Ya, di luar watak bawaannya yang sering dianggap miring, Dhani adalah sedikit dari musisi Indonesia dengan bakat dan keahlian yang kumplit; sebagai pencipta lagu, arranger, produser, dan bahkan singer juga kan.
Saat pandemi membuat banyak musisi dan penampil mati kutu, Dewa 19 di bawah sentuhan Dhani justru menjadi band paling aktif tampil, meski secara daring. Yang jelas, rezeki mereka tak benar-benar mati, ide-ide kreatif Dhani nyatanya laku di kalangan sponsor.
Nah, yang mungkin jarang disadari banyak orang dari sikap Ahmad Dhani adalah apresiasinya terhadap sebuah karya. Dia selalu jujur musisi mana yang meng-influence lagu ini dan lagu itu, atau bahkan album.
Dia juga mungkin salah satu musisi pionir yang mau sedikit ribet membeli copy right lagu-lagu musisi Barat, dari yang kurang terkenal sampai super bonafit macam Queen, untuk dia aransemen ulang dengan legal. Lagu "Jika Surga dan Neraka Tak Pernah Ada" yang ia bawakan bersama Chrisye misalnya, Dhani secara jujur menyebut ia beli lisensinya dari Stephen Simmonds, musisi asal Swedia.
Bahkan, pernah juga Dhani membeli lagu seorang musisi jalanan saat jadi juri Indonesian Idol. Dia bayar 5 juta untuk diaransemen versi dia menjadi lebih nge-rock.
Nah, soal penghargaan terhadap karya ini memang teramat penting, dan di sinilah Dhani menempati posisi terhormat. Ingat dong, pas doi lagi ramai-ramainya terlibat konfrontasi dengan salah satu eks vokalis Dewa 19. Kalau yang bawain lagu ciptaan dia cuma penyanyi kafe dengan bayaran kecil, ya tak masalah. Tapi kalau yang bawaian penyanyi caliber nasional di event konser, sudah sewajarnya performance right ini perlu ditegaskan. Kurang lebih begitu pendapat Pakde.
Menghargai karya ini tentu bukan hanya di dunia music dong, di dunia kepenulisan juga masih sering kita dengar kisah-kisah pilu di sekitar minimnya apresiasi terhadap para penulis yang telah membantu mencerdaskan bangsa. Kalau dulu banyak kaset dan CD bajakan, buku pun sama.
Lha itu yang professional, bagaimana dengan penulis pemula atau yang amatir seperti ogud? Mungkin tak menjadi perhatian orang, tetapi yang pasti kita-kita orang juga sakit hati lho kalau karya kita dijiplak, copy paste, tanpa rasa malu.
Mungkin ini yang sering disebut mencuri kredit bagi sang penjiplak. Bukan karya dia, tapi dipamerin dan ia dapat pujian. Bisa juga disebut pencuri pujian.
Kalau kalian menemukan sebuah tulisan bagus di postingan facebook misalnya, lalu meng-copy paste nya untuk kamu posting karena ngrasa ini tulisan relate banget sama nasibmu, impianmu, dll. Ya gak masalah kali ya, asal syaratnya satu: sebut sumbernya atau kredit untuk penulisnya.
Kalau jiplak dan direpost di akunmu sendiri, jangankan menyertakan sumber link, menyebut penulis aslinya saja kagak. Saat postinganmu dapat komen, kamu pun memilih innocent, membiarkan orang menganggap itu adalah tulisanmu, nah inilah pencuri kredit. Perampas pujian.
Faktanya, sesederhana apapun karya tulisan seorang amatir sekalipun, itu tidaklah dibuat dengan sederhana. Sebagai amatir, saya pribadi seringkali riset tipis-tipis sebelum menulis, gugling dulu kalau ada kaitan dengan pendapat ahli, dan belum tentu mampu saya rampungkan dalam satu hari. Satu tulisan bisa jeda beberapa kali, pun bisa jadi baru rampung setelah seminggu.
Capek? Ya pasti lah. Apalagi sebagian besar tulisan itu dibuat untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi, yang disebut Maslow sebagai kebutuhan tertinggi manusia. Pun bayarannya adalah kepuasan.
Nah, tiba-tiba kita punya kawan main comot tulisan kita itu tanpa menyebut sumbernya, pun credit untuk penulisnya. Alamak, culas nian itu orang. Bagaimana kalau itu tulisanmu, bro? Wkwkwk
Ini semisal kita kerja di instansi pemerintah atau swasta, punya tim dan punya atasan. Suatu waktu dikasih project sama si bos. Kita santai-santai, yang banyak kerja kawan kita. Eh giliran si bos monitoring, kita berdiri paling depan, menjelaskan hasil kerja dengan fasihnya. Enaknya diapain nih orang?! []