Timbul beberapa permasalahan kritis terkait dengan penangguhan penahanan tersebut, kesan kuatnya adalah (1) penyidik Polri dibuat tidak berdaya menghadapi kedigdayaan tersangka yang memiliki relasi dan dukungan kuat KPK.
(2) kasus pidana komisioner KPK sejak kasus Bibit Candra seolah terkesan nyaris sulit tersentuh proses hukum, dan (3) para pimpinan KPK yang memasang badan dengan menjadi penjamin penangguhan penahanan terkesan mengesampingkan ketidakpatuhan Abraham Samad dan Bambang Widjojanto yang berperilaku ekstra tidak kooperatif sebelumnya terhadap proses penegakan hukum yang dilakukan Polri.
Pasal 60 UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP menyebutkan “tersangka atau terdakwá berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungán kekeluargaan atau lainnya dengan tersangka atau terdakwa guna mendapatkan jaminan bagi penangguhan penahanan ataupun untuk usaha mendapatkan bantuan hukum”.
Pasal ini menegaskan tidak ada larangan pimpinan KPK memberikan jaminan penangguhan penahanan terhadap tersangka, akan tetapi yang menjadi persoalan adalah berdasarkan perilaku kedua tersangka yang kebetulan adalah Komisioner non aktif KPK yang ekstra tidak kooperatif terhadap proses penyidikan.
Termasuk membentuk opini publik baik secara terbuka, misalnya membuat pernyataan di media massa yang dengan arogan menyatakan dirinya dipersangkakan oleh penyidik Polri, mengadakan debat dan diskusi terbuka, maupun secara tertutup mendatangi tokoh masyarakat, pesantren, aktivitas anti korupsi, akademisi dan beberapa kampus untuk menggalang dukungan terhadap permasalahan kasus keduanya.
Sepatutnya pimpinan KPK tidak berlebihan masuk dalam proses hukum yang sedang berjalan, mengingat perilaku keduanya yang secara berlebihan mencoba memperoleh keuntungan non litigasi dengan membentuk opini publik dan menggalang dukungan tokoh masyarakat, termasuk akademisi yang dampaknya mendiskreditkan dan merugikan kewibawaan proses penyidikan Polri.
Tindakan pimpinan KPK menjadi penjamin penangguhan penahanan memberikan sinyal terhadap lemahnya proses penegakan hukum ketika tersangka memiliki koneksi yang kuat dengan KPK, meskipun perilaku tersangka mengancam sistem hukum dengan memainkan upaya-upaya non litigasi illegal dalam proses penegakan hukum.
Perilaku keduanya bukan sekedar tidak kooperatif dalam “kadar yang wajar” dalam proses penegakan hukum, akan tetapi telah mengancam dan membahayakan keberlangsungan sistem hukum dan penyelenggaraan penegakan hukum, karena telah nyata mengupayakan dan mengancam legitimasi hukum di bawah tekanan politik, opini publik dan intervensi tokoh publik.
Kekhawatiran pimpinan KPK yang mengungkapkan alasan menjadi penjamin penangguhan penahanan karena potensi terjadi gejolak tekanan publik pasca penahanan Abraham Samad dan Bambang Widjojanto justru memperlemah sistem hukum itu sendiri, karena dengan demikian seolah memberikan sinyal kepada masyarakat bahwa sistem hukum selamanya akan mudah diancam dan diintervensi dengan menggunakan kekuatan tekanan publik dan tekanan politik.
Keterlibatan pimpinan KPK secara tidak terukur tersebut berdampak pada proses penegakan hukum tidak dapat diletakkan secara independen, proporsional, profesional dan non partisan.
Secara internal Polri, penyidik Polri yang telah berupaya bekerja keras melakukan proses penegakan hukum yang berujung pada keputusan penahanan Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, setelah melihat fakta “menyakitkan” karena perilaku tersangka selama di luar secara bertubi-tubi melakukan berbagai kegiatan yang berupaya mendiskreditkan proses penegakan hukum yang dilakukan penyidik Polri.
Kemudian secara mendadak, keputusan penahanan pupus begitu saja ketika tersangka yang notabene merupakan Komisioner KPK non aktif mendapatkan jaminan penangguhan penahanan dari pimpinan KPK.
Penyidik Polri seolah dibiarkan dan dipersilahkan ditelanjangi kewibawaan dan kewenangannya karena perilaku-perilaku tidak terhormat kedua tersangka yang mencoba mendiskreditkan Polri dan penyidik Polri di muka umum, justru diberikan ruang dan dijamin kebebasannya, pada saat putusan penahanannya ditangguhkan karena jaminan pimpinan KPK.
Media, penggiat dan pengamat hukum harus proporsional dan adil dalam melihat permasalahan penangguhan penahanan tersebut. Tidak akan ada keputusan penahanan apabila kedua tersangka kooperatif selama proses penegakan hukum.
Tidak akan “menyakitkan” bagi Polri dan khususnya penyidik Polri apabila tingkat tidak kooperatifnya kedua tersangka sekedar hanya tidak memenuhi panggilan pemeriksaan penyidik, akan tetapi apabila kedua tersangka telah berperilaku melampaui batas dengan mencoba membangun tembok demarkasi yang menjadi penghalang permanen bagi proses penegakan hukum sehingga tidak dapat berjalan.
Dan sistem hukum tidak berdaya menyentuh keduanya, maka upaya-upaya sesat yang berlebihan dan melampaui batas tersebut seharusnya segera dihentikan, dan satu-satunya jalan adalah dengan keputusan penahanan keduanya untuk memastikan proses hukum tetap ditegakkan dan sistem hukum tetap berwibawa.
Media, penggiat dan pengamat hukum termasuk akademisi juga diharapkan berperan membangun budaya hukum yang konstruktif dengan memanfaatkan ruang publik untuk mendidik masyarakat yang sadar hukum dan tidak abai terhadap kewajiban hukum seseorang yang sedang menjalani proses penegakan hukum.
Bagaimanapun masyarakat termasuk media, penggiat dan pengamat hukum tidak mengetahui dan memahami keseluruhan konstruksi dan anatomi kasus pidana yang menjerat tersangka, sehingga sudah seharusnya menyerahkan proses penegakan hukum sepenuhnya kepada criminal justice system yang berwenang.