Mohon tunggu...
KOMENTAR
Olahraga

Atap Rumbia Piala Dunia

11 Juni 2010   04:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:36 81 0
[caption id="attachment_164155" align="alignleft" width="300" caption="Main Bola di Desa (Sumber klik foto)"][/caption] Halaman luas berdebu yang dipenuhi pepohonan itu kali ini nampak berbeda. Sebuah kotak dari kayu terletak di bagian Barat halaman berdiri kaku. Nampak baru saja dibuat. Papan kotak itu warna-warni, bukan karena cat, tapi karena papannya diambil dari tempat yang berbeda. Dari celah-celah papan pintunya yang jarang terlihat sebuah bendak asing di dalamnya. Apa gerangan? Tipi baroe (televisi baru), kata seorang warga. Iya, memang benar. Di dalam kotak itu ada sebuah televisi hitam putih 14" yang baru saja dibawa pulang dari Medan (Sumatera Utara) oleh beberapa pemuda desa Krueng Kluet, Aceh Selatan. Saat itu tivi merupakan barang langka di kampung kami. Jangankan tivi warna, yang hitam putih saja bisa dihitung dengan sebelah jari. Satu dusun hanya punya satu televisi yang ditonton bersama oleh warga. Saat itu kalender menunjukkan angka 1990. Dari radio, RRI Jakrta diberitakan bahwa tahun itu akan dilaksanakan perhelatan besar piala dunia. Piala dunia begitu menyihir banyak orang, termasuk masyarakat dusun pedalaman desa di Aceh Selatan tersebut. Namun bagainama caranya menonton, sementara mereka tidak memiliki televisi? Pergi ke rumah orang lain yang memiliki televisi jelas tidak nyaman. Apalagi ini piala dunia, enaknya pasti nonton bersama. Hasil munyawarah pemuda menyepakati mereka akan mencari uang sendiri untuk membeli televisi. Salah satu potensi alam yang dapat segera diolah untuk jadi "uang" adalah daun rumbia (pohon sagu) yang banya tumbuh di sekitar dusun. Dengan kesepakatan ini mereka beramai-ramai mengambil daun rumbia dan menjahitnya menjadi atap. Dalam seminggu mereka sudah mendapatkan ratusan atap. Atap ini dijual dan uang yang diperoleh cukup untuk membeli sebuah televisi 14" hitam putih. Dua orang perwakilan pemuda pergi ke Kota Medan, Sumatera Utara untuk membeli televisi. Pada malam hari saat piala dunia digelar, hampir semua makhluk bernyawa datang ke lokasi kotak kayu di mana televisi dihidupkan. Di depan sekali ada anak-anak dan perempuan yang duduk beralaskan sandal atau tikar yang mereka bawa dari rumah. Di belakangnya ada orang laki-laki dewasa yang menonotn sambil berdiri. Di belakang itu lagi ada beberapa pemuda dan remaja tanggung yang membuat kursi dari kayu yang kakinya agak tinggi. Di atas kursi itu mereka duduk dan menonton dengn tenang. Tivi 14" tersebut nampak sangat kabur dari belakang. Begitulah afek sihir piala dunia di pedalaman Aceh Selatan, 500 km dari kota Banda Aceh, ibu kota provinsi Aceh. Tahun 1990 saja mereka begitu antusias menonotn bola dan melakukan kerja keras untuk memproleh televisi. Gotong royong mencari uang bersama untuk mewuyjudkan cita-cita mereka. Bahkan kebersamaan itu sendiri terasa jauh lebih menyenangkan dari piala dunia. Dengan berbagai kemudahan belakangan ini, masihkah mereka memiliki semangat yang sama? Saya tidak tahu pasti. Sudah 15 tahun terakhir saya tidak tinggal di dusun itu lagi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun