Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Kursi Kayu Itu, Coklat Muda

7 April 2014   16:29 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:58 41 1

Kursi Kayu Itu, Coklat Muda

(Karya Satria Wijaya)

Tiba waktunya sebuah kapal besar akan mengarungi lautan samudera. Segala persiapan telah dilakukan untuk menjaga ketahanan kapal dan kenyamanan semua orang yang ikut. Mulai petinggi negara, pejabat daerah, dan banyak orang-orang kaya ikut berlayar bahkan tak terkecuali rakyat biasa juga berdiri di atas kapal megah itu. Seorang lelaki tampan nampaknya menjadi sorotan banyak orang di dalam kapal. Ia membawa impian besar dalam sebuah perjalanan.

Siwa nama akrabnya. Siwa adalah seniman handal dan terkenal di kotanya. Banyak karya-karyanya sudah terbit di media-media cetak, ada juga yang sudah menjadi favorit penikmat karyanya.

Suatu ketika lelaki tampan ini duduk mencari inspirasi di atas kapal khusus bersantai, ia melihat seorang gadis yang berparas cantik dan berkarakter wanita apa adanya yang sederhana. Ia terketuk hati penuh ambisi untuk berkenalan dengan gadis cantik itu.

Keyakinan dan keberanian mengikat jadi satu. Lalu ia mulai mendekat duduk tepat di sebelah dimana gadis itu duduk. Segala skema telah bersarang di benaknya. Gerak-gerik gelisah mulai nampak membawa kecurigaan terhadap gadis itu. Dengan gugupnya ia langsung coba menyapa, senyum khas dilepaskan, dan ternyata gadis cantik itu sangatlah ramah. Usaha Siwa pun tak sia-sia.

Ia langsung kontak berkenalan.

Gadis cantik itu bernama Yuvia.

Tak butuh waktu lama, Siwa langsung kagum dan batin berbisik tuk dapatkan hati Yuvia, namun Siwa tak tahu apakah Yuvia memiliki perasaan sama dengannya. Canda tawa, keakraban mulai nampak pada keduanya setelah berbincang di bawah cahaya terik namun dikebali cahaya cinta seorang Siwa. Rasa suka awal jumpa sedang bergejolak tersesak hati Siwa.

Proses perkenalan singkat terlampiaskan, namun itu belum cukup ia rasakan. Tak disangka perasaan suka berubah menjadi cinta. Semakin lama semakin sejuk semakin gelisah hati Siwa.

Entah apa yang ada dalam benak lelaki tampan nan penuh kreativitas itu. Ia berbeda dengan kelincahannya. Tak sedikit pun tindakan dilakukan agar Yuvia merasakan hal yang sama yang sedang ia rasakan. Keyakinan hanya menjadi kegelisahan, keberanian berubah menjadi kegalauan.

Duduk manis mata menepis. Sikap Yuvia yang sedikit berbeda dengan harapan Siwa. Dampaknya rasa keraguan di hati Siwa. Hal itu ternyata sifat khas Yuvia ditujukan pada Siwa. Tak semudah memetik bunga mawar tuk memetik cinta Yuvia.

Setiap saat tak henti-hentinya Siwa memikirkan dan melamunkan paras cantik Yuvia. Waktu terus berlalu, rasa gelisah Siwa semakin tertimbun tak mampu disimpan terlalu lama. Ambisi harap berbalik menusuk.

Ego Yuvia semakin kental.

Selalu diam.

Tanpa perhatian terhadap Siwa.

Entah rasa ataukah tidak.

Apa mungkin suatu hal yang belum saatnya untuk disatukan. Itu semua bergejolak di hati Siwa.

Kembali terjadi perbincangan di antara mereka. Semakin gagahnya Siwa penuh semangat tuk bertatap walau sesaat. Keyakinan dan keberanian cukup erat. Terus mencoba melangkah menjalani proses yang tak cukup instant rasanya.

Layaknya serangan balik setelah mengupayakan strategi menyerang kini terbalas dengan kekecewaan, kekecewaan dari hasil proses pertemuan usai perkenalan. Harapan lebur pecah berantakan.

Timur, barat, utara, selatan tak juga nampak di atas kapal. Yuvia yang biasanya duduk di kursi kayu coklat muda membawa English Grammer Books buku pedomannya, kini bayangannya pun tak tertangkap oleh mata Siwa. Sesak menyebar mengikat sel-sel hidup merasuk ke sistim saraf.

Hati kecil berdesis. Siwa belum yakin jika bayangan itu takkan muncul selama-lamanya. Isi hati komplikasi tertumpuk. Harapan jadi sis-sia dipertahankan. Gadis cantik yang diidam-idamkan ikut bersama hingga tepi seberang hanyalah sebuah hayalan. Perasaan yang seharusnya diungkapkan tak mendarat di hati Yuvia. Kegelisahan terbalas kekecewaan.

Lama bersantai hingga tertidur lelap belang di kulit Siwa. Terbangun. Inspirasi lekat di jaring pikiran Siwa.

Sedikit membasuh muka. Teh manis diteguk, mie instan perlahan melintasi batang tenggorokan. Duduk tepat saat ia terhanyut oleh lamunan. Kursi kayu bercat coklat muda spontan membuka keluar ide sebuah tulisan.

“Ya ya ya, aku tahu kau hanya sebuah bayangan. Bayanganmu kan ku tuangkan sebagai tulisan”

Referensi Foto :krismariana.wordpress.com

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun