HATI bagaikan lautan yang dipenuhi berbagai mutiara tersimpan. Tak salah, bila hadits nabi, dan para sufi bijak mengatakan: “Dalam dirimu ada segumpal daging. Apabila baik daging itu, maka akan baik pula kehidupanmu. Segumpal daging itu adalah hati.”
Perjalanan panjang menemukan ketenangan hati sangat diinginkan oleh banyak orang. Perjalanan spiritual seorang hamba, yang ditempuh berkilo-kilo meter, setiap jejaknya adalah berkah. Jejak kehidupan yang tersimpan di alam raya, sesungguhnya potret hidup nyata manusia. Siapapun dia. Dari golongan mana dia. Seluruhnya memiliki hak yang sama untuk menempuh perjalanan spiritual itu.
Alkisah, aku dihadapkan dengan sebuah cermin nyata dari perjalanan hidup seorang jejaka. Dia adalah sahabatku. Namun, belakangan lama tak bertemu. Setelah tiga tahun, sosoknya sudah berubah menjadi lebih alim. Wajahnya bersinar terang. Bicaranya berisi dan memancarkan wibawa.
Dulu ia disukai banyak perempuan. Di kampus ia adalah idola kaum hawa. Aku masih ingat, saat mengadakan kegiatan band kampus, bagi dia sangat mudah menggaet perempuan untuk terlibat dalam kegiatan itu.
Cerita lama kami itu, berubah seratus derajat, saat perjalanan tiga tahun lamanya menempuh jejak spiritual. Perjalanan hidupnya itu adalah pengorbanan. Ia tinggalkan kehidupan yang serba ada. Orang tuanya bahkan beberapa kali meminta kabar, dimana gerangan anaknya berada. Aku jawab, tidak tahu.
Sahabatku menceritakan, dunia ini sudah edan. Sudah sableng. Sudah tidak karuan. Mau dibawa kemana, arah yang pasti alam ini dibawa.
Awal perjalanan spiritual ini dimulai saat ia merasakan apa yang ada, itulah yang tiada. Keinginan yang serba bisa, itulah keinginan semu yang selama ini tak menentramkan batinnya.
Sampai akhirnya, suatu malam, Jumat, ia membuat sepucuk surat di kamar untuk orang tuanya. Ia pun nekad pergi meninggalkan rumah untuk memulai perjalanan spiritual.
Sampailah ia di ibukota. Ia tidak tahu harus kemana kakinya dibawa. Maklum, dari Tasikmalaya ke Jakarta nyaris tanpa dibekali identitas keluarga orang tuanya. Bahkan, beberapa teman kuliahnya yang berasal dari Jakarta tidak diketahui.
Tibalah ia di suatu mesjid, di Jalan Pramuka, Salemba. Disanalah ia berminggu-minggu menetap. Mencari kehidupan yang sebenarnya sudah lama diidamkan, yakni ketenangan bathin.
Dari sana, ia pergi ke sebuah pondok pesantren atas petunjuk sesepuh jemaah mesjid. Ia dititipkan oleh pengurus mesjid untuk menimba ilmu agama.
Beruntung, ia memiliki kepintaran dan ringan tangan. Tak lama, ia pun dikenal di Pondok pesantren. Hampir dua tahun, ia sudah banyak menerima ilmu agama. Bahkan, karena memiliki paras ganteng, ia pun diminati oleh putri sang kyai.
Namun, ia tolak. Bahkan, ia bercerita kepada gurunya, bahwa kedatangan dirinya di pondok pesantren itu murni mencari ketenangan hati. Bukan untuk dicintai oleh putra kiayi.
♦♦♦
ANEH bin ajaib. Sahabatku merasakan ada perubahan yang tanpa ia sadar sudah membentuk jiwanya. Kepahaman ilmu agama, yang digalinya setiap hari, lama-lama kelamaan menjadi bukit. Namun, ia tetap rendah hati. Ia tidak mau di panggil ustadz. Ia ingin disebut seperti namanya, Farid.
Setelah tiga tahun, aku bertemu lagi dengannya dalam keadaan yang lebih waras. Aku pun merasa malu, beberapa kitab, bekas aku mengaji dipondok dulu, malah ia banyak membacanya. Sementara, aku sejak tak lagi mondok, kitab-kitab itu hanya disimpan dilemari. Aku pun menghibahkan seluruh kitab-kitab itu kepadanya.
Aku pun merasa dikutuk dengan isi kitab-kitab itu. Aku merasa sudah salah asuhan menjalani kehidupan. Benar kata sahabatku,”Bila kamu mencari dunia tidak ada dasar untuk apa dunia itu? Seberapa banyak dunia yang kamu dapat, tidak akan bisa menggantikan kekayaan hati. Hati tidak bisa ditebus dengan dolar. Hati harganya sangat mahal. Makanya, sebelum pencarian dunia, luruskan dulu hatimu agar kamu memiliki ketenangan batin yang abadi.”
Kata-kata sahabatku itu, masih melekat hingga kini. Perjalanan spiritual ternyata telah menjadikan manusia jauh memiliki kesadaran, diatas kesadaran manusia-manusia yang mendapatkan ilmu agama hanya dari sekedar teksbook. Perjalanan spiritual menjadi kekuatan organik yang mahir dalam menganalisa kehidupan apapun.
Karena apa? Yang dikatakannnya adalah suara hati. Kekuatan hati melebihi kekuatan sebuah jembatan yang setiap hari dijejali ribuan kendaraan. Memang salah tafsir, apabila ada manusia yang menyebut patah hati.
Hati itu sebenarnya tidak pernah patah. Hati ada daging yang setiap saat terpelihara dari berbagai racun dan berbagai virus yang bisa hinggap padanya. Hati yang patah, lebih kepada keputusasaan memahami hidup.
Ya, seorang yang katanya patah hati, maka akan patah pula kehidupannya. Hati hanya dikatakan kata benda. Hati adalah sebuah kompilasi kata kerja yang setiap hari harus dipelihara dan diasah sampai tajam
Ataukah mungkin patah hati akan hilang, saat manusia menempuh perjalanan spiritual seperti sahabatku. Ah, belum tentu. Banyak manusia menempuh perjalanan, namun hatinya tidak pernah tenang
Setiap hari merasa menjadi buron. Karena apa? Seperti kata sahabatku, landasan sebuah perjalanan bukan atas dasar kata hati. Namun kataku, kata dia, dan kata banyak orang.
Benar adanya, jangan pernah sepelekan perjalanan spiritual untuk menuju kualitas hidup yang lebih baik. Mungkin kita tidak akan pernah bisa melakukannnya, tapi setidaknya perjalanan hidup yang serba material ini diikhtiarkan fondasinya dari ketulusan hati.
Bila hati kita terbuka dan menerima. Maka alam semesta pun akan memiliki perilaku yang demikian pula. Dunia akan semakin ramah dengan kita. Karena kita menginjakan kaki atas dasar keikhlasan. Bukan atas dendam dan belakangan sering disebut hanya sebuah tour kehidupan yang dipenuhi dengan canda dan tawa.
Sahabatku kini sudah bahagia. Hampir tujuh belas tahun belum bertemu lagi. Katanya ia sudah memiliki sebuah padepokan. Bukan pondok pesantren. Namun, sebuah komunitas yang memberikan bahan ajar agama kepada anak-anak yang tak mampu. Huh, aku jadi kangen dengan perjalanan spiritual sahabatku itu! Wallahu’alam sumber gambar: http://menantangbatas.files.wordpress.com/2010/07/senja.jpg