Sayapun langsung paham mengapa dia sudah mengikuti sejak dari lobi hotel. Saat itu, saya sedang berjalan kembali ke kamar dan sang pegawai itu mengikuti saya, mengajak ngobrol sepanjang perjalanan dari lobi ke depan pintu kamar, sesuatu yg awalnya terlihat aneh.
Hal-hal seperti itu merupakan konsekuensi dari pekerjaan saya sebagai jurnalis.
Pernah lain waktu, saat saya sedang meliput acara salah satu kementrian lain dan, ketika baru sekitar setengah jam beristirahat di dalam kamar hotel, mendadak seorang petugas salah satu kementrian itu mengetuk pintu dan masuk “Mas, ini uangnya, tanda tangan disini ya,” katanya sambil menunjuk kertas bertuliskan Uang transport wartawan - Rp 1.5 juta per orang.
Atau pernah juga ketika saya sedang meliput konferensi pers suatu bank terkemuka di Indonesia, lalu di dalam goody bag nya yang dibagikan kepada para jurnalis, saya menemukan setumpuk uang lima puluh ribuan.
Tidak terasa sudah hampir dua tahun saya bekerja di industri media dan sangat banyak pengalaman menarik yang bisa saya ceritakan. Salah satunya adalah beberapa pengalaman diatas, tentang bagaimana besarnya godaan materi yang dapat menggoyahkan idealisme saya dalam menjalankan profesi ini.
Di Indonesia, jurnalis seringkali adalah profesi yang dianggap rendah di masyarakat, tetapi sebenarnya mereka cukup berpengaruh. Jurnalis dapat diibaratkan sebagai gamemaker dalam buku Hunger Games, yaitu seseorang yang bertugas untuk mengemas “perang” semenarik mungkin ke penontonnya, dan seringkali memiliki pengaruh untuk menentukan hasil akhir dari suatu pertarungan.
Di dalam Hunger Games, dikisahkan bahwa peserta yang mendapatkan simpati paling banyak dari penonton akan mendapatkan keuntungan besar dalam perlengkapan, sehingga dapat memenangkan pertandingan. Dalam hal ini, gamemaker lah yg memiliki otoritas membentuk opini publik, selain dari menentukan perlengkapan, senjata dan alur medan pertarungan.
Jika dikaitkan dalam konteks industri media, banyak peserta berusaha mendekati – atau bahkan sampai menyogok –sang gamemaker agar mendapatkan keuntungan sebesar mungkin dalam pertarungannya.
“Masih mending kamu Sat, nanti saat nama kamu sudah semakin besar, mungkin mereka bisa saja menyogok kamu dengan mobil, atau bahkan wanita,” kata seorang editor saya sambil tertawa, ketika saya menceritakan pengalaman-pengalaman itu. Bahkan, bos saya itu mengaku satu waktu pernah menolak tas besar berisi uang sogokan Rp 500 juta dari salah satu instansi pemerintahan.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik pernah berkata bahwa salah satu alasan dibubarkannya regulator BP Migas adalah karena institusi tersebut tidak bisa memperlakukan wartawan dengan benar dan tidak pernah “mentraktir mereka makan siang”. Hal ini mengakibatkan BP Migas mendapatkan publikasi negatif di masyarakat dan keberadaannya ditentang karena dicap pro-asing. Kalimat sang menteri ini memang lantas dicabut dan beliau meminta maaf karena pernyataannya yang dianggap melecehkan profesi jurnalis, tapi saya rasa argumennya ada benarnya.
Dalam konteks bisnis, uang yang dikeluarkan suatu perusahaan atau institusi untuk mentraktir makan siang serombongan wartawan mungkin tidak lebih dari sepuluh atau dua puluh juta rupiah – investasi yang mungkin cukup menguntungkan, mengingat seorang wartawan dapat menimbulkan kerugian milyaran rupiah baik secara image maupun materi, melalui berita negatif yang ditulisnya.
Dalam konteks politik, menyogok wartawan mungkin adalah strategi yang paling efisien bagi calon presiden untuk meningkatkan popularitasnya – daripada membuang milyaran rupiah mengiklan di televisi atau koran, mengapa tidak bayar saja wartawannya masing-masing, contohnya seorang Rp 50 juta rupiah, sehingga mereka menulis berita yang positif tentang sang capres?
“Satria, tolong lah, kita mau minta tolong sama kamu. Jakarta Post itu dibaca investor asing, jadi hati-hati dalam menulis. Kita punya harapan besar di media lokal, harus beda lah jangan seperti media-media asing,” kata salah satu pejabat di instansi pemerintahan saat dia menelepon saya.
Semua hal tersebut membuat saya bersyukur karena, di profesi ini, saya belajar untuk menjadi lebih dewasa. Di pekerjaan saya ini, saya benar-benar belajar prinsip yang dulu pernah diucapkan paman Peter Parker di film Spiderman: “With great power, comes great responsibility.”
Saya belajar bahwa di masa-masa sekarang ini -- dimana pemberitaan yang objektif menjadi langka dan netralitas media dipertanyakan karena hampir semuanya dikuasai oleh politisi -- integritas dan idealisme adalah hal yang sangat penting dimiliki seorang jurnalis dalam menulis dan menentukan arah pemberitaan koran setiap pagi.