Konflik di negara China dalam kasus Pembantain Muslim Uighur tentu menjadi sorotan internasional karena perilaku atau tindakan represif yang dilakukan oleh otoritas China dianggap jauh dari kemanusiaan. Sikap represif China terhadap umat muslim di sana tentu menjadi persoalan yang sangat besar didalam perjanjian perdamaian dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Hak asasi Manusia harus menjadi tahta tertinggi dalam persoalan politik, karena dalam hak asasi ini semua manusia perlu dijaga dan dijunjung kehormatannya sebagai makhluk yang saling membutuhkan. Lantas ketika tindakan pembantaian dan intimidasi terhadap agama islam yang minor di negara tersebut perlu dipertanyakan substansi pembantaian, atau sebab apa yang meyakinkan pemerintah China untuk memberikan tindakan serupa terhadap mereka yang menganut agama islam. Ketika keadilan dan kebebasan beragama menjadi salah satu acuan hak asasi manusia, tentu sangat disayangkan justru kebebasan itu terhalangi atau bahkan dilarang karena dianggap perbedaan yang sangat signifikan antara satu agama dengan agama lainnya. Maka esensi dalam tindakan ini sangat jauh dari aspek kemanusiaan yang selalu dijadikan bahan teoritis oleh para elit global. Tragedi Muslim Uighur sangat disayangkan dan perlu adanya pemahaman atas pemahaman agama tersebut, karena pada dasarnya kesalahan memahami paradigma agama menjadi sumber utama dalam menjadikan hal ini terus berlanjut dan tidak pernah ada penyelesaian secara konstruktif, melainkan hanya penyelesaian dan tekanan politis yang kita sendiri tidak tahu tragedi ini akan selesai. Ketika misalnya penyelesain ini hanya dengan cara politis maka harapan untuk perdamaian dan substansi hak asasi manusia pantas dikatakan "kosong" dan tidak ada kepemilikan makna itu sendiri. Filsuf Yunani kuno pernah mengatakan "Hidup yang tidak Pernah Di isi, maka tidak pantas dimaknai". Gambaran jelas sudah digambarkan oleh sang filsuf melalui kehidupannya di masa romawi kuno dahulu dan tentu memiliki relevansi yang kuat atas segala sesuatu tindakan yang telah dilakukan dan diucapkan. Sehingga teori-teori tentang perdamaian, hak asasi manusia, keadilan hanya sebagai pajangan politik bukan menjadi representasi kebijakan dan tindakan politik. Gagalnya pemaknaan ini perlu hadirnya peran teori politik internasional sebagai penunjang kebutuhan memenuhi asas tersebut kedalam peranan yang lebih krusial.
Situasi demi situasi hingga kecaman berbagai pihak sudah seharusnya negara China berhenti melakukan tindakan represif terhadap rakyatnya sendiri yang menganut agama dan pemahaman yang berbeda dari mayoritas. China perlu dalam hal ini menyikapi penanganannya lebih konstruktif untuk menunjang aspek keadilan dalam menjamin kehidupan manusia di negaranya, dalam hal apapun negara lah dengan otonomi tertinggi yang punya hak istimewa dalam menjaga dan menjamin. Kecaman negara-negara terhadap tindakan China merupakan bentuk representasi eksistensi teori politik internasional yaitu meliputi adanya, Realisme, Teori Keamanan dan Teori Keadilan. Terhubungnya ketiga teori ini dalam persoalan tragedi muslim uighur menjadi landasan dan acuan berpikir untuk penyelesaian konflik yang sedang terjadi.
Teori Keadilan
Dalam sudut pandang lain dalam teori politik internasional ada salah satu penunjang terpenting untuk menyikapi kehidupan sebagai asas utama hak manusia. Jika kita lihat juga dalam konsep penerapan teori keadilan, tentu hal ini sangat jauh dari kata atau identitas keadilan itu sendiri. Teori keadilan tentu menjadi penunjang utama untuk menjaga keadilan dan kesetaraan kehidupan, namun pada kenyataan yang terjadi di China, pembantaian dan intimidasi ini sangat jauh dari kenyataan teori ini sendiri. Kalau China memahmi isi dari keadilan itu sendiri tidak ada penyelesaian dengan cara represif seperti ini. Keadilan merupakan penerapan dari bentuk dialektika yang dibangun untuk memahami perbedaan yang sedang dialami, ketika pembangunan dialektika antara perbedaan untuk memenuhi esensi keadilan itu sendiri tidak akan adanya penyelewengan orientasi kemanusiaan.