini belum juga beranjak pukul sembilan pagi. Untungnya Pak Rohim, juga Mistam dan Yanto, menggunakan kaos berlengan panjang. Juga tak ketinggalan topi yang ditambah lapisan handuk kecil di dalamnya. Handuk kecil ini berguna untuk melindungi leher bagian belakang dari panasnya sengatan sinar matahari.
Mereka kembali ke lokasi semula di Uluwatu. Mereka memuat puing – puing ke dalam truk, lalu berangkat lagi ke lokasi pembongkaran di Pecatu. Pekerjaan ini berlangsung sampai enam kali. Ketika selesai, posisi matahari sudah condong ke arah barat. Tapi panjang bayangan belum mencapai setinggi badan. Berarti masih masuk waktu dzuhur, pikir Pak Rohim.
“Mistam, Yanto. Kita sholat dzuhur dulu ya. Mumpung masih masuk waktunya.”
‘”Tapi, Pak. Kita ambil air wudlu di mana?” tanya Mistam.
Pak Rohim memandang sekeliling lokasi itu. Tidak ada bangunan lagi selain dua kompleks villa di seberang jalan. Sekuriti yang berjaga di kompleks itu pasti tidak memperbolehkan mereka meminta air untuk wudlu.
“Ah, kita tayamum saja, ya. Kita sholat di situ,” kata Pak Rohim sembari menunjuk sebidang tanah kosong yang sedikit ditumbuhi rumput.
Mereka bertiga lalu menyeka wajah dan tangan dengan debu dari tanah.
“Semoga debu yang kita pakai tayamum ndak tercemar kotoran sapi ya, Pak,” ujar Yanto.
Pak Rohim dan Mistam hanya tertawa mendengar ucapan Yanto.
Di Bali, hampir semua pemilik sapi membiarkan sapi – sapi mereka di alam bebas. Dengan kata lain, sapi – sapi tersebut tidak dipelihara di dalam kandang. Biasanya pemilik sapi menempatkan hewan peliharaannya di tanah lapang yang banyak ditumbuhi rumput. Terkadang, pemilik sapi memberikan daun jagung sebagai tambahan nutrisi. Para pemilik sapi ini sama sekali tidak takut sapi – sapi mereka akan hilang. Karena sapi merupakan hewan yang disucikan oleh umat Hindu, maka tidak ada yang berani mengusik, apalagi mencurinya. Walaupun sebenarnya ada beberapa kasus pencurian sapi, tapi jumlahnya tidak seberapa.
Selesai sholat, Pak Rohim, Mistam, dan Yanto, duduk di bawah pohon jepun.
“Pak Supir, sekarang jam berapa, ya?” tanya Yanto kepada supir truk yang sedang merokok tak jauh dari situ.
Supir truk itu mengepulkan asap rokok ke udara di depannya, lalu melihat jam tangannya. “Jam tiga kurang sepuluh menit,” jawab si supir.
“Wah, udah hampir sore ya,” balas Mistam.
“Iya. Mana Pak Mandor belum datang, lagi. Semoga kita gak dikerjain soal bayarannya,” balas si supir lagi.
Pak Rohim, Mistam, dan Yanto saling berpandangan. Raut wajah bingung jelas terpancar dari ketiganya. Bingung atas nasib mereka jika apa yang dikatakan supir truk itu memang terjadi. Jernih payah mereka sehari ini tidak dihargai sebagaimana mestinya.
Matahari sudah lebih condong ke arah barat. Nasib mengenai upah ketiga buruh, supir truk, dan kondekturnya, belum juga ada kejelasan. Tidak ada seorang pun yang bisa ditanyai. Karena asisten mandor pun bingung tentang keberadaan atasannya tersebut. Beberapa kali panggilan telepon ditujukan kepada sang mandor, tapi belum mendapat jawaban.
Menjelang pukul lima sore, ponsel milik asisten mandor berbunyi. Ternyata ia mendapat telepon dari atasannya. Selama beberapa menit asisten mandor itu berbicara dengan atasannya.
Mimik wajahnya yang terkesan datar, membuat Pak Rohim bingung. Sekiranya kabar apa yang akan disampaikan oleh asisten mandor kepada dirinya dan kedua rekannya ini. Semoga bukan kabar buruk, batin Pak Rohim.
“Bapak – bapak, saya mohon maaf sebelumnya,” ujar asisten mandor. “Baru saja saya menerima telepon dari atasan saya. Beliau minta maaf karena tiba – tiba ada urusan mendadak di Denpasar. Ini meeting dengan klien penting, makanya beliau wajib hadir. Tapi bapak – bapak tenang saja. Atasan saya sudah dalam perjalanan sekarang. Sekitar sepuluh menit lagi beliau sampai di sini,” lanjutnya. “Tiyang ampura, nggih, Pak,” tambahnya kepada supir truk dan kondekturnya. (1)
“Nggih, sareng sami, Pak. Nenten napi,” jawab si supir. (2)
Benar yang dikatakan asisten mandor. Sekitar sepuluh menit kemudian, ada sebuah mobil sedan berwarna silver memasuki lokasi. Mobil itu berhenti tak jauh dari pohon jepun. Pintu mobil terbuka dan muncullah sang mandor yang sudah sekian lama ditunggu.
Mandor tersebut langsung menghampiri pak Rohim dan rekan – rekannya. Pak Rohim langsung bangkit dari duduknya, diikuti rekan – rekannya.
“Waduh. Saya minta maaf, bapak – bapak. Saya ada meeting di Denpasar yang tidak bisa ditunda,” kata sang mandor.
“Iya, Pak. Tadi asisten bapak sudah menjelaskan kepada kami,” jawab Pak Rohim.
“Oya, baiklah kalau begitu,” balasnya. “Pak Ketut, tadi sampai berapa rit totalnya?” tanya sang mandor kepada asistennya.
“Enam kali, Pak. Jadi, seorang dapat 120 ribu. Untuk truknya enam kali tiga puluh ribu, jadi 180 ribu.”
Pria itu menyimak penjelasannya asistennya dan sedetik kemudian mengangguk tanda setuju. Lalu pria itu mengeluarkan sesuatu dari saku depan celananya. Sebuah amplop putih berukuran panjang yang rupanya berisi sejumlah uang. Ia menghitung sejenak uang yang berada di tangannya dan memberikan masing – masing 120 ribu kepada Pak Rohim, Mistam, dan Yanto. Sementara supir truk dan kondekturnya mendapat total 180 ribu.
“Itu ongkos bapak – bapak. Mohon dihitung kembali. Siapa tahu ada yang kurang.” Lalu sang mandor mengembalikan amplop putih ke dalam saku depan celananya dan mengambil dompet dari saku belakang celana. “Dan sebagai permintaan maaf saya, saya akan menambahkan sedikit dari uang pribadi saya. Masing – masing dua puluh ribu. Saya harap bisa bermanfaat untuk bapak – bapak.”
Kelima pria di hadapan sang mandor kembali menerima selembar uang dua puluh ribuan. Tak ayal, hal ini menambah kebahagian bagi mereka berlima.
“Terima kasih, Bapak – bapak. Senang bekerja sama dengan Anda semua,” ucap mandor itu.
“Sama – sama, Pak,” jawab Pak Rohim mewakili rekan – rekannya.
“Ayo, Pak Ketut. Kita pulang sekarang.”
“Baik, Pak.”
Mandor dan asistennya menaiki mobil dan sesaat kemudian, mobil itu sudah melaju di atas aspal. Sementara itu, Pak Rohim, Mistam, dan Yanto, kembali menaiki bak truk untuk kembali ke warung Bu Kadek.
Selama di perjalanan, Pak Rohim diam – diam memperhatikan Mistam dan Yanto. Kedua pemuda itu sudah tertidur sejak tadi. Namun, walalupun mereka tertidur, raut bahagia tetap terlihat jelas di wajah keduanya. Pekerjaan satu hari ini sudah terbayar dengan layak.
Pak Rohim pun tak kalah bahagianya. Ini jumlah uang yang paling besar dari yang pernah ia terima sebelumnya. Setelah dikurangi untuk membayar hutang kepada Bu Kadek, masih tersisa cukup banyak untuk memenuhi kebutuhan hidup selama beberapa hari. Ia yakin, istrinya pasti turut senang.
Hari ini, nasib baik masih berpihak kepada seorang buruh seperti Pak Rohim. Semoga hari esok, lusa, dan seterusnya, ia masih bisa merasakan nikmat seperti ini lagi.
Pak Rohim menengadahkan kepalanya. Sambil tersenyum ia menatap langit sore yang kemerahan. Satu lagi senja yang indah di Pulau Dewata.
T A M A T
Note :
(1) Saya minta maaf, ya, Pak.
(2) Iya, sama – sama. Tidak apa – apa.
gambar nyomot dari pakde google