Tak banyak yang berubah dalam diriku setelah sepuluh tahun hidup di negeri orang. Setidaknya itu penilaian pribadiku. Selera makan dan berpakaianku tetap sama; sangat meng-Indonesia. Aku tetap memandang negeriku sebagai yang terindah, di mana aku dan suami ingin menghabiskan hari tua kami nanti. Aku tidak pernah membatasi perkenalan dan pertemanan dengan orang berkebangsaan apapun. Namun, aku yakin, seperti halnya kebanyakan ekspatriat Indonesia di seluruh dunia, aku merasa paling nyaman kalau sudah bertemu dan bercakap - cakap dengan teman serumpun, apalagi teman sebangsa.
Karena itulah betapa senangnya aku ketika seorang teman asal Filipina memberitahuku, "I know an Indonesian lady who lives in this city. She's a muslim too, but she's very modern. Can I ask your permission to give her your phone number, Savitry?". Spontan aku menjawab, "Of course. Please do so. I'm so glad to hear that, because after more than a year living in here, I've only managed to find one Indonesian woman who lives in neighbouring city".
Tak kusangka, perasaan girang itu akan berubah menjadi perasaan iba dan bimbang di hati.
Singkat cerita, bertemu juga aku dengan, sebut saja, Kak Ratna akhir minggu lalu. Dari pandangan pertama aku setuju dengan pendapat teman Filipina, bahwa Kak Ratna memang berpenampilan modern. Wajahnya manis, mengingatkanku pada penyanyi Cici Paramida. Dengan pakaian ketat, rambut terurai, dandanan cukup berat dan sepatu keds, dia memang tampak lebih muda daripada usia sebenarnya.
Seperti dua orang yang sudah lama kenal, percakapan kami mengalir seperti air; tentang suka - duka kehidupan sebagai minoritas di Eropa, betapa mahalnya biaya hidup di negara ini, masakan Indonesia, juga tentang kampung asal masing - masing. Aku begitu bersemangat bercerita tentang pengalaman pertamaku menjalani puasa Ramadhan di musim panas yang bisa sampai 19 jam sehari. Aku juga berbagi kisah tentang betapa beratnya perjuangan menegakkan sholat lima waktu di musim panas, karena di belahan bumi utara seperti ini, matahari seperti tak pernah terbenam. Sehingga kita tak bisa menentukan waktu sholat semata - mata berdasarkan arah gerakan matahari, melainkan menjadikan jadwal sholat dari masjid setempat sebagai panduan.
Dari sini aku merasa aneh. Kenapa Kak Ratna tak menanggapi dengan antusias ceritaku itu? Dia cuma menanggapi dengan singkat, "Memang berat say, puasa di sini. Memang berat". Tanpa kelanjutan apapun. Padahal sebelum masuk ke topik ini, dia banyak bercerita macam - macam tentang masa lalu dan keluarganya.
Akupun mulai curiga dan kemudian bertanya, "Kak Ratna muslim 'kan?". Aku tak tau apakah pertanyaan ini begitu mengejutkan atau tak pantas, tapi kemudian dia menjawab, "Mm... bukan".
Aku tanya lagi, "Kristen?"
Dia jawab, "Bukan".
Ketika dia juga menjawab bukan terhadap Katholik, Hindu, Buddha dan Yahudi, aku berkesimpulan bahwa Kak Ratna ternyata seorang yang tak beragama alias atheis. Kesimpulan inilah yang kemudian dibenarkan olehnya.
Tercekat aku begitu mengetahui hal ini. Pertanyaan yang kemudian spontan muncul adalah, "Kenapa?".
Cerita Kak Ratna selanjutnya membuatku merasa iba sekaligus tak habis pikir. Keputusannya untuk menjadi seorang atheis didasarkan pada keputusasaannya pada para mantan suaminya, pada perilaku muslim di keluarganya (yang katanya suka bertengkar dan merasa diri paling benar), dan juga pada Tuhannya.
"Tapi setiap manusia 'kan perlu panduan hidup, perlu agama, perlu Tuhan?" tanyaku.
"Ternyata tidak, Icha. Aku tak punya agama. Aku merasa happy dengan kehidupanku sekarang. Aku tetap tak makan babi, minum [alkohol] kadang - kadang, kalau diundang natal atau lebaran aku datang, pacarku (yang usianya 20 tahun lebih muda daripada dia) baik. Aku tak tau apa yang akan terjadi dengan hubungan ini. Semua laki - laki sama saja. Yang penting buatku adalah bekerja keras untuk menghidupi ketiga anakku yang perlu makan dan sekolah". Jawaban itu lancar keluar dari mulut Kak Ratna, tapi disampaikan tanpa beban atau amarah.
Topik pembicaraan kemudian beralih ke hal lain yang lebih ringan dan tak membuat rikuh.
Dua jam kemudian kami berpisah dan berjanji untuk tetap berkomunikasi dan bertemu lagi nanti kalau ada waktu luang.
Setelah pertemuan itu hingga saat ini, Kak Ratna sering melintas di pikiranku. Aku tak habis pikir, kenapa seseorang yang terlahir muslim bisa menjalani hidup hanya berpegang pada prinsip ciptaannyasendiri? Memang semua manusia punya masalah, meskipun kadar dan bentuknya berbeda - beda. Tapi itulah hidup, bukan? Kualitas manusia dinilai dari caranya mengatasi permasalahan, ujian dan cobaan dalam hidupnya. Dan siapa pemberi semua masalah, ujian dan cobaan itu? Tak lain adalah Tuhan Sang Maha Pencipta; apakah itu Tuhanmu, Tuhan mereka atau Tuhanku. Tuhan itu cuma satu, sesuai keyakinan yang aku pegang dari kecil sampai mati. Dan adalah tugas manusia untuk menemukan jalan menuju Tuhannya. Tak pernah terpikir olehku, bagaimana kehidupan ini tanpa Dia Yang Maha Berkuasa. Sedangkan aku bisa terlahir, menjadi muslim dan hidup hingga saat ini adalah karena kuasa dan kasih sayang-Nya.
Kalau boleh kuumpamakan, kehidupan tanpa Tuhan adalah bagaikan seorang yang berlayar di samudera luas. Dari kejauhan sudah tampak olehnya cahaya mercu suar yang akan menuntunnya ke jalur yang aman. Namun karena ombak yang begitu besar dan berbagai cobaan yang dihadapi ketika kapalnya bocor, atau tiang kapalnya patah, sang pelayar memutuskan untuk tidak mengindahkan cahaya mercu suar itu. Seperti yang sudah bisa diduga, sang pelayar akhirnya menabrak karang, lalu karam ke dasar laut bersama kapalnya. Tragis...
Aku tak bermaksud merasa sebagai yang paling benar. Justru aku merasa iba pada Kak Ratna dan anak - anaknya yang sudah beranjak remaja. Dan aku bukanlah siapa - siapa yang bisa menghakimi mereka dan jalan hidup yang mereka ambil.
Mungkin ada di antara anda yang kemudian berkata, "Hari gini, jangankan di Eropa yang superliberal, di Indonesia yang 98% muslim saja semakin banyak orang menjadi atheis [secara nyata atau diam - diam]". Mungkin benar. Mungkin memang aku yang terlalu sempit memandang perubahan dunia dan manusianya. Lalu bagaimana kita menyikapinya? Diam saja karena itu bukan urusan kita? Atau mengutuk diam - diam? Atau berusaha mengubah semampu kita?
Aku jadi teringat tokoh Hasan dalam novel Atheis karya alm. Achdiat Kartamihardja. Hasan yang terlahir sebagai muslim taat, mengalami ujian hidup, cintanya yang tak sampai pada Kartini wanita pujaannya, dan pergolakan batin yang luar biasa di jaman penjajahan Jepang, kemudian kehilangan pegangan hidup. Jadilah ia seorang atheis. Untunglah di akhir hayatnya yang tragis karena tertembak, ia masih sanggup melafalkan "Allaahu Akbar". Apakah berarti Hasan kembali menjadi muslim, dan dosa - dosanya selama ia menjadi atheis diampuni? Tak ada yang tau. Karena kehidupan setelah mati adalah rahasia Tuhan.
Sampai saat ini aku belum ada komunikasi lagi dengan Kak Ratna. Tapi aku punya "rencana kecil". Kalau nanti kami bertemu lagi, aku akan mencoba membuka kembali pikiran dan mata hatinya, menyadarkannya bahwa meskipun dia sudah putus asa pada Tuhan, tapi Tuhan tak pernah putus asa padanya. Sekedar mencoba, daripada berdiam diri atau malah hanyut ke dalam hal yang tidak bermanfaat. Memang belum tentu berhasil. Mungkin dia akan marah atau menganggapku sebagai "muslim konservatif". Tak apa. Tak ada salahnya mencoba untuk kebaikan, asal dilakukan dengan cara yang baik pula. Semoga Allah membantu menguatkan lahir dan bathinku...