Mohon tunggu...
KOMENTAR
Vox Pop

Kalau Muhammadiyah Ditentang, Lantas Siapa yang Layak Kelola Tambang?!

30 Juli 2024   16:15 Diperbarui: 30 Juli 2024   16:23 914 2
Muhammadiyah tengah diterpa badai, begitu istilah yang digunakan beberapa kader, untuk menyimpulkan dinamika di tubuh Persyarikatan pasca PP Muhammadiyah memutuskan untuk menerima Izin Usaha Pertambangan (IUP) khusus dari Pemerintah.

Tidak sedikit kader hingga unsur Pimpinan Muhammadiyah di daerah yang kecewa dan mengkritik keras keputusan PP Muhammadiyah. Beberapa bahkan menunjukkan kekecewaan itu secara eksplosif, ada yang mundur dari kepengurusan, ada yang menarik wakaf yang sedianya mau diserahkan ke Muhammadiyah, ada pula yang menghentikan aktivitas pembangunan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) sebagai wujud protes.

Penyikapan tersebut seperti kuat menggema di media sosial, terlebih karena banyak direpost hingga dishare di grup-grup WhatsApp Persyarikatan. Di tengah dinamika tersebut, para kader dan Pimpinan Muhammadiyah yang memilih tetap percaya dengan keputusan PP menjadi tak terdengar gaungnya.

Padahal, banyak unsur Pimpinan Wilayah hingga Pimpinan Daerah Muhammadiyah yang memilih pasang badan untuk menjaga soliditas organisasi. Sebuah upaya yang tentu tidak mudah, mengingat derasnya kritikan yang tengah dialamatkan pada Muhammadiyah.

Mereka terpaksa menjadi pemadam kebakaran atas kebijakan yang dibuat Pimpinan Pusat. Tapi bagi mereka, itulah konsekuensi berorganisasi, mereka siap menjalankan risiko di saat pahit.

Kejutan dari Putusan PP Muhammadiyah  

Muhammadiyah bukanlah ormas Islam pertama yang merasakan gelombang kecewa dari kader, aktivis lingkungan, dan publik. Sebelumnya, ada Nahdlatul Ulama, ormas Islam terbesar di tanah air yang telah lebih dulu diterpa badai, baik dari warganya maupun publik. Segala kritik hingga nyinyiran pun ditumpahkan sejumlah netizen terhadap PBNU.

Semua polemik soal izin pertambangan khusus ini bersumber dari Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

PP yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 30 Mei 2024 ini memuat klausal baru yang memberikan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) dari pemerintah kepada ormas. Sejak awal PP 25 ini memang sudah memicu pro kontra, terutama terkait fasilitas kemudahan yang diberikan untuk ormas.

Terlebih, PP revisi ini diterbitkan masih di fase pemulihan pasca kontestasi Pilpres yang cukup menguras tensi. Tak pelak, sebagian pihak membaui aroma "balas budi" dalam penerbitan regulasi ini. Dua triger ini menjadi pemicu efektif, sehingga penolakan kebijakan IUP khusus bagi ormas ini menguat di linimasa.

Sementara polemik IUP khusus ormas ini menguat, para Pimpinan Muhammadiyah memilih tak banyak membuat statemen ke publik, apakah bakal menerima atau menolak tawaran pemerintah tersebut. Dalam beberapa kesempatan, Pimpinan Muhammadiyah menyatakan sikap soal IUP khusus ini akan diputuskan melalui mekanisme organisasi.

Berbagai narasi dan statemen justru lebih banyak disuarakan kader di akar rumput melalui saluran berbagai platform media sosial hingga grup-grup WhatsApp. Sebagian percaya bahwa Muhammadiyah akan serta meta menolak tawaran pemerintah soal WIUPK sebagaimana diatur dalam PP 25 Tahun 2024. Toh, Muhammadiyah terbiasa kritis terhadap kebijakan pemerintah yang menyangkut isu-isu strategis.

Ketika agenda Konsolidasi Nasional Muhammadiyah di Yogyakarta, 27-28 Juli 2024, PP akhirnya memutuskan untuk menerima IUP khusus tersebut, banyak kader yang dibuat terkaget-kaget. Keputusan itu menjadi bagian dari dokumen Risalah Konsolidasi Nasional (Konsolnas) yang total berjumlah 9 poin.

Dari total 9 poin Risalah Konsolnas tersebut, sebetulnya hanya 2 poin yang secara khusus membahas tentang pertambangan. Pertama ada di poin 6, yang menyebutkan;

"Muhammadiyah berkomitmen memperkuat dan memperluas dakwah dalam bidang ekonomi termasuk pengelolaan tambang yang sesuai ajaran Islam, Konstitusi, dan tata Kelola yang professional, Amanah, penuh tanggung jawab, seksama, berorientasi pada kesejahteraan sosial, menjaga kelestarian alam secara seimbang, dan melibatkan sumberdaya insani yang handal dan berintegritas tinggi."

Lalu ada juga di poin 9, yang berbunyi: "Majelis konsolidasi nasional menyetujui keputusan Pleno Pimpinan Pusat Muhammadiyah tentang pengelolaan tambang".

Sementara dalam 7 poin lainnya, Muhammadiyah menyoroti berbagai dinamika kebangsaan mutakhir yang dianggap patut mendapatkan perhatian bersama. Beberapa poin itu, yakni perlunya mensosialisasikan Kalender Hijriyah Global Tunggal (KHGT) yang resmi dipakai Muhammadiyah per 1 Muharam 1446 H, fenomena judi online yang butuh penanganan semua pihak, isu keadilan sosial yang perlu ditegakkan, transisi pemerintahan pasca Pemilu 2024, Pilkada Serentak 2024, isu pendidikan nasional, serta agenda Tanwir Muhammadiyah pada 15-18 November 2024 di Nusa Tenggara Timur.

Sementara terkait penerimaan atas IUP khusus dari pemerintah ini, Muhammadiyah membeberkan delapan pertimbangan, dari mulai nilai pokok ajaran Islam memandang sumber daya alam dan pengelolaanya, AD/ART, amanat Muktamar 47 Makasar, hingga pendapat akademisi, ahli, aktivis lingkungan hingga praktisi pertambangan.

Tapi berbagai narasi PP Pusat ternyata sama sekali tak mampu meredam berbagai kritik dan penolakan yang dilayangkan kader hingga aktivis lingkungan. Media sosial pun diramaikan dengan meme-meme yang "membully" Muhammadiyah.

"Dipisahkan Qunut, disatukan tambang". Atau "Dipisahkan tahlil, disatukan Bahlil". Begitulah sindiran para aktivis lingkungan terhadap sikap NU-Muhammadiyah terhadap konsesi tambang dari pemerintah. Nama Bahlil Lahadalia turut diseret-seret, karena sosok Menteri Investasi/Kepala BKPM ini dituding menjadi inisiator ide konsesi tambang untuk ormas.

Kenapa Kecewa dengan Muhammadiyah?

Yang kecewa terhadap keputusan PP Muhammadiyah tentu bukan hanya kader, tetapi juga aktivis lingkungan, dan lainnya. Tetapi mereka yang kritis hingga menolak tegas putusan yang dituangkan dalam Risalah Konsolidasi Nasional itu bisa saja memiliki alasan dan motivasi yang beragam. Kekecewaan itu berangkat dari latar yang tak seragam.

Ada kader atau bahkan Pimpinan Muhammadiyah yang kecewa karena ekspektasi mereka sebelumnya terlalu tinggi pada PP Muhammadiyah. Mereka merawat harapan dan keyakinan bahwa Muhammadiyah pastilah menolak tawaran konsesi tambang ala PP 25 Tahun 2024.

Kelompok ini sebetulnya kecewa lebih karena harapan mereka sendiri. Karena seperti disinggung di muka, para Pimpinan Muhammadiyah sendiri sebelum Konsolnas Jogja relatif tak memberikan isyarat apapun soal bagaimana menyikapi IUP khusus untuk ormas. Tapi para kader ini termotivasi untuk memegagang kuat harapan tersebut terutama setelah PBNU telah lebih dulu memutuskan menerima tawaran pemerintah.

Di sejumlah postingan berita terkait NU yang menerima tambang ini, sesekali muncul komentar kurang lebih; "Untungnya aku Muhammadiyah, gak main tambang". Maka Ketika PP akhirnya memutuskan menerima IUP khusus, mereka pun auto kecewa berat. Dalam kasus ini, benarlah ungkapan "Expectation will kill you".

Latar kedua, adalah politik. Tidak sedikit masyarakat, termasuk kader Muhammadiyah di akar rumput, yang mulai larut dan latah dengan politik, menjadi korban narasi-narasi elit yang cenderung membelah masyarakat dalam dua kubu bak oposisi biner. Jadi Ketika mereka mengkritik sikap PBNU dan disusul Muhammadiyah, lebih karena tak sehaluan dengan sikap politik mereka yang cenderung opsisi terhadap pemerintah misalnya.

Ketiga, adalah mereka yang memang berlatar aktivis lingkungan atau setidaknya pemerduli isu-isu kelestarian lingkungan. Di Muhammadiyah, ada kelompok Kader Hijau Muhammadiyah yang didirikan tahun 2018 silam. Nah, kelompok ini tak banyak terpengaruh politik, tetapi fokus pada isu lingkungan.  

Mereka cenderung berpandangan aktivitas pertambangan sebagai melulu merusak lingkungan dan memicu konflik sosial. Pernyataan ini tentu saja bukan tanpa argumen, mengingat praktik pertambangan yang selama ini ada telah mewariskan kerusakan lingkungan yang tak kecil, pun kesenjangan hingga konflik sosial masyarakat sekitar pertambangan. Maka tak heran kalau mereka merespon paling keras keputusan PP Muhammadiyah yang menerima konsesi tambang khusus.

Mencoba Bersikap Adil

Kekecewaan kader, aktivis hingga Sebagian pihak terhadap keputusan Muhammadiyah yang menerima IUP khusus ormas memang tak bisa disalahkan. Termasuk bagi kader Muhammadiyah yang memilih tetap kritis dan menolak keputusan tersebut, tidak serta merta dianggap sebagai tak loyal.

Penulis sendiri bukanlah kader biologis, pun apalagi ideologis, hanya penggembira yang tengah belajar di Muhammadiyah. Ada juga kecewa dengan sikap PP Muhammadiyah, karena bidang pertambangan bukanlah sesuatu yang mudah untuk dikelola dengan kaidah baik dan benar. Toh, tanpa tambang, Muhammadiyah sudah memiliki aset amal usaha yang nilainya mungkin triliunan rupiah. Bedanya, penulis penulis memilik tak mengespresikan kekecewaan itu secara verbal sambil terus mencari sudut pandang berbeda dari mereka yang setuju.

Dari menyimak dialektika yang berlangsung di linimasa hingga pertimbangan yang disampaikan PP Muhammadiyah, penulis akhirnya sampai pada beberapa kesimpulan.

Pertama, di era disrupsi informasi yang digejalai oleh fenomena post truth, penting untuk menjaga kewarasan dengan tidak mudah kagetan, jangan gumunan. Salah satunya dengan mencoba membaca informasi secara berimbang. Karena bagaimanapun, informasi seringkali tak ubahnya dengan persepsi, maka perkayalah persepsi.

Kedua, jangan berekspektasi berlebihan, apalagi jika ekspektasi ini berbasis pada kesamaan pandangan kita. Karena Ketika kenyataan pada akhirnya tak sejalan dengan harapan, kecewalah kita. Termasuk posisikan para Pimpinan Muhammadiyah itu sewajarnya, sehingga ketika suatu waktu kebijakan PP tak sesuai pandangan apalagi kepentingan kita, kecewanya juga tidak berlebihan. Dengan cara ini kita juga bisa tetap menjaga krititisme secara proporsional.

Termasuk dalam politik, menjaga kewarasan itu penting. Jangan mengidolakan sampai overdosis, supaya kita tetap proporsional memberpihaki kebenaran. Karena kebenaran itu bisa muncul dari lawan politik kan?

Ketiga, sebagai anak bangsa kita tentu layak prihatin dengan banyaknya praktik pertambangan yang menyisakan dampak kerusakan lingkungan luar biasa, konflik sosial, sampai kesenjangan sosial. Tetapi jangan sampai kita tidak adil dengan memvonis semua hal yang terkait dengan pertambangan pasti buruk, berdaya rusak, seluruhnya mafia, dan sekawannya.

Jangan berubah menjadi malaikat dengan menjauhi yang profan, seburuk apapun itu. Kalau memang praktik pertambangan dipandang amat buruk, maka kemungkinan untuk mengelola tambang dengan lebih baik pun tetap harus diberi kesempatan. Inilah pilihan realistis dan justru manusiawai.

Maka kenapa tidak untuk memberi kesempatan kepada NU dan Muhammadiyah untuk mencoba mengelola tambang. Tugas kita adalah mengawalnya dengan kritis, jika menyimpang tinggal sentil, hajar ramai-ramai bila perlu. Jangan sampai mereka dihukum sebelum melakukan.

Toh Prof Haedar Nasir sendiri sudah menyatakan komitmennya bahwa Muhammadiyah ingin menjadi role model dalam pengelolaan tambang. Pun kalau di tengah jalan pengelolaan itu menyimpang, mereka siap menghentikan.

"Apabila kita pada akhirnya menemukan bahwa pengelolaan tambang itu lebih banyak mafsadatnya, artinya banyak keburukannya untuk lingkungan sosial dan lingkungan hidup serta berbagai aspek lainnya Muhammadiyah juga sepakat mengembalikan IUP itu," begitu kata Prof Hedar Nashir seperti dilansir portal Muhammadiyah.or.id.

Maka penting untuk bersikap adil sejak dalam pikiran, dengan terbuka terhadap berbagai kemungkinan sudut pandang. Memaki kegelapan memang seringkali menikmatkan, tetapi ia tidak menyelesaikan persoalan. Kita juga butuh orang-orang, kelompok, yang berani mengambil tantangan untuk memperbaiki keadaan.

Kalau Muhammadiyah yang punya jejak basis moral memadai saja ditentang, lantas siapa yang kita anggap layak mengelola tambang? Wallahu a'lam. []

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun