Mangrove. . .
Merupakan alat atau tameng daerah pesisir yang juga mempunyai banyak manfaat. Namun yang terjadi dewasa ini semakin membuat kita pesimis akan kemungkinan untuk tetap merasakan manfaatnya di tahun-tahun mendatang. Tekanan yang berlebihan terhadap kawasan hutan mangrove untuk berbagai kepentingan tanpa mengindahkan kaidah-kaidah pelestarian alam telah mengakibatkan terjadinya penurunan luas hutan mangrove yang cukup drastis.
Berdasarkan data Ditjen RRL (1999), luas hutan mangrove Indonesia 9,2 juta ha (3,7 juta ha dalam kawasan hutan dan 5,5 juta ha di luar kawasan). Menurut data FAO (2007) luas hutan Mangrove di Indonesia pada tahun 2005 hanya mencapai 3,062,300 ha atau 19% dari luas hutan Mangrove di dunia dan yang terbesar di dunia melebihi Australia (10%) dan Brazil (7%). Data dari Pusat Survey Sumber Daya Alam Laut (PSSDAL)-Bakosurtanal berdasarkan sumber citra Landsat ETM (akumulasi data citra tahun 2006-2009, 190 scenes) luas mangrove di Indonesia adalah 3.244.018,46 ha (Hartini et al., 2010). Menurut Kemenhut (tahun 2007) luas hutan mangrove Indonesia adalah 7.758.410,595 ha (Direktur Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kementerian Kehutanan, 2009 dalam Hartini et al., 2010), tetapi hampir 70%nya rusak.
Upaya merehabilitasi daerah pesisir pantai dengan penanaman jenis mangrove sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 90an. Data penanaman mangrove oleh Departemen Kehutanan selama tahun 1999 hingga 2003 baru terealisasi seluas 7.890 ha (Departemen Kehutanan, 2004), namun tingkat keberhasilannya masih sangat rendah. Data ini menunjukkan laju rehabilitasi hutan mangrove sekitar 1.973 ha/tahun. Dan yang membuat miris, berdasarkan data yang sama pula, kecepatan kerusakan mangrove mencapai 530.000 ha/tahun.
Selama ini, lahan-lahan mangrove terkonversi untuk kegiatan-kegiatan yang tidak dipikirkan secara kontinyu akibatnya, hanya memenuhi kebutuhan sementara. Untuk tambak misalnya, banyak petani tambak yang membabat begitu saja greenbelt dan menggantinya dengan tambak yang menurut mereka lebih bernilai ekonomis. Ketentuan jalur hijau dengan lebar 130 x nilai rata-rata perbedaan pasang tertinggi dan terendah tahunan (Keppres No. 32/1990) berangsur terabaikan. Padahal hal itu dapat berakibat fatal bila dilakukan tanpa perencanaan yang matang. Ketika mangrove tersebut hanya tinggal beberapa baris saja sebelum garis pantai, maka saat itu juga mangrove tersebut kehilangan fungsi ekologisnya. Singkatnya, lebih baik tebang saja semua, sia-sia kawan!
Butuh nilai ekonomisnya? Mari kita galakkan rehabilitasi dan simak manfaatnya! Di tempat-tempat wisata seperti di Wonorejo dan Gunung Anyar Tambak, Surabaya, buah mangrove diolah menjadi sirup dan dipasarkan dengan harga terjangkau.