Mereka bahkan bisa "menganalisis" strategi pertandingan Barcelona atau Manchester United. Tentang apakah analisisnya itu bermutu atau tidak, adalah soal  lain.
Itulah ilmu politik. Kalau kita menyempatkan diri membaca media sosial , akan kita lihat banyak "pengamat politik" bicara lantang di sana. Meskipun tidak punya basis ilmu politik, semua merasa sah saja untuk menganalisis politik Indonesia, Palestina, Afganistan, Amerika, dan China.
Bagi mereka yang secara khusus belajar ilmu politik, mungkin geli membaca "analisis-analisis ajaib" dari para "pengamat politik" dadakan itu. Tetapi, inilah nasib sarjana ilmu politik. Capek-capek belajar sekian tahun di universitas, eh tenyata di luaran sana banyak orang --yang tak punya basis ilmu politik-- sudah lebih dulu ngetop sebagai "pengamat politik."
Yang lebih beruntung dari lulusan jurusan politik ini adalah lulusan jurusan  fisika, kimia, matematika, astronomi, dan sebagainya. Setidaknya, sangat sedikit orang yang nekat  atau berani mengaku sebagai "pengamat fisika" atau "pengamat kimia." Ini karena hanya dalam waktu 1-2 menit, bisa langsung ketahuan bahwa dia tidak tahu apa-apa soal fisika atau kimia.
Meningkatkan Literasi
"Kejengkelan" melihat pengamat-pengamat amatiran semacam itu mungkin yang menggerakkan Beydra Yendi Yarman, Sarjana Ilmu Politik lulusan Universitas Indonesia (1990), untuk menulis buku berjudul: "Fasih" Bicara Politik "Tanpa" Belajar Ilmu Politik.
Menurut Yendi, yang hampir 30 tahun berprofesi sebagai salesman dan marketer, buku ini ditujukan untuk pembaca, guna menambah dan meningkatkan literasi masyarakat umum tentang politik, "tanpa" harus menjalani studi ilmu politik secara formal.
Tak heran, jika buku ini memberikan uraian ringkas tentang sejumlah teori dan konsep dasar, mengenai politik dan negara, dari zaman Romawi kuno sampai zaman modern. Ada juga uraian yang cukup lengkap, untuk memperoleh pemahaman dasar tentang undang-undang, konstitusi, lembaga-lembaga negara, Â partai politik dan pemilu.
Yendi bahkan menambahkan uraian tentang fenomena kontemporer dalam dunia politik Indonesia. Ia menambahkan bahan tentang: hak asasi manusia (HAM), pencitraan politik, survei dan polling politik, peran pengusaha dalam politik, peran TNI-Polri dalam politik, peran selebritas dalam politik, peran agama/tokoh agama dalam politik, dan peran media sosial dalam politik.
Kalau tujuan buku ini adalah memberi bekal, agar masyarakat awam bisa sekadar "paham" politik, buku ini sebetulnya sudah memadai. Sudah lebih dari cukup. Malah saya berpendapat, buku ini layak dijadikan salah satu buku pendamping, untuk mengajar mata kuliah politik satu semester di universitas. Jadi, tujuan Yendi untuk memberi bekal atau pengantar ilmu politik sudah tercapai.
Lancar dan Komunikatif
Gaya bahasa di buku ini juga cukup lancar dan komunikatif, mudah dipahami. Editing buku ini cukup baik dan rapi. Dalam penulisan buku ini, Yendi sengaja tidak menggunakan sistem catatan kaki, yang mungkin akan memberi kesan terlalu serius, berat dan rumit bagi pembaca awam. Namun, secara konten buku ini sudah memadai, sesuai dengan tujuan penulisannya.
Kalau pun ada kritik yang perlu disampaikan, masukan dari saya adalah cover-nya terlalu datar dan sederhana. Jika buku ini nanti dicetak ulang, saya usul agar cover-nya diubah total agar lebih menarik. Sayang sekali jika isinya sudah bagus, tapi tampilan luarnya kurang mencerminkan isi.
Buku ini bukan satu-satunya karya Yendi. Yendi, yang pada 1995 meraih MBA dari University of Central Arkansas, Amerika Serikat, Â juga sudah menulis karya fiksi. Saat ini Yendi sedang dalam proses untuk menyelesaikan trilogi novel Crazy Rich Jakarta. Tapi saya tak akan mengulasnya di sini. Itu butuh resensi buku terpisah.
Bagaimanapun, saya perlu memberi apresiasi khusus pada Yendi. Mengaku sebagai pensiunan swasta, Yendi mengatakan, ia akan mengisi masa pensiunnya dengan menulis banyak buku fiksi ataupun nonfiksi. Tujuannya untuk ikut mencerdaskan bangsa dan meningkatkan minat baca di negeri ini. Niat ini layak didukung! *