“Jendela yang terus terbuka” sepertinya pengandaian ini lebih tepat untuk menggambarkan akan kreatifitas masyarakat Belanda. Pengandaian ini, terpantik tatkala Rem Koolhas, arsitek kenamaan Belanda sedang merenovasi Kedutaan Besar Belanda di Berlin. Orang-orang banyak mempertanyakan, kenapa konstruksi bangunan yang lebih banyak terbuat dari kaca seperti terdiri dari jendela semua. Rem Koolhas menjawab dengan enteng, bahwa konstruksi gedung kedutaan Belanda ini mencerminkan sifat asli masyarakat Belanda, yakni keterbukaan.
Saat saya menulis tulisan ini, saya sedang membolak-balikkan majalah lama Holland Horizon yang diterbitkan oleh Kedutaan Besar Belanda di Indonesia. Secara tidak sengaja, saya menemukan feature foto berjudul “jendela menghadap dunia” yang berkisah mengenai rasa ingin tahu masyarakat Belanda yang besar. Jendela diartikan sebagai medium melihat dan menerima sesuatu yang baru yang datang dari luar. Kreatifitas masyarakat Belanda menyerupai Jendela yang terbuka, siap menerima tantangan maupun mengadopsi gaya baru. Salah satu contoh keterbukaan masyarakat Belanda dalam kreatifitas dan inovasi adalah dalam bidang arsitektur.
Kreatifitas Arsitektur Belanda: Dari Kota Kontainer hingga Bahan Karton untuk Sebuah Rumah
Salah satu kreatifitas arsitektur bangsa Belanda yang sudah diakui dunia adalah system Polder atau bendungan. Bangsa Belanda dikenal sukses mambangun bendungan yang mampu membendung air laut yang lebih tinggi dari daratan. Kesuksesan ini diam-diam membuat orang-orang dari belahan dunia menyimpan rasa iri tatkala mereka menepi di pelabuhan Rotterdam maupun mendarat di Bandara Schippol. Namun kesuksesan ini tak lantas membuat Hollanders, sebutan untuk orang-orang Belanda, berpuas diri dan membuat mereka tidur lelap, masyarakat Belanda ternyata masih harus berkutat dengan masalah lahan yang sempit, polusi udara, dan ancaman iklim.
Disinilah letak keterbukaan masyarakat Belanda diuji, apakah kreatifitas masyarakat Belanda berhenti atau tidak? Seakan menjawab ujian tersebut, Biro Arsitek MVRDV membangun kota kontainer untuk menyiasati sempitnya lahan. Kota kontainer adalah kota yang mengapung di pelabuhan Rotterdam. Kota kontainer yang mirip sebuah bangunan ini didirikan tidak diatas lahan tetapi ditambatkan di sepanjang tanggul LIoyd, Rotterdam. Kota ini dijadikan tempat pertemuan bagi Bienniale Arsitektur Internasional pada tahun 2003 dan berhasil memukau banyak pengunjung pada pertemuan tahunan itu.
Berbeda dengan MVRDV, arsitek muda Taco Van Iersel, menjawab tantangan tersebut dengan membuat rumah berbahan karton untuk tempat tinggal sementara bagi para imigran illegal, mahasiswa dan pencari suaka. Rumah yang kemudian mendapat banyak apresiasi ini, sangat praktis, tidak memakan lahan secara permanen dan bisa bongkar kapan saja tatkala para imigran sudah kembali ke Negara asalnya, maupun ketika para mahasiswa lulus dan mendapat apartemen permanen sendiri.
Seperti disinggung pada permulaan tulisan ini, Rem Koolhas, arsitek dari biro MAS dalam mencipta gedung kedutaan besar Belanda di Jerman juga ingin menyatakan bahwa lahan sempit sejatinya bukan masalah, bangsa Belanda bisa berkreasi tanpa batas. Walaupun begitu, Rem Koolhas lebih suka menonjolkan konstruksi kaca gedung kedutaan sebagai sifat bangsa Belanda yang terbuka terhadap inovasi dan kreatifitas.
Ternyata terjawab sudah, baik MVRDV, Taco maupun Rem, ketiganya membuktikan keterbukaan masyarakat Belanda akan tantangan dan menjawabnya dengan daya cipta kreatif dan inovatif. Jadi apakah itu mengapung di air maupun rumah berbahan baku karton, kreatifitas arsitektur Belanda tetap seperti sebuah jendela, terus terbuka akan ide, nilai dan gagasan yang baru.