Mohon tunggu...
KOMENTAR
Inovasi

Pemahaman Agama Semu di Media Saat Ramadhan

11 Juli 2011   11:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:45 456 0

BULAN puasa bagi media massa, khususnya televisi, menjadi berkah tersendiri. Bukan saja bersaing menyajikan program andalan. Namun, disisi lain, mengejar kue iklan sehingga meraup keuntungan. Akhirnya, televisi terjebak dan membantu pemirsa dalam pemahaman keberagamaan yang semu (Pseudoreligiositas), sebagai akibat tayangan yang tidak berkualitas dan mendidik.

Pertarungan ideologi televisi yang konsumtif dan mendua itu, tak bisa disalahkan seratus persen. Soalnya psiko-sosial, memang masih menyukai program-program sinetron dan komedian. Bahkan, tayangan sinetron ruhani, yang masih dibalut aura birahi, penuh kekerasan, perilaku aktor/aktris yang bias gender, dan menabur kata-kata yang tidak sopan, masih menjadi pilihan.

Senyawa dengan itu, tayangan ruhani secara kebetulan ikut tergerus dengan rating yang konon jauh lebih rendah dibanding dengan tayangan para selebritis yang mendadak ‘puasa’. Hal ini, sudah diakui oleh banyak akademisi, yang menyatakan, selama Ramadhan acara tausiyah mengalami penyusutan.

Agama, Iklan, dan Ideologi Televisi

Bila demikian, hemat saya berpendapat, media massa, khususnya televisi, belum menjelma menjadi media yang mencerahkan. Sadar atau tidak, banyak program tayangan televisi, hanya mewacanakan subtansi puasa sebagai ibadah ritual dari haus dan lapar.

Mengapa? Rumusnya sederhana. Rasa haus dan lapar itu, akan tergantikan dengan tayangan komedian dan banyolan. Makanya, televisi pada saat puasa mendesain sebagus mungkin tayangan komedian, daripada mendesain acara tausyiah yang lebih kreatif dan membumi.

Media televisi kehilangan ruh untuk menayangkan puasa dalam konteks aktual. Misalkan, bagaimana membuat sebuah film ruhani yang benar-benar menyentuh masyarakat. Atau acara tausyiah yang dikemas bergenre anak muda, dan tafsir tematik mengenai narkoba, perjudian, kekerasan, tawuran dan lain sebagainya.

Dari serangkaian kelaziman media televise itu, oleh Juanidi Abdul Munif (Koran Tempo, 8 Juli 2011), ibarat menyandingkan antara agama dalam kultur pop. Dalam konteks itu, agama adalah perayaan terhadap pencitraan, pendangkalan, artifisialitas yang masal dengan bungkus agama. Disitulah ketegangan antara manusia dan agama terjadi. Antara mencari kebenaran dan nilai transendental atau sekedar mengikuti arus dalam keberagaman yang palsu (Pseudoreligiositas).

Berdasarkan penelitian sebuah universitas, pertumbuhan iklan mengalami peningkatan 16 persen dibandingkan bulan biasa. Misalnya, jika asumsi tarif iklan Rp 18 juta/spot untuk sinekuis  salah satu acara di televisi, perolehan pengelola televisi dari iklan untuk tayangan satu episode berdurasi satu jam sudah mencapai Rp 1 miliar.

Salah seorang professor Media dari Mesir mengakui itu. Hassan Abul Anein, menjelaskan, iklan yang ditayangkan di televisi selama Ramadhan membentuk sekitar 40% dari total pemasukan iklan dalam setahun. "Mengingat fakta bahwa rating pemirsa di bulan Ramadhan adalah yang tertinggi dalam satu tahun, saluran televisi mati-matian berusaha meraup rating tertinggi dari periklanan dan memulihkan anggaran mereka yang melemah akibat krisis global," dalam suaramedia.com

Peran KPI dimana?

Tayangan program-program ramadhan di televise, tidak hanya mengundang apresiasi permirsa tetapi juga mengundang kritik, misalnya program-program acara televisi di masa ramadhan sebatas sebagai upaya untuk mengejar “rating” semata.

Program ramadhan cenderung miskin kreativitas dalam mengemas program ramadhan. Tidak ada konsistensi makna dan filosofi ramadhan yang direpresentasikan dalam teks maupun visual.

Program-program televisi yang ditayangkan menjelang buka puasa maupun sahur lebih dominan hiburan daripada edukasi religius. Bahkan, nilai entertainment tercermin mulai dari format prgramnya, pemilihan aktor/aktris, setting panggung, sampai pada formulasi teks dan visualisasinya.

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) harus bertindak tegas dalam hal ini. Jangan sampai, racun-racun tontonan negatif an murahan ditelevisi dijadikan tuntunan bagi pemirsa. Misalkan, ketika ada presenter, atau aktor dan aktris memainkan adegan mesra, atau berbicara yang tidak pantas, KPI harus bertindak sesuai dengan kewenangannya. PI jangan hanya memberikan penghargaan kepada televisi ang menayangkan program terbaik. Namun, juga hukuman pada televisi yang melakukan pelanggaran.

Bagaimana Sikap Kita yang Bijak?

Selama Ramadhan yang tak lama lagi akan datang, insya allah, Agustus nanti, kitaharus bisa memilih program televisi yang bisa mendidik dan turut serta membantu kesempurnaan berpuasa. Keberagamaan semu (Pseudoreligiositas), yang selama ini menjadi citra sebagian televisi pada saat puasa harus diramu kembali. Harus diolah kembali jangan sampai menjadi tontonan yang kebiasaan selama puasa.

Salah satu solusi yang saya tawarkan, pemirsa harus lebih banyak melakukan kegiatan yang bersentuhan langsung dengan puasa. Bahkan, keluarga bisa membuat acara istimewa agar anak-anaknya, tidak berlama-lama depan televisi selama berpuasa.

Semoga artikel ini bermanfaat. Saran dan kritik sangat diharapkan. Waallahu’alam (sumber gambar: http://b.cdn.tendaweb.com)

Baca artikel lainnya:

Terkejut, Undangan Tuhan Segera Datang

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun