Jarum jam baru menunjukkan pukul delapan lewat tiga puluh menit, Arini sudah berada di salon miliknya. Memang belum waktunya buka, tapi Arini terbiasa berbenah sendiri. Sekaligus memeriksa kesiapan peralatan dan mengecek persediaan produk perawatan rambut yang biasa digunakan.
Arini tidak bekerja sendirian. Ada dua orang pegawai yang membantu kegiatannya. Tapi mereka hanya diperbolehkan mencuci dan mengeringkan rambut pelanggan, serta melakukan pemijatan pada proses creambath rambut. Kalau urusan memotong rambut, harus Arini sendiri yang melakukan. Arini ingin segala sesuatunya sempurna, termasuk dalam memuaskan pelanggannya. Para pelanggan sangat senang dengan hasil kerja yang ditunjukkan Arini. Mereka bilang, Arini mudah mengerti kemauan mereka soal tatanan rambut. Sehingga banyak di antara para pelanggan yang mau datang lagi ke salon Arini untuk melakukan perawatan.
Arini tengah menata majalah – majalah yang berserakan ketika pintu salon dibuka dari luar. Ada dua orang yang masuk dan langsung duduk di sofa tamu.
“Oh, maaf. Salonnya belum buka. Nanti jam sembilan baru buka. Pegawai saya juga belum datang,” kata Arini sambil menghampiri dua orang itu.
“Oh, nggak apa – apa. Kita bisa nunggu kok,” kata salah seorang dari mereka. “Kenalin. Nama aku Cindy. Dan ini temen aku, namanya Julia.”
“Hai,” sapa Julia.
“Hai. Aku Arini,” balas Arini.
Cindy dan Julia duduk sambil pandangannya menyapu seluruh ruangan salon. Sepertinya mereka juga kagum dengan penataan salon yang rapi dan apik.
“Ini salon baru ya, Rin?” tanya Julia.
“Ya, baru dua bulan beroperasi.”
“Dua bulan? Udah lama, dong. Kok kita baru tahu ya, Cin?!”
“Ya wajar lah, Jul. Kita udah hampir tiga bulan kan nggak lewat pertokoan ini. Kamu inget kan?! Sejak si Evelyn meninggal,” jawab Cindy.
“Oh, iya. Hmm…. Jadi sedih aku inget si Evelyn. Kenapa juga dia mesti buru – buru cabut dari dunia ini,” kata Julia dengan raut wajah sedih.
“Udahlah, Jul. Itu salah Evelyn juga kok. Dia nolak terus kan waktu disuruh terapi ARV. Malah dia pergi ke dukun. Huh, dasar orang pikirannya masih kolot. Udah tau positif, masih juga ngiranya ada yang nyantet dia.”
“ARV?!” tanya Arini dengan nada keheranan. “You both talking about HIV, right?!”
“Iih, kamu pinter bahasa Inggris deh, Rin. Tapi dari mana kamu tahu soal ARV dan HIV?” tanya Cindy.
“Aku pernah belajar soal itu. Ya, walaupun hanya belajar sendiri. Kebanyakan informasinya aku dapat dari buku dan internet.”
“Oh, gitu. Hmm, iya nih. Temen kita, si Evelyn udah divonis positif sejak tiga tahun yang lalu. Dia tinggal di kos – kosan di belakang pertokoan ini. Hampir tiga bulan yang lalu dia meninggal. Penyebabnya sepele, cuma karena batuk. Tapi kamu tahu kan?! Orang kalau udah positif, penyakit seringan apapun bisa bikin badan hancur. Apalagi nggak dibantu sama ARV. Uh, jadi nggak tega inget hal itu lagi.”
Cindy terisak – isak dan Julia mencoba menenangkan temannya itu. Jelas itu menandakan kesedihan yang mendalam. Dan ada sedikit rasa penyesalan tergambar dari ceritanya tadi. Mungkin sebagai teman, Cindy dan Julia sudah berusaha keras menyadarkan temannya. Tapi takdir berkata lain.
Tanpa mereka bertiga sadar, ada dua orang yang masuk ke ruangan salon. Dua orang ini adalah Yati dan Iis, pegawai di salon Arini.
Arini agak terkejut dengan kehadiran dua pegawainya. Bukan karena mereka terlambat datang. Malah sebenarnya ini belum jam sembilan. Tapi Arini takut percakapannya dengan Cindy dan Julia tadi terdengar oleh mereka.
Bagi Arini, kata – kata seperti HIV dan ARV sudah tidak asing lagi. Ia pernah mempelajari itu sewaktu SMA. Dan setelah lulus pun, ia masih suka menambah pengetahuannya tentang topik itu. Karena suka atau tidak, seorang transgender seperti dirinya masih mendapat stigma yang berat dari orang awam yang tidak mengerti soal HIV. Orang awam masih menganggap kaum transgender berkontribusi besar dalam meningkatnya jumlah orang – orang positif di dunia. Padahal studi terakhir membuktikan, para pecandu narkoba suntiklah yang mempercepat penularan virus itu.
“Mbak Yati, Mbak Iis. Ini teman saya mau potong rambut. Tolong dicuci dulu ya rambut mereka. Kalian benar mau potong rambut, kan?!” tanya Arini kepada Cindy dan Julia.
“Umm, nggak sih. Kita tadinya cuma pengen creambath. Tapi nggak apa – apa deh, sekalian ujung – ujung rambutnya di-trim,” jawab Julia yang diikuti anggukan tanda setuju dari Cindy.
“Oke,” balas Arini sambil tersenyum.
Cindy dan Julia memulai proses creambath. Yati dan Iis dengan telaten mengoleskan krim dan memijat kepala keduanya. Setelah creambath, Arini merapikan rambut Cindy dan Julia.
“Eh, Rin. Nama asli kamu siapa?” tanya Cindy.
“Hah?! Maksudnya?” tanya Arini dengan setengah terkejut mendengar pertanyaan yang diajukan Cindy. Tapi tangan Arini tetap bekerja memotong ujung – ujung rambut milik Julia.
“Lho?! Kamu bener waria, kan?!” tanya Julia tidak kalah herannya.
“Hmm, bisa dibilang begitu. Tapi aku lebih suka menyebutnya transgender,” jawab Arini.
“Owh, itu terserah kamu lah, ya,” ujar Cindy. “Tapi dulu namaku Daniel. Dan Julia, dulu namanya Andi.”
“Wow, aku nggak meminta kalian untuk buka kartu, lho. Tapi, whatever, aku hargai kejujuran kalian berdua. Dulu namaku adalah Ardi. Ardiansyah Putra Hermawan. Tapi sekarang namaku Arini Larasati.”
“Wah, gimana ceritanya kamu bisa jadi waria? Keluargamu setuju?” tanya Julia.
“Ah, kalau aku ceritakan dari awal, bakal makan waktu berhari – hari. Nanti sajalah aku cerita. Lagipula aku sedang tidak mood menceritakan masa laluku. Too many painful memory.”
“Okelah, Beib,” ujar Julia. “Kita berdua juga nggak memaksamu untuk cerita. Tapi biar aku tebak, pasti jalanmu tak semulus kain sutra ya?!”
Arini tidak menjawab pertanyaan Julia, hanya mengangguk pelan.
“Well, sepertinya orang macam kita ini nggak pernah dapat jalan yang mulus dalam hidup. Pasti ada aja yang bikin kesandung. Ya, nggak, Cin?!”
Cindy mengangguk dengan semangat.
Arini berpindah menuju kursi yang diduduki Cindy dan mulai merapikan rambutnya.
“Ya…, itulah hidup. Nggak mungkin lurus – lurus aja. Pasti ada kerikil yang muncul di tengah jalan, yang bikin kita tersandung, bikin kulit kita tergores, bahkan bisa bikin kita mengerang hebat karena kesakitan ketika menginjaknya. Tapi semua itu yang menjadikan diri kita kuat. Semuanya menjadi pelajaran berharga ketika di kemudian hari kita menjumpai kerikil seperti itu lagi, atau mungkin kerikil yang lebih besar. I tell you all something, honestly. Sampai saat ini, ibuku tidak mau menerima perubahanku. Beliau masih berpikir bahwa aku melakukan kesalahan besar. Walaupun pada surat terakhirnya padaku beliau sudah mau menyebut namaku, bukan berarti beliau menerima begitu saja apa yang terjadi padaku. Aku ingin ibuku mengerti, bahwa tidak ada salahnya hidup sebagai seorang transgender. This isn’t about who you are on the outside. This is about you on the inside. What you’ve done to your own life. And is that worth enough to you?”
Julia dan Cindy sedikit terkejut mendengar perkataan Arini. Sepertiya baru kali ini mereka bertemu seorang waria yang kata – katanya bijak layaknya seorang motivator handal.
“Wah, Rin. Kamu pandai bicara juga, ya. Mau nggak kita ajak ke pertemuan waria? Kamu jadi pembicara tamu.”
“Hah?! Apa? Pembicara? Waduh, nggak deh, Jul. Aku nggak bisa apa – apa.”
“Yee, siapa bilang?! Tuh tadi buktinya bisa ngomong segitu bijaknya soal hidup. Kalah deh Pak Mario,” kata Julia.
“Iya, Rin. Aku juga sampai bengong dengerinnya,” tambah Cindy.