Kebijakan moneter kualitatif , dibedakan menjadi 2:
Pengawasan pinjaman secara selektif
Pembujukan moral
Kebijakan moneter kuantitatif, dibedakan menjadi 3:
Operasi pasar terbuka(open market operation)
Kebijakan diskonto(discount rate policy)
Kebijakan tingkat cadangan minimum(reserve requirement policy)
Dalam beberapa tahun terakhir, penyebaran virus Covid-19 yang cepat dari orang ke orang telah menjadikan keselamatan jiwa seseorang sebagai hal yang paling penting, sehingga mengurangi intensitas transaksi dan interaksi antar warga. Dampaknya tentu pada sisi ekonomi warga. Awalnya, masyarakat sekitar merasakan dampak lesunya kehidupan ekonomi warga. Namun, dampak negatif dari wabah tersebut secara bertahap mulai merembet ke perekonomian nasional. Jika pemerintah tidak mengambil langkah-langkah pemulihan yang sangat agresif, negara kita bisa mengulangi krisis ekonomi yang melanda kita lebih dari dua dekade lalu. Faktanya, krisis yang mendasari hari ini mungkin lebih buruk daripada tahun 1997.
Pemerintah dan DPR telah sepakat untuk mengesahkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 yang mulai berlaku pada tanggal 18 Mei 2020. Undang-undang tersebut sebenarnya mencakup kedua bidang kebijakan sektor ekonomi, yaitu kebijakan fiskal dan moneter. Kedua belah pihak sepakat bahwa pandemi Covid-19 berpotensi mengancam perekonomian nasional dan karenanya harus dihadapi bersama, dengan dukungan kebijakan bersama. Kebijakan moneter yang berkaitan dengan stabilitas sistem keuangan mencakup kebijakan untuk mengatasi permasalahan lembaga keuangan yang membahayakan stabilitas ekonomi atau sistem keuangan nasional. Sesuai amanat undang-undang, pemerintah diberi tugas bekerja untuk memulihkan perekonomian nasional. Tugas ini diwujudkan dalam bentuk penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) 23/2020, yang juga menjadi dasar bagi Pemerintah untuk melaksanakan Rencana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang tujuan utamanya adalah untuk melindungi, memelihara dan meningkatkan kapasitas ekonomi sektor riil dan keuangan Pelaku usaha, termasuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).
Pada Rapat Dewan Pemerintahan (RDG) pada 17-18 Maret 2021, Bank Indonesia memutuskan untuk mempertahankan BI 7-day reverse repurchase rate (BI7DRR) pada 3,50%, suku bunga deposit facility sebesar 2,75%, dan suku bunga lending facility sebesar 2,75% Pada 3,50% 4,25% Keputusan tersebut sejalan dengan kebutuhan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di tengah meningkatnya ketidakpastian di pasar keuangan global sementara prakiraan inflasi tetap rendah. Untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional lebih lanjut, Bank Indonesia akan mengoptimalkan kebijakan makroprudensial yang longgar, mempercepat pendalaman pasar keuangan, mendukung kebijakan internasional, dan mewujudkan digitalisasi sistem pembayaran. Langkah stabilisasi Bank Indonesia mendukung pergerakan rupiah di tengah meningkatnya ketidakpastian di pasar keuangan global. Bank Indonesia terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah berdasarkan fundamental dan mekanisme pasar, melalui efektivitas operasi moneter dan ketersediaan likuiditas pasar. Berbagai langkah penguatan terus dilakukan, sejalan dengan sinergi KSSK, kebijakan perbankan dan komersial, menjaga optimisme, serta mengatasi masalah sisi penawaran dan permintaan pinjaman/pembiayaan perbankan kepada perusahaan untuk mendorong pemulihan perekonomian nasional. Terkait dengan hal tersebut, Bank Indonesia terus menerapkan kebijakan makroprudensial yang akomodatif, antara lain kebijakan uang muka kredit/pembiayaan kendaraan bermotor dan kebijakan kredit/pembiayaan properti yang diumumkan secara loan-to-value/financing-to-value (LTV/FTV). Bank Indonesia juga akan mendorong peningkatan kredit/pembiayaan perbankan kepada dunia usaha dengan tetap menjaga stabilitas sistem keuangan dengan memperluas komponen pembiayaan dan secara bertahap memulihkan rasio intermediasi makroprudensial (RIM/RIM Syariah).
Momentum pemulihan ekonomi nasional perlu terus ditingkatkan, dan bersinergi membangun optimisme oleh semua pihak baik Pemerintah (Pusat dan Daerah), Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), perbankan dan berbagai pihak lainnya. Dengan membaiknya cakupan vaksinasi, perekonomian nasional mulai pulih, memberikan angin segar bagi pelaku ekonomi. Perekonomian global juga mulai tumbuh, terbukti dengan indikator Purchasing Managers' Index (PMI) global yang mencapai di atas 50 pada kuartal ketiga. Pemerintah dapat memanfaatkan situasi ini untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional sehingga pertumbuhan ekonomi nasional dapat kembali normal sebelum pandemi COVID-19 pada tahun 2023.
Bank Indonesia mendukung pemulihan ekonomi negara melalui kelanjutan stimulus kebijakan moneter pada tahun 2021, antara lain menjaga stabilitas nilai tukar rupiah berdasarkan fundamental dan mekanisme pasar, menjaga suku bunga tetap rendah hingga tanda-tanda peningkatan tekanan inflasi, dan SBN dari pasar perdana untuk Dana APBN 2021 sebagai pembeli cadangan (non-competitive bidder) dan kebijakan makroprudensial, yang juga akan tetap akomodatif pada 2021. Tujuan penurunan suku bunga adalah untuk meningkatkan likuiditas keuangan guna mendorong kegiatan usaha. BI juga telah mengadopsi kebijakan ekonomi syariah untuk mendorong pemulihan ekonomi nasioanal. Antara lain, pengurangan Giro Wajib Minimum Syariah (GWM), relaksasi RIM Syariah, dan penggunaan perangkat berbasis Syariah untuk memperkuat operasi mata uang.
Bank Indonesia juga akan terus mempercepat pelaksanaan BSPI 2025, mempercepat pendalaman pasar uang sesuai Blueprint Pendalaman Pasar Uang 2025, terus mendukung pengembangan ekonomi keuangan syariah dan usaha kecil, menengah dan mikro, dan terus aktif berpartisipasi dalam berbagai forum internasional di Indonesia. Klausul Kebijakan Internasional. Bank Indonesia juga akan terus mengarahkan seluruh perangkat kebijakan untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional, dengan tetap menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, dengan berkoordinasi erat dengan pemerintah dan KSSK.
Referensi : web https://www.bi.go.id