“Saya tidak ingin lagi masuk penjara seperti yang pernah dialami dulu. Anakku yang bungsu baru akan setahun usianya jangan sampai masuk penjara” (Prita Mulyasari)
SEJUMLAH media, Jumat kemarin, memberitakan Prita Mulyasari, seorang Ibu Rumah Tangga, yang tengah berkasus dengan RS Omni Internasional. Kabar terbaru menyebutkan, Prita terancam dipenjara lagi. Pasalnya, kasasi jaksa atas putusan Pengadilan Negeri Tangerang yang memvonis bebas Prita Mulyasari, dikabulkan majelis hakim Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung mengabulkan kasasi Jaksa, pada 30 Juni 2011 oleh Ketua Majelis Hakim Zaharuddin Utama, 2 hakim anggota Salman Luthan dan Imam Harjadi, serta panitera pengganti Tety Setiawati Siti Rochmat. Putusan dibuat berdasar surat pengajuan kasasi bernomor W29.U4/55/HN.01.11/III/2010 yang masuk ke MA pada 12 April lalu.
Padahal, pada 29 Desember 2009, Majelis Hakim PN Tangerang memutus bebas Prita Mulyasari dari tuntutan jaksa 6 bulan penjara. Menurut Jaksa, karena unsur dakwaan pencemaran nama baik tidak terbukti. Menurut Todung, dalam hal ini MA tidak peka terhadap kondisi sosial masyarakat.
Polemik Pasal Pencemaran Nama Baik
Putusan MA ini, mengundang kontroversial dan tercium ada ketidakadilan. Prita sendiri kaget. Soalnya dirinya tidak mengetahui kapan kasasi itu dilakukan, tahu-tahu sudah dikabulkan oleh MA.
Kasus Prita hanya sebagian dari berbagai kasus pencemaran nama baik di dunia maya ini. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat, kasus pencemaran nama baik di internet tiap tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 2008, terdapat dua kasus, yakni kasus pencemaran oleh blogger Nurliswandi Pilliang atas laporan anggota DPR Alvin Lie dan kasus Prita Mulyasari yang dilaporkan RS Omni International Alam Sutra Tangerang.
Sementara pada tahun 2009 terdapat empat kasus, yaitu yang menimpa Ujang Romansyah, seorang pelajar pengguna Facebook. Kasus lain yang melibatkan pengguna Facebook yaitu yang menimpa Muhammad Iqbal, seorang pegawai honorer, dan Imbar Ismail, seorang anggota DPRD Sulawesi Selatan. Pencemaran nama baik ini juga sebenarnya masih menjadi polemik, karena menurut sejumlah kalangan, itu dijadikan alat untuk melakukan pengekangan terhadap proses demokrasi terutama di dunia maya.
Ada dua lembaga yang pernah menyoalkan agar kasus pencemaran nama baik ini dihapus. Pertama, ICW sudah merencanakan untuk melakukan judicial review pasal-pasal tersebut. 1 Pasal pencemaran nama baik yang diatur dalam Pasal 310 dan penghinaan dalam Pasal 311 KUHP sering digunakan untuk membungkam kebebasan pers serta kebebasan berekspresi. Pasal tersebut dinilai tidak relevan dengan kehidupan berdemokrasi sehingga perlu dihapus.
Kedua, LBH Pers Jakarta menilai pasal-pasal 311 KUHAP telalu sering digunakan sebagai senjata oleh orang-orang yang merasa dirugikan. Itu yang sering menjadi hambatan saat advokasi di pengadilan. Salah satu contoh adalah yang dialami Prita Mulyasari. Bahkan, beberapa korban yang mengalami pasal ini antara lain: Iwan Piliang, Khoe Seng Seng, Bensihar Lubis, Risang Bima Wijaya, Upi Asmaradhana, dan kasus-kasus lain.
Bahkan, AJI Indonesia sendiri pernah melakukan uji materi terhadap Pasal 27 Ayat 3 UU ITE, tetapi Mahkamah Konstitusi tidak mengabulkan permohonan tersebut. Saat ini AJI Indonesia mendorong DPR untuk merevisi UU ITE.
Pasal Pencemaran Nama Baik, Sebuah Ancaman?